Jumat, 13 Juni 2008

DAMPAK PEMBENTUKAN WORLD TRADE ORGANIZATION DALAM EKONOMI NEGARA BERKEMBANG

A.  Pendahuluan

     Perkembangan dunia khususnya dalam bidang perdagangan menuju pasar bebas dimulai pada tahun 1994, dimana terbentuk World Trade Organization (WTO).[1] WTO didirikan sebagai hasil perundingan Putaran Uruguay yang diselenggarakan dalam kerangka General Agreement on Tariff and Trade (GATT), yang dimulai pada September 1986 di Punta del Este, Uruguay dan berakhir pada April 1994 di Marrakesh, Maroko.[2] Perjanjian WTO beserta seluruh lampirannya (annex) berlaku mulai 1 Januari 1995.[3] WTO organisasi yang terbentuk untuk menjadi wadah bagi negara – negara dunia khususnya negara anggota WTO, untuk berkonsultasi dan menyepakati aturan – aturan perdagangan internasional, yang lebih terbuka, dan lebih adil.[4] Terbentuknya WTO diawali dengan terbentuknya General Agreement on Trade and Tariffs (GATT) 1947, yang merupakan suatu perjanjian yang menyepakati aturan – aturan dasar didalam perdagangan.[5]

     GATT 1947 dilatarbelakangi dengan berakhirnya Perang Dunia II, dimana pada saat itu sebagian besar negara di benua Eropa dan Amerika, mengalami kesulitan ekonomi, yang mengakibatkan banyak negara -  negara tersebut menutup diri, untuk melindungi ekonomi didalam negeri.[6] Perlindungan ekonomi tersebut dilaksanakan dengan menerapkan tarif bea masuk untuk produk – produk dari negara lain dengan nilai yang sangat tinggi, hal ini merupakan upaya untuk melindungi industri didalam negeri.[7]

     Negara Indonesia pada tahun 1994 dengan menandatangani dan meratifikasi perjanjian pembentukan organisasi perdagangan dunia (WTO)menjadi anggota dari WTO, dan tunduk dan patuh atas aturan – aturan perdagangan dunia yang telah disepakati dan tercantun dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994.[8] Seluruh perjanjian WTO dianggap sebagai single undertaking yang artinya semua negara anggota WTO menandatangani perjanjian – perjanjian WTO, sebagai satu kesatuan paket.[9] WTO merupakan hasil dari Konferensi Bretton Wood yang diprakarsai oleh Amerika Serikat.[10] Konferensi Bretton Wood menghasilkan konsep dasar dari globalisasi ekonomi yang saat ini terjadi.[11] Sistem ekonomi dunia hasil dari Konferensi Bretton Wood pada prinsipnya merupakan sistem ekonomi kapitalis yang terkontrol melalui campur tangan negara yang dikembangkan oleh Maynard Keynes.[12] Masa 1947 – 1980 merupakan jaman keemasan dari sistem kapitalis ini, dimana kontrol negara memberikan pembatasan yang selayaknya dan tetap mengakui kedaulatan dari negara – negara. Pada tahun 1980, dengan berkembangnya perdagangan internasional, maka konsep perdagangan bebas mulai menyentuh negara – negara berkembang dan terbelakang. Pengaruh perdagangan bebas tersebut merupakan pengaruh dari 2 organisasi ekonomi internasional yaitu International Monetary Fund (IMF) dan World Bank.[13] Pengaruh tersebut masuk ke negara berkembang dan terbelakang dilakukan melalui desakan dari IMF, yang ikut campur dalam kebijakan ekonomi makro negara berkembang dan terbelakang. Latar belakang ikut campur tangan IMF dan World Bank, dalam menetapkan kebijakan ekonomi makro dari negara berkembang dan terbelakang merupakan akibat dari krisis ekonomi yang terjadi pada era tahun 1980 sampai dengan akhir era 90-an, dimana negara berkembang dan terbelakang pada saat itu mengalami krisis hutan luar negeri.[14] IMF dan World Bank sebagai dua organisasi moneter internasional saat itu menjadi dua pilar bantuan ekonomi untuk negara berkembang, akan tetapi bantuan moneter yang diberikan oleh kedua organisasi moneter internasional tersebut diberikan dengan syarat – syarat tertentu yang utamanya dikenal dengan istilah Structural Adjustment and Stabilization Program (SAP).[15] SAP pada intinya merupakan suatu desakan untuk menerapkan keterbukaan pasar dinegara berkembang sesuai dengan kesepakatan didalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994/WTO.[16]

 

B.  Rumusan Masalah

     Didalam memahami akibat yang ditimbulkan WTO, untuk negara berkembang maka, penulis mengutamakan analisis pada satu rumusan masalah yaitu implikasi penerapan dari perjanjian – perjanjian di WTO dinegara berkembang dan dampaknya. Penelaahan dari penerapan pejanjian WTO bertujuan untuk mengetahui, seberapa besar andil WTO dalam pembangunan ekonomi diseluruh negara WTO, khususnya negara berkembang dan terbelakang. Makalah ini juga mendasari penelitian pada pertanyaan apakah WTO telah mengakomodasi kepentingan ekonomi dari negara berkembang, serta tindakan proteksionis melalui kebijakan non – ekonomi yang dilakukan oleh negara maju serta konflik yang timbul didalm WTO antara dua kepentingan ekonomi yaitu kepentingan ekonomi negara maju dan negara berkembang.

 

 

 

C.  Subtansi Perjanjian Perdagangan WTO

     Fenomena ekonomi dunia pada masa kini, membuat negara-negara termasuk Indonesia, dituntut untuk mengikuti kecenderungan globalisasi ekonomi, yang mengarah pada penduniaan dalam arti peringkasan atau perapatan dunia (compression of the world) dalam bidang ekonomi. Globalisasi ekonomi yang juga semakin dikembangkan oleh prinsip liberalisasi perdagangan (trade liberalization) atau perdagangan bebas (free trade) lainnya, telah membawa pengaruh pada hukum setiap negara yang terlibat dalam globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas tersebut. Oleh karena arus globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas itu sulit untuk ditolak dan harus diikuti. Sebab globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas tersebut berkembang melalui perundingan dan perjanjian internasional.[17]

     Implikasi globalisasi ekonomi itu terhadap hukum tidak dapat dihindarkan. Sebab globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi tersebut, dalam arti substansi berbagai undang-undang dan perjanjian­perjanjian menyebar melewati batas-batas negara (cross-border).[18] Tepatlah pandangan Lawrence M. Friedman, yang mengatakan hukum itu tidak bersifat otonom, tetapi sebaliknya hukum bersifat terbuka setiap waktu terhadap pengaruh luar.[19] Dapat dipahami bahwa globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas telah menimbulkan akibat yang besar sekali pada bidang hukum. Negara-negara di dunia yang terlibat dengan globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas itu, baik negara maju maupun sedang berkembang bahkan negara yang terbelakang harus membuat standarisasi hukum dalam kegiatan ekonominya.

     WTO sebagai Organisasi Perdagangan Dunia merupakan organisasi internasional yang dihasilkan dalam Perundingan Putaran Uruguay (Uruguay Round), yang diselenggarakan dalam kerangka General Agreement on Tarif and Trade (GATT), yang dimulai pada September 1986 di Punta del Este, Uruguay dan berakhir pada 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko. WTO mulai beroperasi sebagai organisasi internasional pada tanggal 1 Januari 1995. WTO disebut sebagai pendukung vital untuk memperkuat kerjasama ekonomi dunia dan juga disebut sebagai salah satu organisasi internasional terpenting di bidang perekonomian internasional, di samping organisasi internasional lainnya. Hal ini dapat diamati dari pendapat Peter D. Sutherland, mantan Direktur Jenderal GATT yang disampaikan pada World EconomicText Box: 2Forum,

Money, Finance and Trade have all to be treated in an integrated way. The resources that can be mobilized by the World Bank in support of the development of essential infrastructure and enterprise are vital, especially to give a lead to promising private sector initiatives. The IMF’s role of guiding macro­economic and monetary policy is crucial one. And the new WTO will-over and above all its other specific tasks – provide a much-needed means of gauging the appropriateness and effectiveness of micro-economic policies through their impact on trade and consistency with multilateral rules.[20]

 

     Tujuan utama WTO sebagai organisasi perdagangan internasional adalah meliberalisasikan perdagangan internasional dan menjadikan perdagangan bebas sebagai landasan perdagangan internasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, pembangunan dan kesejahteraan umat manusia.[21] Sekarang ini substansi pengaturan yang ditangani WTO diperluas sampai mencakup bidang­ - bidang baru (new issues) yang sebelumnya tidak pernah dimuat dalam GATT, seperti masalah perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), masalah kebijakan di bidang investasi yang mempunyai dampak terhadap perdagangan, dan masalah perdagangan jasa General Agreements on Trade in Services  (GATS).

     Didalam WTO, disepakati perjanjian – perjanjian perdagangan internasional, yang harus dipatuhi oleh negara – negara anggota WTO, dikelompokan sebagai berikut:[22]

 

Barang

Jasa

Hak Kekayaan Intelektual

Sengketa

Prinsip Dasar

GATT

GATS

TRIPs

DSU

Tambahan

Persetujuan mengenai barang dan Lampiran

Lampiran bidang Jasa

 

 

Komitmen Akses Pasar

Skedul komitmen negara anggota

Skedul komitmen negara anggota (pengecualian terhadap prinsip MFN

 

 

 

     Kesepakatan – kesepakatan yang terdapat didalam perjanjian perdagangan dibawah WTO utamanya adalah untuk mengurangi hambatan – hambatan baik berupa penetapan tarif ataupun non – tarif.[23] Hambatan – hambatan tersebut termasuk pengenaan bea masuk dan tindakan pelarangan impor atau pembatasan kuantitatif impor melalui pengaturan kuota terhadap barang secara selektif.[24] Sejak pembentukan GATT 1947 telah diselenggarakan Sembilan putaran negosiasi perdagangan.[25] Putaran negosiasi ini tujuan utamanya adalah untuk melakukan perundingan masalah penurunan tarif atas barang impor.[26] Hasil yang telah dicapai melalui perundingan – perundingan tersebut adalah penurunan tingkat tariff secara teratur atas produk industri yang berkisar pada persentase 6,3% pada akhir era 1980.[27] Perkembangan yang timbul pada masa setelah era 1980, mendorong pembahasan tentang hambatan – hambatan non – tarif yang terdapat didalam barang, jasa dan hak kekayaan intelektual.[28]

     Untuk mendorong keikutsertaan negara berkembang dalam perjanjian WTO, maka didalam perjanjian – perjanjian perdagangan internasional dibawah organisasi ini terdapat pengecualian yang diberikan kepada negara berkembang dan terbelakang. pengecualian tersebut disebutkan dalam semua perjanjian yang disepakati, yang dikenal dengan istilah Special and Differential Treatment Clause (S&D).[29] Implimentasi dari ketentuan perlakuan yang khusus kepada negara berkembang dan terbelakang ini sering kali menjadi hambatan didalam perundingan perdagangan dikarenakan penerapan akan S&D sangat ditentang oleh negara maju yang memandang karena dianggap perlakuan yang berbeda ini akan lebih mengganggu perdagangan internasional daripada menguntungkan.[30]

 

D.  Analisis

     Peran GATT didalam perdagangan internasional semenjak dibentuknya WTO jauh lebih memberikan kuasa kepada WTO untuk mengontrol kebijakan ekonomi dari negara anggota. Didalam wadah WTO perjanjian perdagangan internasional tidak hanya mengatur lalulintas barang akan tetapi juga sektor jasa, hak kekayaan intelektual, dan penanaman modal.[31] Utamanya WTO juga menyepakati adanya suatu sistem penyelesaian sengketa didalam Dispute Settlement Understanding (DSU), yang memberikan hak yang sah kepada negara anggota untuk menentang kebijakan – kebijakan perdagangan negara lain dalam hal kebijakan tersebut menimbulkan kerugian.[32]

     Negara anggota WTO berdasarkan kebijakan perdagangan internasional yang ketat, tidak mungkin lagi dapat dengan bebas mengambil kebijakan perdagangan internasional yang protektif untuk industri dalam negerinya seperti pemberian subsidi atau ketentuan muatan nasional atas barang (local content).[33] Dapat disimpulkan dalam hal ini ruang gerak negara anggota untuk memberikan perlindungan atau dalam kaitannya dengan negara berkembang membangun industri nasionalnya menjadi terbatas karena kedaulatan negara untuk menentukan arah kebijakannya telah ditundukan dibawah WTO.[34]

     Berdasarkan kenyataan tersebut memberikan pemahaman sistem perdagangan bebas yang diterapkan oleh WTO, lebih memberikan hambatan kepada negara anggota daripada memberikan keuntungan untuk pembangunan negaranya. Salah satu contoh yang dapat diambil adalah kenyataan yang terjadi terhadap Vietnam, Argentina dan Haiti.[35] Vietnam yang pada awal era perdagangan tahun 2000, belum menjadi peserta dari WTO, akan tetapi pembangunan ekonomi yang dilakukan sejak tahun 1980, saat ini memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.[36] Sebaliknya Argentina dan Haiti yang merupakan anggota WTO, dari tahun 1990-an, ternyata pertumbuhan ekonominya tidak meningkat bahkan cenderung berhenti, kemiskinan meningkat, hutang luar negeri meningkat yang pada akhirnya menimbulkan sengketa politik yang cukup besar antara tahun 2000 – 2003.[37]

     Kekuasaan WTO, tidak hanya menimbulkan kerugian pada negara berkembang, dengan penerapan pasar bebas oleh WTO, banyak sekali perusahaan di negara maju yang memindahkan proses industri ke negara berkembang yang dianggap memiliki tingkat biaya rendah, sehingga mengakibatkan penurunan penyerapan tenaga kerja di negara industri maju, yang dalam jangka panjang menciptakan tingkat pengangguran yang tinggi dan tingkat kesejateraan yang menurun.[38]

     Keseluruhan perjanjian pada WTO pada akhirnya hanya memberikan keuntungan pada segelintir perusahaan multinasional dengan modal yang besar, tujuan utama dari WTO untuk mengembangan pembangunan ekonomi yang merata saat ini, dikesampingkan dengan pengembangan pasar bebas untul perusahaan multinasional yang kecenderungannya merupakan perusahaan – perusahaan dari kelompok negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang atau negara di benua Eropa.[39] Pengesampingan dari tujuan utama tersebutkan diakibatkan pembentukan dari perjanjian perdagangan seperti Trade Related Investment Measures (TRIMs) dan Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs).[40] Berdasarkan TRIPs perusahaan multinasional saat ini tidak hanya dapat menjadi pemegang paten penemuan – penemuan baru (invention), tetapi kini perusahaan multinasional juga dimungkinkan dapat memegang hak intelektual terhadap produk yang tidak dikategorikan sebagai invensi seperti benih atau varietas unggul tanaman yang sangat penting bagi negara berkembang yang mayoritas merupakan negara agricultural.[41] Kebijakan perdagangan dalam TRIPs disebutkan di atas akan mempersulit negara berkembang untuk meningkatkan tingkat ekonominya yang sangat bergantung pada sektor pertanian, dikarenakan akses atas benih dan varietas unggul menjadi terbatas, mengingat perusahaan multinasional akan menjual produknya sebagai komoditi dengan harga sesuai permintaan (harga pasar).

     Berdasarkan atas kenyataan ini para aktivis lingkungan hidup menyatakan bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran dari hak para petani, mengingat benih tanaman yang telah dipatenkan oleh perusahaan multinasional tergolong sebagai genetic commons. Genetic commons merupakan benih tanaman yang senyatanya telah dikembangkan dalam kurun waktu lama oleh para petani dan dikembangkan secara tradisional, dengan proses sosialiasi yang juga tradisional.[42] Selain TRIPS, perjanjian WTO yang juga tidak mengakomodir kepentingan dari negara berkembang adalah TRIMs. Sebelum diterapkannya TRIMs, prinsip penanaman modal internasional didasarkan pada Pasal 7 dari Charter of Economic Rights and Duties of States (CERD) yang menyatakan negara memiliki kedaulatan dan tanggung jawab untuk mengembangkan peningkatan ekonomi, sosial dan budaya, yang pelaksanaannya dilakukan dengan kebebasan penetapan kebijakan – kebijakan yang dapat mendukung tujuan pembangunannnya.[43] CERD didalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, juga menentukan negara yang berdaulat memiliki hak untuk mengatur dan mengawasi kegiatan – kegiatan usaha dari perusahaan multinasional dinegaranya untuk melindungi sektor ekonomi dan sosialnya. Kedua prinsip dasar yang ditetapkan oleh CERD pada intinya menentukan hak negara untuk membentuk kebijakan penanaman modal yang lebih ditujuan kepada pembangunan nasional.[44] Penerapan TRIMs pada telah melanggar segala kebijakan yang dapat dilakukan oleh negara untuk melaksanakan pembangunan ekonomi nasional. Salah satu kegiatan yang dilarang adalah ketentuan tentang diskriminasi produk nasional dan asing. Kebanyakan industri nasional di negara berkembang merupakan digolongkan sebagai infant industry, yang pada intinya merupakan industri yang masih dalam tahap pengembangan dengan tingkat produksi rendah. Persaingan tidak sehat dalam hal ini tercipta karena persamaan perlakuan antara infant industry dan perusahaan multinasional dengan tingkat modal dan produksi tinggi. Selayaknya melalui CERD negara berkembang dapat melakukan pengembangan industri – industri kecil ini, melalui subsidi ataupun pembatasan kuota, tetapi dengan diterapkannya TRIMs maka hal tersebut tidak dapat dilaksanakan.

     Perjanjian lain yang juga menjadi suatu hambatan untuk pembangunan nasional negara berkembang adalah perjanjian dalam bidang pertanian, yang memberikan pengecualian keberlakukan aturan didalam Agreement on Subsidies and Countervailing Measures. Disebutkan diatas negara berkembang secara mayoritas merupakan negara yang unggul dengan produk pertanian, tetapi melalui perjanjian pertanian, kegiatan tersebut dihambat, yang mana saat ini negara industri maju masih menggunakan subsidi yang sangat tinggi untuk melindungi sektor pertanian di negaranya.   

     Didalam GATT 1994, tidak mengatur secara spesifik tentang dampak pasar bebas terhadap lingkungan hidup atau pembatasan akan tindakan perdagangan yang memberikan dampak negatif pada lingkungan hidup. Saat ini banyak negara anggota yang menggunakan isu lingkungan hidup sebagai salah satu alasan penerapan kebijakan proteksionis. Salah satunya adalah sebagaimana yang terjadi pada penyelesaian sengketa melalui DSB atas Sengketa US – Shrimp yang didasarkan pada tindakan Amerika Serikat melarang import udang dari negara – negara anggota WTO berdasarkan peraturan Section 609 of US Public Law 101-162[45], yang ditangkap dengan cara yang dapat membunuh kura – kura.

     Pengajuan penyelesaian sengketa tersebut diajukan oleh India, Pakistan, Malaysia dan Thailand selaku pengekspor udang ke Amerika Serikat[46]. Argumentasi keempat negara tersebut adalah larangan import udang Amerika Serikat merupakan pelanggaran dari Pasal XI, GATT 1994 tentang quantitative restriction. Bilamana dilihat dari keadaan perdagangan udang di Amerika Serikat pada saat itu, keempat negara pemohon menguasai sebagian besar dari 85 persen pasar udang Amerika Serikat.[47] Hal tersebut juga menekan industi udang Amerika Serikat untuk menjual murah udang dan produksi udangnya.

     Hilangnya pasar tersebut akan memberikan dampak yang sangat besar bagi ekonomi keempat negara pemohon khususnya untuk industri udang nasionalnya. Ekuador yang juga merupakan negara pengimport udang ke Amerika Serikat tidak mengajukan penyelesaian sengketa ini, karena kerugian yang diderita oleh Ekuador kurang dari 10 persen dari keseluruhan pasar udang Ekuador, yang pengaruhnya tidak terlalu besar terhadap ekonomi Ekuador.[48] Perbandingan antara keadaan keempat negara pemohon dengan keadaan Ekuador maka dapat terlihat kerugian ekonomi merupakan faktor utama diajukannya penyelesaian sengketa dalam kasus USA – Shrimp.

     Berdasarkan atas contoh kasus di atas maka permohonan penyelesaian sengketa memang selalu didasarkan pada suatu perjanjian WTO, akan tetapi pengajuannya sendiri adalah suatu didasarkan pada keadaan yang merugikan atau dapat merugikan negara yang mengajukan kasus tersebut, bilamana tindakan pelanggaran tersebut tetap dilaksanakan.

 

E.  Kesimpulan

     Perkembangan dari perjanjian – perjanjian didalam wadah WTO, telah memberikan pembatasan kedaulatan negara untuk menerapkan kebijakan yang dapat meningkatkan pembangunan ekonomi dinegaranya. Idealism dari WTO yang cenderung memaksakan pemberlakuan pasar bebas di negara berkembang dan persamaan perlakuan dengan negara industri maju telah menimbulkan kesenjangan yang lebih jauh. Prinsip persamaan perlakuan yang ditentukan oleh WTO, yang dipaksakan penerapannya kepada sebagian besar negara berkembang, memberikan akibat negatif. Persaingan yang tidak sehat dengan kebijakan pasar bebas WTO, dapat timbul antara negara berkembang dan industri maju, atau antara perusahaan nasional dan perusahaan multinasional. Persamaan perlakuan dalam perdagangan tersebut diterapkan kepada negara atau industri dengan modal yang sangat kecil, tingkat teknologi yang rendah serta tingkat produksi yang masih sangat kecil dengan negara industri maju dengan perusahaan multinasionalnya yang memiliki, tingkat produksi, modal dan teknologi yang sangat tinggi. Persamaan perlakuan didalam WTO ini, akan lebih mematikan ekonomi negara berkembang daripada meningkatkan tingkat pembangunan ekonomi.

 



[1] Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan HKI, Direktorat Jenderal Multilateral, Departemen Luar Negeri, Sekilas WTO (World Trade Organization, edisi keempat (Jakarta: Penerbit Dit. Perdagangan, Perindustrian, Investasi, dan HKI, Ditjend Multilateral, Departemen Luar Negeri, 2006), hal. 3.

[2] Mark R. Sandstrom & David N. Goldsweig, ed., International Practitioner’s Deskbook Series – Negotiating International Commercial transactions, second edition (Chicago, Illinois: American Bar Association, 2003), hal. 136.

[3] Munir Fuady, Hukum Dagang (Aspek Hukum dari WTO, cet. 1 (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 29.

[4] Deplu, op. cit., hal. 1.

[5] H.S. Kartadjoemena, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, cet. 2 (Jakarta: Penerbit Universitas Indoneia (UI-Press), 1998), hal. 4.

[6] Fuady, op. cit., hal. 9.

[7] Ibid., hal. 7.

[8] Deplu, op. cit., hlm. 1.

[9] Ida Susanti & Bayu Seto, ed., Aspek Hukum dari Perdagangan bebas – Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia  dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, cet. 1 (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 13.

[10] Ibid.

[11] Ibid.

[12] Manfred B. Steger, Globalization: A Very Short Introduction, (Oxford: Oxford University Press, 2003), hal. 2.

[13] Vincent Ferraro & Melissa Rosser, Global Debt and Third World Development , dalam World Challenges for a New Century, edited by Michael T. Klare & Daniel C. Thomas, (1995), hal. 5.

[14] Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontent, (New York: Norton & Company, Inc, 2003), hal. 89.

[15] Ibid.

[16] Susanti, et al., op. cit., hal.15.

[17] John Braithwaite dan Peter Drahos, Global Business Regulation, (New York: Cambridge University Press, 2000), hal. 24-23

[18] Erman Rajagukguk, “Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia,” pidato pada Dies Natalis Universitas Sumatera Utara Ke-44, Medan 20 Nopember 2001, hal. 4.

 

[19] Lawrence M. Friedman, Legal Cultur and the Welfare State: Law and Society -An Introduction, (Cambridge, Massachusetts, London: Harvard University Press, 1990), hal. 89

[20] Peter D. Sutherland, “Global Trade – The Next Challenge,” Pidato disampaikan pada World Economic Forum, Davos, tanggal 28 Januari 1994.

[21] Daniel S. Ehrenberg, “The Labor Link: Applying the International Trading System to Enforce Violation of Forced and Child Labor,” Yale Journal International Law, (Vol. 20, 1995), hal. 391.

 

[22] Deplu, op. cit., hlm. 23.

[23] Ibid., hal. 6

[24] Ibid.

[25] Ibid.

[26] Ibid.

[27] Ibid.

[28] Kartadjoemena, op. cit., hal. 77.

[29] Joseph E. Stiglitz & Andrew Charlton, Fair Trade For All – How Trade Can Promote Development, (Oxford, United Kingdom: Oxford University Press, 2007), hal. 88.

[30] John H. Jackson, et al. Legal Problem of International Economic Relations – Cases, Materials and Text on the National and International Regulation of Transnational Economic Relation, fourth edition. (St. Paul, Minnesota: West Publishing Co, 1995), hal 1187.

[31] Bossche, Peter Van den. The Law and Policy of the World Trade Organization – Text, Cases and Materials, sixth edition. United Kingdom: Cambridge University Press, 2007.

[32] Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2006), hal. 132.

[33]Lihat,  Andreas F. Lowenfeld, International Economic Law, (Oxford, United Kingdom: Oxford University Press, 2002).

[34] Lihat, Stephen Woolcock, The Multilateral Trading System into the New Millenium, dalam Trade Politic: International Domestic and Regional Perspectives, (1999)

[35] Bruce Ross-Larson, ed., Making Global Trade Work for People, (United Kingdom: Earthscan Publication, 2003), hal. 27.

[36] Ibid.

[37] Sarah Anderson, Argentina and the IMF, dalam Alternatives Task Force of the International Forum on Globalization, Alternatives to Economic Globalization: A Better World Is Possible, edited by John Cavanagh, (United States of America: Berret – Koehler Publisher, 2002), hal. 35.

[38] A.F. Elly Erawati, Globalisasi dan Perdagangan Bebas: Suatu Pengantar, dalam Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas  - Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, edited by Ida Susanti dan Bayu Seto, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 30 – 31.

[39] Ibid., hal. 31.

[40] Lihat, John Braithwaite dan Peter Drahos, Global Business Regulation, (Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press, 2000)

[41] Vandana Shiva, From Commons to Corporate Patents on Life, dalam Alternatives Task Force of the International Forum on Globalization, Alternatives to Economic Globalization: A Better World Is Possible, edited by John Cavanagh, (United States of America: Berret – Koehler Publisher, 2002), hal. 35

[42] Ibid.

[43] Lihat Pasal 7, dari the Charter of Economic Rights and Duties of States.

[44] Martin Khor, The WTO and the South: Implications of the Emerging Global Economic Governance for Development, dalam Globalization versus Development, edited by Jomo K.S and Shyamala Nagaraj, (2001), hal. 61.

[45] Prabhash Ranjan, Discussions On Disputes - Shrimp-Turtle Dispute Between The Us And India, Malaysia, Pakistan, Thailand,< http: //www.centad .org /disputes_dis_02.asp>, diakses pada tanggal 13 Mei 2008

[46] WTO Condemns US Shrimp Ban, Recommends Negotiated Solutions To Conserve Sea Turtles, < http://www.ictsd.org/html/review2-3.8.htm>, diakses pada tanggal 13 Mei 2008

[47] Andrew Schmitz, et al., International Agricultural Trade Disputes: Case Studies in North America, < http://edis.ifas.ufl.edu/FE381>, di akses pada tanggal 13 Mei 2008

[48] WTO Condemns US Shrimp Ban, Recommends Negotiated Solutions To Conserve Sea Turtles, op. cit.