Senin, 13 Agustus 2012

ANALISIS HUBUNGAN ANTARA WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) INTERNATIONAL MONETARY FUND (IMF) SERTA WORLD BANK SERTA DAMPAKNYA DALAM EKONOMI NEGARA BERKEMBANG


ANALISIS HUBUNGAN ANTARA WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) INTERNATIONAL MONETARY FUND (IMF) SERTA WORLD BANK SERTA DAMPAKNYA DALAM EKONOMI NEGARA BERKEMBANG
OLEH:Eko Prilianto Sudradjat[1]
A.  Pendahuluan
     Perkembangan dunia khususnya dalam bidang perdagangan menuju pasar bebas dimulai pada tahun 1994, dimana terbentuk World Trade Organization (WTO).[2] WTO didirikan sebagai hasil perundingan Putaran Uruguay yang diselenggarakan dalam kerangka General Agreement on Tariff and Trade (GATT), yang dimulai pada September 1986 di Punta del Este, Uruguay dan berakhir pada April 1994 di Marrakesh, Maroko.[3] Perjanjian WTO beserta seluruh lampirannya (annex) berlaku mulai 1 Januari 1995.[4] WTO organisasi yang terbentuk untuk menjadi wadah bagi negara – negara dunia khususnya negara anggota WTO, untuk berkonsultasi dan menyepakati aturan – aturan perdagangan internasional, yang lebih terbuka, dan lebih adil.[5] Terbentuknya WTO diawali dengan terbentuknya General Agreement on Trade and Tariffs (GATT) 1947, yang merupakan suatu perjanjian yang menyepakati aturan – aturan dasar didalam perdagangan.[6]
     GATT 1947 dilatarbelakangi dengan berakhirnya Perang Dunia II, dimana pada saat itu sebagian besar negara di benua Eropa dan Amerika, mengalami kesulitan ekonomi, yang mengakibatkan banyak negara -  negara tersebut menutup diri, untuk melindungi ekonomi didalam negeri.[7] Perlindungan ekonomi tersebut dilaksanakan dengan menerapkan tarif bea masuk untuk produk – produk dari negara lain dengan nilai yang sangat tinggi, hal ini merupakan upaya untuk melindungi industri didalam negeri.[8]
     Negara Indonesia pada tahun 1994 dengan menandatangani dan meratifikasi perjanjian pembentukan organisasi perdagangan dunia (WTO)menjadi anggota dari WTO, dan tunduk dan patuh atas aturan – aturan perdagangan dunia yang telah disepakati dan tercantun dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994.[9] Seluruh perjanjian WTO dianggap sebagai single undertaking yang artinya semua negara anggota WTO menandatangani perjanjian – perjanjian WTO, sebagai satu kesatuan paket.[10] WTO merupakan hasil dari Konferensi Bretton Wood yang diprakarsai oleh Amerika Serikat.[11] Konferensi Bretton Wood menghasilkan konsep dasar dari globalisasi ekonomi yang saat ini terjadi.[12] Sistem ekonomi dunia hasil dari Konferensi Bretton Wood pada prinsipnya merupakan sistem ekonomi kapitalis yang terkontrol melalui campur tangan negara yang dikembangkan oleh Maynard Keynes.[13] Masa 1947 – 1980 merupakan jaman keemasan dari sistem kapitalis ini, dimana kontrol negara memberikan pembatasan yang selayaknya dan tetap mengakui kedaulatan dari negara – negara. Pada tahun 1980, dengan berkembangnya perdagangan internasional, maka konsep perdagangan bebas mulai menyentuh negara – negara berkembang dan terbelakang. Pengaruh perdagangan bebas tersebut merupakan pengaruh dari 2 organisasi ekonomi internasional yaitu International Monetary Fund (IMF) dan World Bank.[14] Pengaruh tersebut masuk ke negara berkembang dan terbelakang dilakukan melalui desakan dari IMF, yang ikut campur dalam kebijakan ekonomi makro negara berkembang dan terbelakang. Latar belakang ikut campur tangan IMF dan World Bank, dalam menetapkan kebijakan ekonomi makro dari negara berkembang dan terbelakang merupakan akibat dari krisis ekonomi yang terjadi pada era tahun 1980 sampai dengan akhir era 90-an, dimana negara berkembang dan terbelakang pada saat itu mengalami krisis hutan luar negeri.[15] IMF dan World Bank sebagai dua organisasi moneter internasional saat itu menjadi dua pilar bantuan ekonomi untuk negara berkembang, akan tetapi bantuan moneter yang diberikan oleh kedua organisasi moneter internasional tersebut diberikan dengan syarat – syarat tertentu yang utamanya dikenal dengan istilah Structural Adjustment and Stabilization Program (SAP).[16] SAP pada intinya merupakan suatu desakan untuk menerapkan keterbukaan pasar dinegara berkembang sesuai dengan kesepakatan didalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994/WTO.[17]
B.  Pokok Permasalahan
     Bertolak dari uraian diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan pokok yang akan diteliti dan diungkapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.  Apakah hubungan yang ada antara IMF, Bank Dunia dan GATT?
2.  Bagaimana pengaruh sistem Bretton Wood untuk Indonesia?
3.  Bagaimanakan seyogyanya Indonesia menerapkan sistem Bretton Wood untuk keuntungan Indonesia?
C.  Landasan Teori
Dalam penelitian ini, sebagai landasan teoritis dalam analisa yang digunakan untuk mengetahui korelasi antara tiga organisasi internasional hasil dari kesepakatan Bretton Wood serta pengaruhnya untuk Indonesia akan digunakan teori hukum alam dan teori utilitarian. Menurut Aquinas, hukum dapat mengandung ketidak-adilan manakala la bertentangan dengan gagasan tentang kesejahteraan manusia. Ketidakadilan hukum dapat terjadi karena tiga hal. Pertama, karena penguasa memaksakan hukum yang tidak membawa kesejahteraan umum, tetapi semata-mata hanya karena keinginan penguasa sendiri. Kedua, karena pembuat hukum melampaui kewenangan yang dimilikinya. Ketiga, karena hukum dipaksakan kepada masyarakat, meskipun alasannya demi kesejahteraan umum. Aquinas menyebutnya sebagai tindak kekerasan dari hukum.
Hubungan hukum alam dan hukum positif biasanya dirumuskan dalam bentuk hak.[18] Hak adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain atas dasar prinsip kesamaan. Sesuatu dapat menjadi hak seseorang melalui dua cara. Pertama, sesuatu dapat menjadi hak seseorang melalui kodratnya. Hak ini disebut hak kodrati. Hak kodrati sebagaimana diatur oleh hukum alam bersumber dari Tuhan. Kedua, sesuatu dapat menjadi hak seseorang melalui perjanjian atau persetujuan dengan orang lain, baik persetujuan antar individu maupun persetujuan publik. Hak yang kedua ini disebut hak positif dan diatur di dalam hukum positif. Melalui ajaran hukum alam dari Aquinas ini menjadi tidak sulit untuk memahami aspirasi yang menghendaki pengakuan terhadap hak kolektif atas warisan budaya (cultural heritage).
Selanjutnya, Fuller berpendapat bahwa hukum harus memiliki karakteristik tertentu supaya ia dapat disebut sebagai 'hukum'. Karakteristik yang paling penting adalah "internal morality".[19] Kehadiran moral dalam hukum dilambangkan dengan keadilan.[20] Keadilan menurut Aristoteles dapat dipaharni dalam dua pengertian, yaitu pengertian yang umum dan pengertian yang khusus (particular). Keadilan dalam pengertian umum diartikan sebagai complete virtue[21] (kebajikan yang paripurna). John Rawls memberi arti yang hampir sama bahwa justice is the first virtue of social institutions, as truth is of system of thought.[22]
Keadilan khusus (particular) menurut Aristoteles mencakup pengertian distributive justice dan rectificatory justice, atau yang juga disebut corrective justice. Distributive justice mengacu pada prinsip bahwa setiap orang di dalam masyarakat harus mendapatkan bagian yang sama berkenaan dengan harta benda (assets) atau segala sesuatu yang divisible (dapat dibagi) di antara anggota komunitas.[23] Sedangkan distributive justice senantiasa melibatkan tiga pihak, yaitu dua pihak yang saling menuntut keadilan dan pihak ketiga (central authority) yang bertugas memberikan keadilan.[24]
Keadilan (justice) yang dimaksudkan di atas (distributive dan corrective) semuanya bersifat substantif. Artinya, semua bentuk keadilan tersebut lebih menekankan kepada hasilnya (result). Hal ini berbeda dengan fairness yang lebih menekankan kepada pertanyaan bagaimana keadilan itu bisa dicapai.[25] Fairness adalah keadilan yang lebih bersifat prosedural. Berbicara mengenai fairness adalah berbicara mengenai bagaimana proses untuk mencapai keadiLan (justice) itu di1akukan dengan adil (fair). Hubungan antara fair procedures dan substantive justice digambarkan oleh John Rawls dalarn frase “justice as fairness". Jika prosedur untuk menerapkan keadilan adalah fair, maka hasilnya adil.[26]
Dalam konteks penelitian ini, perjuangan negara-negara berkembang untuk melindungi kepentingan ekonominya adalah perjuangan untuk memperoleh keadilan dalam hal mendapatkan perlindungan baik dalam skala nasional maupun skala internasional.
Ketidakadilan yang diakibatkan oleh penerapan prinsip kesamaan perlakuan (non-diskriminasi) yang dituntut negara-negara maju mela1ui WTO harus dikoreksi kembali berdasarkan prinsip rectificatory justice atau corrective justice. Dalam hal ini inisiatif Pemerintah untuk mengupayakan perlindungan kepentingan ekonomi masyarakat merupakan salah satu bentuk penyeimbangan kembali situasi tidak adil (unjust) yang dilakukan oleh negara-negara maju.
Selanjutnya, teori utilitarian juga digunakan untuk menganalisis bahwa pada hakekatnya hukum dibentuk untuk mencapai kebahagiaan dari sebagian terbesar warga masyarakat. Teori utilitarianisme yang dipelopori oleh Bentham adalah tentang hukum yang menyatakan bahwa the ultimate end of legislation is the greatest happiness of the greatest number.[27]
Mengacu pada teori Bentham tersebut hukum harus diciptakan berdasarkan rasa keadilan masyarakat demi kebahagiaan warga masyarakat yang bersangkutan. Ukuran rasional yang objektif dari kemanfaatan tersebut adalah jika hukum yang dimaksud secara ekonomis mampu menciptakan kesejahteraan bagi sebagian terbesar warga masyarakatnya.
Berdasarkan prinsip utilitarian, hukum alam diciptakan untuk mencapai kebahagiaan bagi bagian terbesar warga masyarakatnya.[28] Di sinilah pertemuan antara teori utilitarian Bentham dengan teori hukum alam Aquinas tentang kebaikan (goodness) dan kebahagian (happiness)[29] sebagai tujuan akhir dari semua tindakan manusia. Hukum harus diciptakan untuk kebahagiaan masyarakatnya atau kebahagiaan dari bagian terbesar warga masyarakatnya.
D.  Metodologi Penelitian
Penelitian hukum pada dasarnya adalah kegiatan penyelesaian masalah. Penyusunan tesis ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Metode yuridis normatif memusatkan perhatian pada kajian tentang norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, konvensi internasional, traktat, keputusan-keputusan pengadilan serta norma-norma hukum yang hidup di masyarakat. sehingga penelitian ini bersifat preskriptif yaitu berusaha mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah yang ada.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu bertujuan untuk memahami latar belakang dari suatu konsep hukum yaitu terutama konsep hukum ekonomi internasional khususnya terkait dengan sistem ekonomi Bretton Wood. Sedangkan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan hasil-hasil penelitian serta dilengkapi wawancara.

E.  Analisa
     Fenomena ekonomi dunia pada masa kini, membuat negara-negara termasuk Indonesia, dituntut untuk mengikuti kecenderungan globalisasi ekonomi, yang mengarah pada penduniaan dalam arti peringkasan atau perapatan dunia (compression of the world) dalam bidang ekonomi. Globalisasi ekonomi yang juga semakin dikembangkan oleh prinsip liberalisasi perdagangan (trade liberalization) atau perdagangan bebas (free trade) lainnya, telah membawa pengaruh pada hukum setiap negara yang terlibat dalam globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas tersebut. Oleh karena arus globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas itu sulit untuk ditolak dan harus diikuti. Sebab globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas tersebut berkembang melalui perundingan dan perjanjian internasional khususnya sebagaimana disepakati dalam konferensi Bretton Wood.[30]
Sistem Bretton Woods lahir karena kebutuhan adanya sistem moneter yang andal untuk mengatasi dampak berakhirnya Perang Dunia II. Berdasarkan pengalaman Perang Dunia I, sesudah perang adalah masa yang sangat berat bagi perekonomian dunia. Kebangkitan perekonomian negara-negara yang terlibat perang, seperti peningkatan produksi bahan makanan dan industri, akan membuat produksi global meningkat cepat, jauh melebihi kebutuhan.
Keadaan inilah yang melahirkan terjadinya proteksi dan devaluasi yang bergantian terus-menerus (competitive devaluation). Kebijakan suatu negara pada akhirnya hanyalah ingin melindungi negaranya sendiri dan tidak memedulikan dampaknya bagi perekonomian negara lain. Istilah yang tepat untuk menggambarkan itu adalah Beggar thy neighbor policy. Berdasarkan pengalaman tersebut, sebelum Perang Dunia II selesai, sebanyak 44 negara berkumpul di Desa Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat (AS), tepatnya pada 1-22 Juni 1944. Pertemuan panjang tersebut, yang antara lain dihadiri John Maynard Keynes dari Inggris dan Dexter White dari AS, akhirnya mengambil putusan untuk membangun Sistem Bretton Woods, di mana pendirian Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/ IMF) menjadi salah satu pilar.
Sistem moneter baru tersebut mendasarkan diri pada sistem nilai tukar tetap terhadap dolar AS, sedangkan dolar AS dikaitkan dengan emas, di mana setiap 1 ons emas (sekira 30 gram) ditetapkan harganya sebesar USD35. Dengan cara ini, nilai tukar antarmata uang di luar dolar AS juga menjadi tetap. Konferensi tersebut juga melahirkan Bank Dunia dalam bentuk International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) serta organisasi perdagangan dunia (semula dirancang dalam bentuk International Trade Organization), yang kemudian muncul dalam bentuk General Agreement in Tariffs and Trades (GATT) pada 1947. Baru pada 1995, World Trade Organization (WTO) terbentuk. Sistem nilai tukar yang sedemikian mendasarkan diri pada premis bahwa setiap negara harus menjaga keseimbangan neraca pembayarannya. Jika terjadi ketidakseimbangan neraca pembayaran (terutama ekspor-impor), perlu dilakukan langkah perbaikan, baik yang sifatnya sementara (misalnya dengan bantuan IMF) maupun bersifat lebih struktural, yaitu melalui devaluasi atau revaluasi. Sistem ini pada akhirnya memang membawa stabilitas yang lebih baik dalam perekonomian dunia, meskipun di sana-sini terjadi penyesuaian nilai tukar maupun penyesuaian struktural perekonomian berbagai negara.
     Implikasi globalisasi ekonomi itu terhadap hukum tidak dapat dihindarkan. Sebab globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi tersebut, dalam arti substansi berbagai undang-undang dan perjanjian­perjanjian menyebar melewati batas-batas negara (cross-border).[31] Tepatlah pandangan Lawrence M. Friedman, yang mengatakan hukum itu tidak bersifat otonom, tetapi sebaliknya hukum bersifat terbuka setiap waktu terhadap pengaruh luar.[32] Dapat dipahami bahwa globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas telah menimbulkan akibat yang besar sekali pada bidang hukum. Negara-negara di dunia yang terlibat dengan globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas itu, baik negara maju maupun sedang berkembang bahkan negara yang terbelakang harus membuat standarisasi hukum dalam kegiatan ekonominya.
     sejak akhir tahun 1980  muncul suatu strategi pembangunan “baru” yang tercermin dalam program kebijakan pembangunan dari IMF(International Monetary Fund) dan Bank Dunia. Strategi pembangunan “baru” itu dengan jelas menunjukan adanya Renaissance (kebangkitan kembali) pola pikir dari kaum liberal dalam teori ekonomi pembangunan. Strategi pembangunan “baru” itu berlandaskan utamanya adalah mengarah kepada suatu tuntutan untuk mengurangi keterbelakangan, baca kemiskinan. Artinya dibutuhkan suatu perubahan struktur yang tidak efisien. Caranya dengan menjalankan kebijakan penyesuaian struktural (SAP). SAPs dikaitkan dengan pinjaman dari IMF dan Bank dunia, khususnya sejak krisis utang pada awal 1980-an (mis: Argentina, Mexico, Brazil, Ghana, Nigeria), akan tetapi juga di Eropa Timur dan selama krisis moneter Asia sejak tahun 1997 (Thailand, Indonesia, Korea Selatan). SAP menerapkan persyaratan persyaratan pada pinjaman hard currency jangka pendek (IMF) atau pinjaman dengan jangka lebih panjang (Bank Dunia). Gabungan dari persyaratan yang sama, termasuk penelitian yang cermat dan mendetail tentang semua kebijakan pemerintah, akan diperkuat lewat perjanjian, ‘letter of intent’ dan pemberian dana pinjaman secara bertahap. Persyaratan ini secara tipikal mencakup:
1.    Penghilangan subsidi harga dan pengendalian harga
2.    Pemotongan tarif dan kontrol perdagangan yang lain
3.    Devaluasi sesegera mungkin terhadap mata uang, dan pembebasan atas pengendalianpertukaran mata uang asing
4.    Peningkatan industri untuk ekspor
5.    Tingkat suku bunga tinggi, untuk mencegah inflasi dan menarik modal asing
6.    Pengurangan pelayanan pemerintah dan menggantinya dengan ‘penyediaan pelayananoleh swasta’ dan kerjasama publik-swasta pada beberapa prasarana.
7.    Swastanisasi badan usaha milik negara yang menguntungkan.

     Utamanya kaitan antara WTO dan IMF serta Bank Dunia adalah konsep SAP yang dikembangkan oleh IMF. WTO sebagai Organisasi Perdagangan Dunia merupakan organisasi internasional yang dihasilkan dalam Perundingan Putaran Uruguay (Uruguay Round), yang diselenggarakan dalam kerangka General Agreement on Tarif and Trade (GATT), yang dimulai pada September 1986 di Punta del Este, Uruguay dan berakhir pada 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko. WTO mulai beroperasi sebagai organisasi internasional pada tanggal 1 Januari 1995. WTO disebut sebagai pendukung vital untuk memperkuat kerjasama ekonomi dunia dan juga disebut sebagai salah satu organisasi internasional terpenting di bidang perekonomian internasional, di samping organisasi internasional lainnya. Hal ini dapat diamati dari pendapat Peter D. Sutherland, mantan Direktur Jenderal GATT yang disampaikan pada World EconomicText Box: 2Forum,
Money, Finance and Trade have all to be treated in an integrated way. The resources that can be mobilized by the World Bank in support of the development of essential infrastructure and enterprise are vital, especially to give a lead to promising private sector initiatives. The IMF’s role of guiding macro­economic and monetary policy is crucial one. And the new WTO will-over and above all its other specific tasks – provide a much-needed means of gauging the appropriateness and effectiveness of micro-economic policies through their impact on trade and consistency with multilateral rules.[33]

     Tujuan utama WTO sebagai organisasi perdagangan internasional adalah meliberalisasikan perdagangan internasional dan menjadikan perdagangan bebas sebagai landasan perdagangan internasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, pembangunan dan kesejahteraan umat manusia sebagaimana disebutkan dalam sistem IMF khususnya yang terkait dengan konsep SAP.[34] Sekarang ini substansi pengaturan yang ditangani WTO diperluas sampai mencakup bidang­ - bidang baru (new issues) yang sebelumnya tidak pernah dimuat dalam GATT, seperti masalah perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), masalah kebijakan di bidang investasi yang mempunyai dampak terhadap perdagangan, dan masalah perdagangan jasa General Agreements on Trade in Services  (GATS).
     Didalam WTO, disepakati perjanjian – perjanjian perdagangan internasional, yang harus dipatuhi oleh negara – negara anggota WTO, dikelompokan sebagai berikut:[35]

Barang
Jasa
Hak Kekayaan Intelektual
Sengketa
Prinsip Dasar
GATT
GATS
TRIPs
DSU
Tambahan
Persetujuan mengenai barang dan Lampiran
Lampiran bidang Jasa


Komitmen Akses Pasar
Skedul komitmen negara anggota
Skedul komitmen negara anggota (pengecualian terhadap prinsip MFN



     Kesepakatan – kesepakatan yang terdapat didalam perjanjian perdagangan dibawah WTO utamanya adalah untuk mengurangi hambatan – hambatan baik berupa penetapan tarif ataupun non – tarif.[36] Hambatan – hambatan tersebut termasuk pengenaan bea masuk dan tindakan pelarangan impor atau pembatasan kuantitatif impor melalui pengaturan kuota terhadap barang secara selektif.[37] Sejak pembentukan GATT 1947 telah diselenggarakan Sembilan putaran negosiasi perdagangan.[38] Putaran negosiasi ini tujuan utamanya adalah untuk melakukan perundingan masalah penurunan tarif atas barang impor.[39] Hasil yang telah dicapai melalui perundingan – perundingan tersebut adalah penurunan tingkat tariff secara teratur atas produk industri yang berkisar pada persentase 6,3% pada akhir era 1980.[40] Perkembangan yang timbul pada masa setelah era 1980, mendorong pembahasan tentang hambatan – hambatan non – tarif yang terdapat didalam barang, jasa dan hak kekayaan intelektual.[41]
     Untuk mendorong keikutsertaan negara berkembang dalam perjanjian WTO, maka didalam perjanjian – perjanjian perdagangan internasional dibawah organisasi ini terdapat pengecualian yang diberikan kepada negara berkembang dan terbelakang. pengecualian tersebut disebutkan dalam semua perjanjian yang disepakati, yang dikenal dengan istilah Special and Differential Treatment Clause (S&D).[42] Implimentasi dari ketentuan perlakuan yang khusus kepada negara berkembang dan terbelakang ini sering kali menjadi hambatan didalam perundingan perdagangan dikarenakan penerapan akan S&D sangat ditentang oleh negara maju yang memandang karena dianggap perlakuan yang berbeda ini akan lebih mengganggu perdagangan internasional daripada menguntungkan.[43]

F.  Analisis
     Pengaruh WTO masuk ke negara berkembang dan terbelakang dilakukan melalui desakan dari IMF, yang ikut campur dalam kebijakan ekonomi makro negara berkembang dan terbelakang. Latar belakang ikut campur tangan IMF dan World Bank, dalam menetapkan kebijakan ekonomi makro dari negara berkembang dan terbelakang merupakan akibat dari krisis ekonomi yang terjadi pada era tahun 1980 sampai dengan akhir era 90-an, dimana negara berkembang dan terbelakang pada saat itu mengalami krisis hutan luar negeri.[44] IMF dan World Bank sebagai dua organisasi moneter internasional saat itu menjadi dua pilar bantuan ekonomi untuk negara berkembang, akan tetapi bantuan moneter yang diberikan oleh kedua organisasi moneter internasional tersebut diberikan dengan syarat – syarat tertentu yang utamanya dikenal dengan istilah Structural Adjustment and Stabilization Program (SAP).[45] SAP pada intinya merupakan suatu desakan untuk menerapkan keterbukaan pasar dinegara berkembang sesuai dengan kesepakatan didalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994/WTO. Utamanya SAP merupakan titik tolak hubungan antara WTO dan dua lembaga finansial hasil dari sistem Bretton Wood karena pada akhirnya yang menentukan aplikasi dari SAP adalah WTO.
     Peran GATT didalam perdagangan internasional semenjak dibentuknya WTO jauh lebih memberikan kuasa kepada WTO untuk mengontrol kebijakan ekonomi dari negara anggota. Didalam wadah WTO perjanjian perdagangan internasional tidak hanya mengatur lalulintas barang akan tetapi juga sektor jasa, hak kekayaan intelektual, dan penanaman modal.[46] Utamanya WTO juga menyepakati adanya suatu sistem penyelesaian sengketa didalam Dispute Settlement Understanding (DSU), yang memberikan hak yang sah kepada negara anggota untuk menentang kebijakan – kebijakan perdagangan negara lain dalam hal kebijakan tersebut menimbulkan kerugian.[47]
     Negara anggota WTO berdasarkan kebijakan perdagangan internasional yang ketat, tidak mungkin lagi dapat dengan bebas mengambil kebijakan perdagangan internasional yang protektif untuk industri dalam negerinya seperti pemberian subsidi atau ketentuan muatan nasional atas barang (local content).[48] Dapat disimpulkan dalam hal ini ruang gerak negara anggota untuk memberikan perlindungan atau dalam kaitannya dengan negara berkembang membangun industri nasionalnya menjadi terbatas karena kedaulatan negara untuk menentukan arah kebijakannya telah ditundukan dibawah WTO.[49]
     Berdasarkan kenyataan tersebut memberikan pemahaman sistem perdagangan bebas yang diterapkan oleh WTO, lebih memberikan hambatan kepada negara anggota daripada memberikan keuntungan untuk pembangunan negaranya. Salah satu contoh yang dapat diambil adalah kenyataan yang terjadi terhadap Vietnam, Argentina dan Haiti.[50] Vietnam yang pada awal era perdagangan tahun 2000, belum menjadi peserta dari WTO, akan tetapi pembangunan ekonomi yang dilakukan sejak tahun 1980, saat ini memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.[51] Sebaliknya Argentina dan Haiti yang merupakan anggota WTO, dari tahun 1990-an, ternyata pertumbuhan ekonominya tidak meningkat bahkan cenderung berhenti, kemiskinan meningkat, hutang luar negeri meningkat yang pada akhirnya menimbulkan sengketa politik yang cukup besar antara tahun 2000 – 2003.[52]
     Kekuasaan WTO, tidak hanya menimbulkan kerugian pada negara berkembang, dengan penerapan pasar bebas oleh WTO, banyak sekali perusahaan di negara maju yang memindahkan proses industri ke negara berkembang yang dianggap memiliki tingkat biaya rendah, sehingga mengakibatkan penurunan penyerapan tenaga kerja di negara industri maju, yang dalam jangka panjang menciptakan tingkat pengangguran yang tinggi dan tingkat kesejateraan yang menurun.[53]
     Keseluruhan perjanjian pada WTO pada akhirnya hanya memberikan keuntungan pada segelintir perusahaan multinasional dengan modal yang besar, tujuan utama dari WTO untuk mengembangan pembangunan ekonomi yang merata saat ini, dikesampingkan dengan pengembangan pasar bebas untul perusahaan multinasional yang kecenderungannya merupakan perusahaan – perusahaan dari kelompok negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang atau negara di benua Eropa.[54] Pengesampingan dari tujuan utama tersebutkan diakibatkan pembentukan dari perjanjian perdagangan seperti Trade Related Investment Measures (TRIMs) dan Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs).[55] Berdasarkan TRIPs perusahaan multinasional saat ini tidak hanya dapat menjadi pemegang paten penemuan – penemuan baru (invention), tetapi kini perusahaan multinasional juga dimungkinkan dapat memegang hak intelektual terhadap produk yang tidak dikategorikan sebagai invensi seperti benih atau varietas unggul tanaman yang sangat penting bagi negara berkembang yang mayoritas merupakan negara agricultural.[56] Kebijakan perdagangan dalam TRIPs disebutkan di atas akan mempersulit negara berkembang untuk meningkatkan tingkat ekonominya yang sangat bergantung pada sektor pertanian, dikarenakan akses atas benih dan varietas unggul menjadi terbatas, mengingat perusahaan multinasional akan menjual produknya sebagai komoditi dengan harga sesuai permintaan (harga pasar).
     Berdasarkan atas kenyataan ini para aktivis lingkungan hidup menyatakan bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran dari hak para petani, mengingat benih tanaman yang telah dipatenkan oleh perusahaan multinasional tergolong sebagai genetic commons. Genetic commons merupakan benih tanaman yang senyatanya telah dikembangkan dalam kurun waktu lama oleh para petani dan dikembangkan secara tradisional, dengan proses sosialiasi yang juga tradisional.[57] Selain TRIPS, perjanjian WTO yang juga tidak mengakomodir kepentingan dari negara berkembang adalah TRIMs. Sebelum diterapkannya TRIMs, prinsip penanaman modal internasional didasarkan pada Pasal 7 dari Charter of Economic Rights and Duties of States (CERD) yang menyatakan negara memiliki kedaulatan dan tanggung jawab untuk mengembangkan peningkatan ekonomi, sosial dan budaya, yang pelaksanaannya dilakukan dengan kebebasan penetapan kebijakan – kebijakan yang dapat mendukung tujuan pembangunannnya.[58] CERD didalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, juga menentukan negara yang berdaulat memiliki hak untuk mengatur dan mengawasi kegiatan – kegiatan usaha dari perusahaan multinasional dinegaranya untuk melindungi sektor ekonomi dan sosialnya. Kedua prinsip dasar yang ditetapkan oleh CERD pada intinya menentukan hak negara untuk membentuk kebijakan penanaman modal yang lebih ditujuan kepada pembangunan nasional.[59] Penerapan TRIMs pada telah melanggar segala kebijakan yang dapat dilakukan oleh negara untuk melaksanakan pembangunan ekonomi nasional. Salah satu kegiatan yang dilarang adalah ketentuan tentang diskriminasi produk nasional dan asing. Kebanyakan industri nasional di negara berkembang merupakan digolongkan sebagai infant industry, yang pada intinya merupakan industri yang masih dalam tahap pengembangan dengan tingkat produksi rendah. Persaingan tidak sehat dalam hal ini tercipta karena persamaan perlakuan antara infant industry dan perusahaan multinasional dengan tingkat modal dan produksi tinggi. Selayaknya melalui CERD negara berkembang dapat melakukan pengembangan industri – industri kecil ini, melalui subsidi ataupun pembatasan kuota, tetapi dengan diterapkannya TRIMs maka hal tersebut tidak dapat dilaksanakan.
     Perjanjian lain yang juga menjadi suatu hambatan untuk pembangunan nasional negara berkembang adalah perjanjian dalam bidang pertanian, yang memberikan pengecualian keberlakukan aturan didalam Agreement on Subsidies and Countervailing Measures. Disebutkan diatas negara berkembang secara mayoritas merupakan negara yang unggul dengan produk pertanian, tetapi melalui perjanjian pertanian, kegiatan tersebut dihambat, yang mana saat ini negara industri maju masih menggunakan subsidi yang sangat tinggi untuk melindungi sektor pertanian di negaranya.   
     Didalam GATT 1994, tidak mengatur secara spesifik tentang dampak pasar bebas terhadap lingkungan hidup atau pembatasan akan tindakan perdagangan yang memberikan dampak negatif pada lingkungan hidup. Saat ini banyak negara anggota yang menggunakan isu lingkungan hidup sebagai salah satu alasan penerapan kebijakan proteksionis. Salah satunya adalah sebagaimana yang terjadi pada penyelesaian sengketa melalui DSB atas Sengketa US – Shrimp yang didasarkan pada tindakan Amerika Serikat melarang import udang dari negara – negara anggota WTO berdasarkan peraturan Section 609 of US Public Law 101-162[60], yang ditangkap dengan cara yang dapat membunuh kura – kura.
     Pengajuan penyelesaian sengketa tersebut diajukan oleh India, Pakistan, Malaysia dan Thailand selaku pengekspor udang ke Amerika Serikat[61]. Argumentasi keempat negara tersebut adalah larangan import udang Amerika Serikat merupakan pelanggaran dari Pasal XI, GATT 1994 tentang quantitative restriction. Bilamana dilihat dari keadaan perdagangan udang di Amerika Serikat pada saat itu, keempat negara pemohon menguasai sebagian besar dari 85 persen pasar udang Amerika Serikat.[62] Hal tersebut juga menekan industi udang Amerika Serikat untuk menjual murah udang dan produksi udangnya.
     Hilangnya pasar tersebut akan memberikan dampak yang sangat besar bagi ekonomi keempat negara pemohon khususnya untuk industri udang nasionalnya. Ekuador yang juga merupakan negara pengimport udang ke Amerika Serikat tidak mengajukan penyelesaian sengketa ini, karena kerugian yang diderita oleh Ekuador kurang dari 10 persen dari keseluruhan pasar udang Ekuador, yang pengaruhnya tidak terlalu besar terhadap ekonomi Ekuador.[63] Perbandingan antara keadaan keempat negara pemohon dengan keadaan Ekuador maka dapat terlihat kerugian ekonomi merupakan faktor utama diajukannya penyelesaian sengketa dalam kasus USA – Shrimp.
     Berdasarkan atas contoh kasus di atas maka permohonan penyelesaian sengketa memang selalu didasarkan pada suatu perjanjian WTO, akan tetapi pengajuannya sendiri adalah suatu didasarkan pada keadaan yang merugikan atau dapat merugikan negara yang mengajukan kasus tersebut, bilamana tindakan pelanggaran tersebut tetap dilaksanakan.

G.  Kesimpulan
     WTO merupakan organisasi internasional yang merupakan pengemban dari kewajiban yang ada dalam konsep SAP dari IMF. Alasan pembentukan SAP adalah untuk mengembalikan sinyal harga kepada pasar dan menciptakan kondisi menguntungkan untuk investasi swasta asing dan memperluas perdagangan hal – hal inilah yang ditentukan dalam kerangka WTO. IMF juga beralasan bahwa konsep SAP diperlukan untuk stabilisasi dan mengembalikan kapasitas pendapatan mata uang asing. Bank Dunia juga beralasan bahwa SAP mewujudkan kebijakan yang baik dan diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi, perkembangan dan pengentasan kemiskinan, dan kebanyakan tujuan-tujuan sosial lain.
     Nilai luhur yang menjadi dasar adanya SAP saat ini dalam perkembangannya termaktub dalam perjanjian – perjanjian didalam wadah WTO, lebih kepada memberikan pembatasan kedaulatan negara untuk menerapkan kebijakan yang dapat meningkatkan pembangunan ekonomi dinegaranya. Idealisme dari WTO yang cenderung memaksakan pemberlakuan pasar bebas di negara berkembang dan persamaan perlakuan dengan negara industri maju telah menimbulkan kesenjangan yang lebih jauh. Prinsip persamaan perlakuan yang ditentukan oleh WTO, yang dipaksakan penerapannya kepada sebagian besar negara berkembang melalui syarat pinjaman melalui IMF dan Bank Dunia telah memberikan akibat negatif. Persaingan yang tidak sehat dengan kebijakan pasar bebas WTO, dapat timbul antara negara berkembang dan industri maju, atau antara perusahaan nasional dan perusahaan multinasional. Persamaan perlakuan dalam perdagangan tersebut diterapkan kepada negara atau industri dengan modal yang sangat kecil, tingkat teknologi yang rendah serta tingkat produksi yang masih sangat kecil dengan negara industri maju dengan perusahaan multinasionalnya yang memiliki, tingkat produksi, modal dan teknologi yang sangat tinggi. Persamaan perlakuan didalam WTO ini, akan lebih mematikan ekonomi negara berkembang daripada meningkatkan tingkat pembangunan ekonomi.



[1] Penulis merupakan Pegawai Negeri Sipil pada Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Perdagangan.
[2] Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan HKI, Direktorat Jenderal Multilateral, Departemen Luar Negeri, Sekilas WTO (World Trade Organization, edisi keempat (Jakarta: Penerbit Dit. Perdagangan, Perindustrian, Investasi, dan HKI, Ditjend Multilateral, Departemen Luar Negeri, 2006), hal. 3.
[3] Mark R. Sandstrom & David N. Goldsweig, ed., International Practitioner’s Deskbook Series – Negotiating International Commercial transactions, second edition (Chicago, Illinois: American Bar Association, 2003), hal. 136.
[4] Munir Fuady, Hukum Dagang (Aspek Hukum dari WTO, cet. 1 (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 29.
[5] Deplu, op. cit., hal. 1.
[6] H.S. Kartadjoemena, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, cet. 2 (Jakarta: Penerbit Universitas Indoneia (UI-Press), 1998), hal. 4.
[7] Fuady, op. cit., hal. 9.
[8] Ibid., hal. 7.
[9] Deplu, op. cit., hlm. 1.
[10] Ida Susanti & Bayu Seto, ed., Aspek Hukum dari Perdagangan bebas – Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia  dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, cet. 1 (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 13.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Manfred B. Steger, Globalization: A Very Short Introduction, (Oxford: Oxford University Press, 2003), hal. 2.
[14] Vincent Ferraro & Melissa Rosser, Global Debt and Third World Development , dalam World Challenges for a New Century, edited by Michael T. Klare & Daniel C. Thomas, (1995), hal. 5.
[15] Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontent, (New York: Norton & Company, Inc, 2003), hal. 89.
[16] Ibid.
[17] Susanti, et al., op. cit., hal.15.
[18] E. Sumaryono, Etika Hukum: Relevansi Hukum Kodrat Thomas Aquinas, (Yogyakarta:Kanisius, 2002), hal 21.
[19] Hampstead, Introduction to Jurisprudence, hal 83.

[20] Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, (Kompas, 2003), hal 55.

[21] Aristoteles, Ethics, (Penguin Classics, 1976), hal 173-174

[22] John Rawls, A Theory of Justice, (The Belknap of Harvard University Press, 1999), hal 3.
[23]Aristoteles, Ethics, hal 176-177.
[24] Fletcher, Op.Cit., hal 80.
[25] Fletcher, Basic Concepts of Legal Thought, hal 81.

[26] Fletcher, Ibid., 82. Lihat juga Rawls, A Theory of Justice, hal 73-78.
[27] Jeremy Bentham dalam W. Friedmann, Legal Theory, (New York: Columbia University Press, 1967), hal 313.

[28] Mengenai penerapan principle of utility dari Bentham untuk mendukung gagasan melindungi kepentingan komunitas ataupun individu dapat disimpulkan dari pemyataan Bentham sebagai berikut: "by utility is meant that property in any object, whereby it tends to produce benefit, advantage, pleasure, good. happiness, or to prevent the happening of mischief pain, evil, or unhappiness to the party whose interest is considered: if that party be the community in general, then the happiness of the community: if a particular. individual, then the· Happiness of that individuaf'. Jeremy Bentham, "An Introduction to the Principles of Morals and Legislation", dalam Lord Lloyd Hamstead, Introduction to Jurisprudence, (Praeger Publisher, 1972), hal 185.
     
[29] Lihat kembali Thomas Aquinas, The Summa Theologica, hal 611-613.
[30] John Braithwaite dan Peter Drahos, Global Business Regulation, (New York: Cambridge University Press, 2000), hal. 24-23
[31] Erman Rajagukguk, “Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia,” pidato pada Dies Natalis Universitas Sumatera Utara Ke-44, Medan 20 Nopember 2001, hal. 4.

[32] Lawrence M. Friedman, Legal Cultur and the Welfare State: Law and Society -An Introduction, (Cambridge, Massachusetts, London: Harvard University Press, 1990), hal. 89
[33] Peter D. Sutherland, “Global Trade – The Next Challenge,” Pidato disampaikan pada World Economic Forum, Davos, tanggal 28 Januari 1994.
[34] Daniel S. Ehrenberg, “The Labor Link: Applying the International Trading System to Enforce Violation of Forced and Child Labor,” Yale Journal International Law, (Vol. 20, 1995), hal. 391.

[35] Deplu, op. cit., hlm. 23.
[36] Ibid., hal. 6
[37] Ibid.
[38] Ibid.
[39] Ibid.
[40] Ibid.
[41] Kartadjoemena, op. cit., hal. 77.
[42] Joseph E. Stiglitz & Andrew Charlton, Fair Trade For All – How Trade Can Promote Development, (Oxford, United Kingdom: Oxford University Press, 2007), hal. 88.
[43] John H. Jackson, et al. Legal Problem of International Economic Relations – Cases, Materials and Text on the National and International Regulation of Transnational Economic Relation, fourth edition. (St. Paul, Minnesota: West Publishing Co, 1995), hal 1187.
[44] Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontent, (New York: Norton & Company, Inc, 2003), hal. 89.
[45] Ibid.
[46] Bossche, Peter Van den. The Law and Policy of the World Trade Organization – Text, Cases and Materials, sixth edition. United Kingdom: Cambridge University Press, 2007.
[47] Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2006), hal. 132.
[48]Lihat,  Andreas F. Lowenfeld, International Economic Law, (Oxford, United Kingdom: Oxford University Press, 2002).
[49] Lihat, Stephen Woolcock, The Multilateral Trading System into the New Millenium, dalam Trade Politic: International Domestic and Regional Perspectives, (1999)
[50] Bruce Ross-Larson, ed., Making Global Trade Work for People, (United Kingdom: Earthscan Publication, 2003), hal. 27.
[51] Ibid.
[52] Sarah Anderson, Argentina and the IMF, dalam Alternatives Task Force of the International Forum on Globalization, Alternatives to Economic Globalization: A Better World Is Possible, edited by John Cavanagh, (United States of America: Berret – Koehler Publisher, 2002), hal. 35.
[53] A.F. Elly Erawati, Globalisasi dan Perdagangan Bebas: Suatu Pengantar, dalam Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas  - Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, edited by Ida Susanti dan Bayu Seto, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 30 – 31.
[54] Ibid., hal. 31.
[55] Lihat, John Braithwaite dan Peter Drahos, Global Business Regulation, (Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press, 2000)
[56] Vandana Shiva, From Commons to Corporate Patents on Life, dalam Alternatives Task Force of the International Forum on Globalization, Alternatives to Economic Globalization: A Better World Is Possible, edited by John Cavanagh, (United States of America: Berret – Koehler Publisher, 2002), hal. 35
[57] Ibid.
[58] Lihat Pasal 7, dari the Charter of Economic Rights and Duties of States.
[59] Martin Khor, The WTO and the South: Implications of the Emerging Global Economic Governance for Development, dalam Globalization versus Development, edited by Jomo K.S and Shyamala Nagaraj, (2001), hal. 61.
[60] Prabhash Ranjan, Discussions On Disputes - Shrimp-Turtle Dispute Between The Us And India, Malaysia, Pakistan, Thailand,< http: //www.centad .org /disputes_dis_02.asp>, diakses pada tanggal 13 Mei 2008
[61] WTO Condemns US Shrimp Ban, Recommends Negotiated Solutions To Conserve Sea Turtles, < http://www.ictsd.org/html/review2-3.8.htm>, diakses pada tanggal 13 Mei 2008
[62] Andrew Schmitz, et al., International Agricultural Trade Disputes: Case Studies in North America, < http://edis.ifas.ufl.edu/FE381>, di akses pada tanggal 13 Mei 2008
[63] WTO Condemns US Shrimp Ban, Recommends Negotiated Solutions To Conserve Sea Turtles, op. cit.