ANALISIS
HUBUNGAN ANTARA WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) INTERNATIONAL MONETARY FUND
(IMF) SERTA WORLD BANK SERTA DAMPAKNYA DALAM EKONOMI NEGARA BERKEMBANG
OLEH:Eko Prilianto Sudradjat
A. Pendahuluan
Perkembangan
dunia khususnya dalam bidang perdagangan menuju pasar bebas dimulai pada tahun
1994, dimana terbentuk World Trade
Organization (WTO).
WTO didirikan sebagai hasil perundingan Putaran Uruguay yang diselenggarakan dalam kerangka General Agreement on Tariff and Trade (GATT), yang dimulai pada
September 1986 di Punta del Este, Uruguay dan berakhir pada April 1994 di
Marrakesh, Maroko.
Perjanjian WTO beserta seluruh lampirannya (annex) berlaku mulai 1 Januari
1995.
WTO organisasi yang terbentuk untuk menjadi wadah bagi negara – negara dunia
khususnya negara anggota WTO, untuk berkonsultasi dan menyepakati aturan –
aturan perdagangan internasional, yang lebih terbuka, dan lebih adil.
Terbentuknya WTO diawali dengan terbentuknya General Agreement on Trade and Tariffs (GATT) 1947, yang merupakan
suatu perjanjian yang menyepakati aturan – aturan dasar didalam perdagangan.
GATT
1947 dilatarbelakangi dengan berakhirnya Perang Dunia II, dimana pada saat itu
sebagian besar negara di benua Eropa dan Amerika, mengalami kesulitan ekonomi,
yang mengakibatkan banyak negara - negara
tersebut menutup diri, untuk melindungi ekonomi didalam negeri.
Perlindungan ekonomi tersebut dilaksanakan dengan menerapkan tarif bea masuk
untuk produk – produk dari negara lain dengan nilai yang sangat tinggi, hal ini
merupakan upaya untuk melindungi industri didalam negeri.
Negara
Indonesia pada tahun 1994 dengan menandatangani dan meratifikasi perjanjian
pembentukan organisasi perdagangan dunia (WTO)menjadi anggota dari WTO, dan
tunduk dan patuh atas aturan – aturan perdagangan dunia yang telah disepakati
dan tercantun dalam General Agreement on
Tariffs and Trade (GATT) 1994.
Seluruh perjanjian WTO dianggap sebagai single undertaking yang artinya semua
negara anggota WTO menandatangani perjanjian – perjanjian WTO, sebagai satu
kesatuan paket.
WTO merupakan hasil dari Konferensi Bretton
Wood yang diprakarsai oleh Amerika Serikat.
Konferensi Bretton Wood menghasilkan
konsep dasar dari globalisasi ekonomi yang saat ini terjadi.
Sistem ekonomi dunia hasil dari Konferensi Bretton
Wood pada prinsipnya merupakan sistem ekonomi kapitalis yang terkontrol
melalui campur tangan negara yang dikembangkan oleh Maynard Keynes.
Masa 1947 – 1980 merupakan jaman keemasan dari sistem kapitalis ini, dimana
kontrol negara memberikan pembatasan yang selayaknya dan tetap mengakui
kedaulatan dari negara – negara. Pada tahun 1980, dengan berkembangnya
perdagangan internasional, maka konsep perdagangan bebas mulai menyentuh negara
– negara berkembang dan terbelakang. Pengaruh perdagangan bebas tersebut
merupakan pengaruh dari 2 organisasi ekonomi internasional yaitu International Monetary Fund (IMF) dan
World Bank.
Pengaruh tersebut masuk ke negara berkembang dan terbelakang dilakukan melalui
desakan dari IMF, yang ikut campur dalam kebijakan ekonomi makro negara berkembang
dan terbelakang. Latar belakang ikut campur tangan IMF dan World Bank, dalam
menetapkan kebijakan ekonomi makro dari negara berkembang dan terbelakang
merupakan akibat dari krisis ekonomi yang terjadi pada era tahun 1980 sampai
dengan akhir era 90-an, dimana negara berkembang dan terbelakang pada saat itu
mengalami krisis hutan luar negeri.
IMF dan World Bank sebagai dua organisasi moneter internasional saat itu
menjadi dua pilar bantuan ekonomi untuk negara berkembang, akan tetapi bantuan
moneter yang diberikan oleh kedua organisasi moneter internasional tersebut
diberikan dengan syarat – syarat tertentu yang utamanya dikenal dengan istilah Structural Adjustment and Stabilization
Program (SAP).
SAP pada intinya merupakan suatu desakan untuk menerapkan keterbukaan pasar
dinegara berkembang sesuai dengan kesepakatan didalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994/WTO.
B.
Pokok Permasalahan
Bertolak dari uraian diatas, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan pokok yang akan diteliti dan diungkapkan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah hubungan yang ada
antara IMF, Bank Dunia dan GATT?
2. Bagaimana pengaruh sistem
Bretton Wood untuk Indonesia?
3. Bagaimanakan seyogyanya
Indonesia menerapkan sistem Bretton Wood untuk keuntungan Indonesia?
C. Landasan
Teori
Dalam penelitian ini, sebagai landasan teoritis
dalam analisa yang digunakan untuk mengetahui korelasi antara tiga organisasi
internasional hasil dari kesepakatan Bretton Wood serta pengaruhnya untuk
Indonesia akan digunakan teori hukum alam dan teori utilitarian. Menurut
Aquinas, hukum dapat mengandung ketidak-adilan manakala la bertentangan dengan
gagasan tentang kesejahteraan manusia. Ketidakadilan hukum dapat terjadi karena
tiga hal. Pertama, karena penguasa memaksakan hukum yang tidak membawa
kesejahteraan umum, tetapi semata-mata hanya karena keinginan penguasa sendiri.
Kedua, karena pembuat hukum melampaui kewenangan yang dimilikinya. Ketiga,
karena hukum dipaksakan kepada masyarakat, meskipun alasannya demi
kesejahteraan umum. Aquinas menyebutnya sebagai tindak kekerasan dari hukum.
Hubungan hukum alam dan hukum positif biasanya
dirumuskan dalam bentuk hak.
Hak adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain atas dasar prinsip
kesamaan. Sesuatu dapat menjadi hak seseorang melalui dua cara. Pertama, sesuatu
dapat menjadi hak seseorang melalui kodratnya. Hak ini disebut hak kodrati. Hak
kodrati sebagaimana diatur oleh hukum alam bersumber dari Tuhan. Kedua, sesuatu
dapat menjadi hak seseorang melalui perjanjian atau persetujuan dengan orang
lain, baik persetujuan antar individu maupun persetujuan publik. Hak yang kedua
ini disebut hak positif dan diatur di dalam hukum positif. Melalui ajaran hukum
alam dari Aquinas ini menjadi tidak sulit untuk memahami aspirasi yang
menghendaki pengakuan terhadap hak kolektif atas warisan budaya (cultural
heritage).
Selanjutnya, Fuller berpendapat bahwa hukum harus
memiliki karakteristik tertentu supaya ia dapat disebut sebagai 'hukum'.
Karakteristik yang paling penting adalah "internal morality".
Kehadiran moral dalam hukum dilambangkan dengan keadilan.
Keadilan menurut Aristoteles dapat dipaharni dalam dua pengertian, yaitu
pengertian yang umum dan pengertian yang khusus (particular). Keadilan
dalam pengertian umum diartikan sebagai complete virtue
(kebajikan yang paripurna). John Rawls memberi arti yang hampir sama bahwa justice
is the first virtue of social institutions, as truth is of system of thought.
Keadilan khusus (particular) menurut
Aristoteles mencakup pengertian distributive justice dan rectificatory
justice, atau yang juga disebut corrective justice. Distributive
justice mengacu pada prinsip bahwa setiap orang di dalam masyarakat harus
mendapatkan bagian yang sama berkenaan dengan harta benda (assets) atau
segala sesuatu yang divisible (dapat dibagi) di antara anggota
komunitas.
Sedangkan distributive justice senantiasa melibatkan tiga pihak, yaitu
dua pihak yang saling menuntut keadilan dan pihak ketiga (central authority)
yang bertugas memberikan keadilan.
Keadilan (justice) yang dimaksudkan di atas (distributive
dan corrective) semuanya
bersifat substantif. Artinya, semua bentuk keadilan tersebut lebih
menekankan kepada hasilnya (result). Hal ini berbeda dengan fairness yang
lebih menekankan kepada pertanyaan bagaimana keadilan itu bisa dicapai.
Fairness adalah keadilan yang lebih bersifat prosedural. Berbicara
mengenai fairness adalah berbicara mengenai bagaimana proses untuk
mencapai keadiLan (justice) itu di1akukan dengan adil (fair). Hubungan
antara fair procedures dan substantive justice digambarkan oleh
John Rawls dalarn frase “justice as fairness". Jika prosedur untuk
menerapkan keadilan adalah fair, maka hasilnya adil.
Dalam konteks penelitian ini, perjuangan
negara-negara berkembang untuk melindungi kepentingan ekonominya adalah
perjuangan untuk memperoleh keadilan dalam hal mendapatkan perlindungan baik
dalam skala nasional maupun skala internasional.
Ketidakadilan yang diakibatkan oleh penerapan
prinsip kesamaan perlakuan (non-diskriminasi) yang dituntut negara-negara maju
mela1ui WTO harus dikoreksi kembali berdasarkan prinsip rectificatory
justice atau corrective justice. Dalam hal ini inisiatif Pemerintah
untuk mengupayakan perlindungan kepentingan ekonomi masyarakat merupakan salah
satu bentuk penyeimbangan kembali situasi tidak adil (unjust) yang
dilakukan oleh negara-negara maju.
Selanjutnya, teori utilitarian juga digunakan
untuk menganalisis bahwa pada hakekatnya hukum dibentuk untuk mencapai
kebahagiaan dari sebagian terbesar warga masyarakat. Teori utilitarianisme
yang dipelopori oleh Bentham adalah tentang hukum yang menyatakan bahwa the
ultimate end of legislation is the greatest happiness of the greatest number.
Mengacu pada teori Bentham tersebut hukum harus
diciptakan berdasarkan rasa keadilan masyarakat demi kebahagiaan warga
masyarakat yang bersangkutan. Ukuran rasional yang objektif dari kemanfaatan
tersebut adalah jika hukum yang dimaksud secara ekonomis mampu menciptakan
kesejahteraan bagi sebagian terbesar warga masyarakatnya.
Berdasarkan prinsip utilitarian, hukum alam
diciptakan untuk mencapai kebahagiaan bagi bagian terbesar warga masyarakatnya.
Di sinilah pertemuan antara teori utilitarian Bentham dengan teori hukum alam Aquinas
tentang kebaikan (goodness) dan kebahagian (happiness)
sebagai tujuan akhir dari semua tindakan manusia. Hukum harus diciptakan
untuk kebahagiaan masyarakatnya atau kebahagiaan dari bagian terbesar warga
masyarakatnya.
D. Metodologi Penelitian
Penelitian hukum pada
dasarnya adalah kegiatan penyelesaian masalah. Penyusunan tesis ini menggunakan
metode penelitian yuridis normatif. Metode yuridis normatif memusatkan
perhatian pada kajian tentang norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan, konvensi internasional, traktat, keputusan-keputusan
pengadilan serta norma-norma hukum yang hidup di masyarakat. sehingga
penelitian ini bersifat preskriptif yaitu berusaha mencari jalan keluar untuk
mengatasi masalah yang ada.
Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu bertujuan untuk
memahami latar belakang dari suatu konsep hukum yaitu terutama konsep hukum ekonomi
internasional khususnya terkait dengan sistem ekonomi Bretton Wood. Sedangkan
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu peraturan
perundang-undangan, buku-buku, dan hasil-hasil penelitian serta dilengkapi
wawancara.
E. Analisa
Fenomena
ekonomi dunia pada masa kini, membuat negara-negara termasuk Indonesia,
dituntut untuk mengikuti kecenderungan globalisasi ekonomi, yang mengarah pada
penduniaan dalam arti peringkasan atau perapatan dunia (compression of the
world) dalam bidang ekonomi. Globalisasi ekonomi yang juga semakin
dikembangkan oleh prinsip liberalisasi perdagangan (trade liberalization) atau
perdagangan bebas (free trade) lainnya, telah membawa pengaruh pada
hukum setiap negara yang terlibat dalam globalisasi ekonomi dan perdagangan
bebas tersebut. Oleh karena arus globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas itu
sulit untuk ditolak dan harus diikuti. Sebab globalisasi ekonomi dan perdagangan
bebas tersebut berkembang melalui perundingan dan perjanjian internasional
khususnya sebagaimana disepakati dalam konferensi Bretton Wood.
Sistem
Bretton Woods lahir karena kebutuhan adanya sistem moneter yang andal untuk
mengatasi dampak berakhirnya Perang Dunia II. Berdasarkan pengalaman Perang
Dunia I, sesudah perang adalah masa yang sangat berat bagi perekonomian dunia.
Kebangkitan perekonomian negara-negara yang terlibat perang, seperti
peningkatan produksi bahan makanan dan industri, akan membuat produksi global
meningkat cepat, jauh melebihi kebutuhan.
Keadaan
inilah yang melahirkan terjadinya proteksi dan devaluasi yang bergantian
terus-menerus (competitive devaluation). Kebijakan suatu negara pada akhirnya
hanyalah ingin melindungi negaranya sendiri dan tidak memedulikan dampaknya
bagi perekonomian negara lain. Istilah yang tepat untuk menggambarkan itu
adalah Beggar thy neighbor policy. Berdasarkan
pengalaman tersebut, sebelum Perang Dunia II selesai, sebanyak 44 negara
berkumpul di Desa Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat (AS), tepatnya
pada 1-22 Juni 1944. Pertemuan panjang tersebut, yang antara lain dihadiri John
Maynard Keynes dari Inggris dan Dexter White dari AS, akhirnya mengambil
putusan untuk membangun Sistem Bretton Woods, di mana pendirian Dana Moneter
Internasional (International Monetary Fund/ IMF) menjadi salah satu pilar.
Sistem
moneter baru tersebut mendasarkan diri pada sistem nilai tukar tetap terhadap
dolar AS, sedangkan dolar AS dikaitkan dengan emas, di mana setiap 1 ons emas
(sekira 30 gram) ditetapkan harganya sebesar USD35. Dengan cara ini, nilai
tukar antarmata uang di luar dolar AS juga menjadi tetap. Konferensi tersebut juga melahirkan
Bank Dunia dalam bentuk International Bank for Reconstruction and Development
(IBRD) serta organisasi perdagangan dunia (semula dirancang dalam bentuk International Trade Organization), yang
kemudian muncul dalam bentuk General Agreement in Tariffs and Trades (GATT)
pada 1947. Baru pada 1995, World
Trade Organization (WTO) terbentuk. Sistem nilai tukar yang sedemikian
mendasarkan diri pada premis bahwa setiap negara harus menjaga keseimbangan
neraca pembayarannya. Jika terjadi ketidakseimbangan neraca pembayaran
(terutama ekspor-impor), perlu dilakukan langkah perbaikan, baik yang sifatnya
sementara (misalnya dengan bantuan IMF) maupun bersifat lebih struktural, yaitu
melalui devaluasi atau revaluasi.
Sistem ini pada akhirnya memang membawa stabilitas
yang lebih baik dalam perekonomian dunia, meskipun di sana-sini terjadi penyesuaian
nilai tukar maupun penyesuaian struktural perekonomian berbagai negara.
Implikasi
globalisasi ekonomi itu terhadap hukum tidak dapat dihindarkan. Sebab
globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi tersebut, dalam arti substansi
berbagai undang-undang dan perjanjianperjanjian menyebar melewati batas-batas
negara (cross-border). Tepatlah
pandangan Lawrence M. Friedman, yang mengatakan hukum itu tidak bersifat
otonom, tetapi sebaliknya hukum bersifat terbuka setiap waktu terhadap pengaruh
luar.
Dapat dipahami bahwa globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas telah
menimbulkan akibat yang besar sekali pada bidang hukum. Negara-negara di dunia
yang terlibat dengan globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas itu, baik negara
maju maupun sedang berkembang bahkan negara yang terbelakang harus membuat
standarisasi hukum dalam kegiatan ekonominya.
sejak akhir tahun 1980 muncul suatu strategi pembangunan “baru” yang
tercermin dalam program kebijakan pembangunan dari IMF(International
Monetary Fund) dan Bank Dunia. Strategi pembangunan “baru” itu dengan
jelas menunjukan adanya Renaissance
(kebangkitan kembali) pola pikir dari kaum liberal dalam teori ekonomi
pembangunan. Strategi pembangunan “baru” itu berlandaskan utamanya adalah mengarah
kepada suatu tuntutan untuk mengurangi keterbelakangan, baca kemiskinan.
Artinya dibutuhkan suatu perubahan struktur yang tidak efisien. Caranya dengan
menjalankan kebijakan penyesuaian struktural (SAP). SAPs dikaitkan
dengan pinjaman dari IMF dan Bank dunia, khususnya sejak krisis utang pada awal
1980-an (mis: Argentina, Mexico, Brazil, Ghana, Nigeria), akan tetapi juga di
Eropa Timur dan selama krisis moneter Asia sejak tahun 1997 (Thailand, Indonesia,
Korea Selatan). SAP menerapkan persyaratan persyaratan pada pinjaman hard
currency jangka pendek (IMF) atau pinjaman dengan jangka lebih panjang
(Bank Dunia). Gabungan dari persyaratan yang sama, termasuk penelitian yang
cermat dan mendetail tentang semua kebijakan pemerintah, akan diperkuat lewat
perjanjian, ‘letter of intent’ dan pemberian dana pinjaman secara
bertahap. Persyaratan ini secara tipikal mencakup:
1. Penghilangan subsidi
harga dan pengendalian harga
2. Pemotongan tarif dan
kontrol perdagangan yang lain
3. Devaluasi sesegera
mungkin terhadap mata uang, dan pembebasan atas pengendalianpertukaran mata
uang asing
4. Peningkatan industri
untuk ekspor
5. Tingkat suku bunga
tinggi, untuk mencegah inflasi dan menarik modal asing
6. Pengurangan pelayanan
pemerintah dan menggantinya dengan ‘penyediaan pelayananoleh swasta’ dan kerjasama
publik-swasta pada beberapa prasarana.
7. Swastanisasi badan usaha
milik negara yang menguntungkan.
Utamanya kaitan antara
WTO dan IMF serta Bank Dunia adalah konsep SAP yang dikembangkan oleh IMF. WTO
sebagai Organisasi Perdagangan Dunia merupakan organisasi internasional yang
dihasilkan dalam Perundingan Putaran Uruguay (Uruguay Round), yang
diselenggarakan dalam kerangka General Agreement on Tarif and Trade (GATT),
yang dimulai pada September 1986 di Punta del Este, Uruguay dan berakhir pada
15 April 1994 di Marrakesh, Maroko. WTO mulai beroperasi sebagai organisasi
internasional pada tanggal 1 Januari 1995. WTO disebut sebagai pendukung vital
untuk memperkuat kerjasama ekonomi dunia dan juga disebut sebagai salah satu
organisasi internasional terpenting di bidang perekonomian internasional, di
samping organisasi internasional lainnya. Hal ini dapat diamati dari pendapat
Peter D. Sutherland, mantan Direktur Jenderal GATT yang disampaikan pada World
EconomicForum,
Money, Finance
and Trade have all to be treated in an integrated way. The resources that can
be mobilized by the World Bank in support of the development of essential
infrastructure and enterprise are vital, especially to give a lead to promising
private sector initiatives. The IMF’s role of guiding macroeconomic and
monetary policy is crucial one. And the new WTO will-over and above all its
other specific tasks – provide a much-needed means of gauging the
appropriateness and effectiveness of micro-economic policies through their
impact on trade and consistency with multilateral rules.
Tujuan
utama WTO sebagai organisasi perdagangan internasional adalah meliberalisasikan
perdagangan internasional dan menjadikan perdagangan bebas sebagai landasan perdagangan internasional untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi, pembangunan dan kesejahteraan umat manusia
sebagaimana disebutkan dalam sistem IMF khususnya yang terkait dengan konsep
SAP.
Sekarang ini substansi pengaturan yang ditangani WTO diperluas sampai mencakup
bidang - bidang baru (new issues) yang sebelumnya tidak pernah dimuat
dalam GATT, seperti masalah perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI),
masalah kebijakan di bidang investasi yang mempunyai dampak terhadap
perdagangan, dan masalah perdagangan jasa General Agreements on Trade in
Services (GATS).
Didalam
WTO, disepakati perjanjian – perjanjian perdagangan internasional, yang harus
dipatuhi oleh negara – negara anggota WTO, dikelompokan sebagai berikut:
|
Barang
|
Jasa
|
Hak Kekayaan
Intelektual
|
Sengketa
|
Prinsip Dasar
|
GATT
|
GATS
|
TRIPs
|
DSU
|
Tambahan
|
Persetujuan mengenai barang dan Lampiran
|
Lampiran bidang Jasa
|
|
|
Komitmen Akses Pasar
|
Skedul komitmen negara anggota
|
Skedul komitmen negara anggota (pengecualian
terhadap prinsip MFN
|
|
|
Kesepakatan – kesepakatan yang terdapat didalam perjanjian perdagangan
dibawah WTO utamanya adalah untuk mengurangi hambatan – hambatan baik berupa
penetapan tarif ataupun non – tarif.
Hambatan – hambatan tersebut termasuk pengenaan bea masuk dan tindakan
pelarangan impor atau pembatasan kuantitatif impor melalui pengaturan kuota
terhadap barang secara selektif.
Sejak pembentukan GATT 1947 telah diselenggarakan Sembilan putaran negosiasi
perdagangan.
Putaran negosiasi ini tujuan utamanya adalah untuk melakukan perundingan
masalah penurunan tarif atas barang impor.
Hasil yang telah dicapai melalui perundingan – perundingan tersebut adalah
penurunan tingkat tariff secara teratur atas produk industri yang berkisar pada
persentase 6,3% pada akhir era 1980.
Perkembangan yang timbul pada masa setelah era 1980, mendorong pembahasan
tentang hambatan – hambatan non – tarif yang terdapat didalam barang, jasa dan
hak kekayaan intelektual.
Untuk mendorong keikutsertaan negara berkembang dalam perjanjian WTO,
maka didalam perjanjian – perjanjian perdagangan internasional dibawah
organisasi ini terdapat pengecualian yang diberikan kepada negara berkembang
dan terbelakang. pengecualian tersebut disebutkan dalam semua perjanjian yang
disepakati, yang dikenal dengan istilah Special
and Differential Treatment Clause (S&D).
Implimentasi dari ketentuan perlakuan yang khusus kepada negara berkembang dan
terbelakang ini sering kali menjadi hambatan didalam perundingan perdagangan dikarenakan
penerapan akan S&D sangat ditentang oleh negara maju yang memandang karena
dianggap perlakuan yang berbeda ini akan lebih mengganggu perdagangan
internasional daripada menguntungkan.
F. Analisis
Pengaruh
WTO masuk ke negara berkembang dan terbelakang dilakukan melalui desakan dari
IMF, yang ikut campur dalam kebijakan ekonomi makro negara berkembang dan
terbelakang. Latar belakang ikut campur tangan IMF dan World Bank, dalam
menetapkan kebijakan ekonomi makro dari negara berkembang dan terbelakang
merupakan akibat dari krisis ekonomi yang terjadi pada era tahun 1980 sampai
dengan akhir era 90-an, dimana negara berkembang dan terbelakang pada saat itu
mengalami krisis hutan luar negeri.
IMF dan World Bank sebagai dua organisasi moneter internasional saat itu
menjadi dua pilar bantuan ekonomi untuk negara berkembang, akan tetapi bantuan
moneter yang diberikan oleh kedua organisasi moneter internasional tersebut
diberikan dengan syarat – syarat tertentu yang utamanya dikenal dengan istilah Structural Adjustment and Stabilization
Program (SAP).
SAP pada intinya merupakan suatu desakan untuk menerapkan keterbukaan pasar
dinegara berkembang sesuai dengan kesepakatan didalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994/WTO. Utamanya
SAP merupakan titik tolak hubungan antara WTO dan dua lembaga finansial hasil
dari sistem Bretton Wood karena pada akhirnya yang menentukan aplikasi dari SAP
adalah WTO.
Peran
GATT didalam perdagangan internasional semenjak dibentuknya WTO jauh lebih
memberikan kuasa kepada WTO untuk mengontrol kebijakan ekonomi dari negara
anggota. Didalam wadah WTO perjanjian perdagangan internasional tidak hanya
mengatur lalulintas barang akan tetapi juga sektor jasa, hak kekayaan
intelektual, dan penanaman modal.
Utamanya WTO juga menyepakati adanya suatu sistem penyelesaian sengketa didalam
Dispute Settlement Understanding (DSU),
yang memberikan hak yang sah kepada negara anggota untuk menentang kebijakan –
kebijakan perdagangan negara lain dalam hal kebijakan tersebut menimbulkan
kerugian.
Negara anggota WTO berdasarkan kebijakan perdagangan internasional yang
ketat, tidak mungkin lagi dapat dengan bebas mengambil kebijakan perdagangan
internasional yang protektif untuk industri dalam negerinya seperti pemberian
subsidi atau ketentuan muatan nasional atas barang (local content).
Dapat disimpulkan dalam hal ini ruang gerak negara anggota untuk memberikan
perlindungan atau dalam kaitannya dengan negara berkembang membangun industri
nasionalnya menjadi terbatas karena kedaulatan negara untuk menentukan arah
kebijakannya telah ditundukan dibawah WTO.
Berdasarkan kenyataan tersebut memberikan pemahaman sistem perdagangan
bebas yang diterapkan oleh WTO, lebih memberikan hambatan kepada negara anggota
daripada memberikan keuntungan untuk pembangunan negaranya. Salah satu contoh
yang dapat diambil adalah kenyataan yang terjadi terhadap Vietnam, Argentina
dan Haiti.
Vietnam yang pada awal era perdagangan tahun 2000, belum menjadi peserta dari
WTO, akan tetapi pembangunan ekonomi yang dilakukan sejak tahun 1980, saat ini
memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Sebaliknya Argentina dan Haiti yang merupakan anggota WTO, dari tahun 1990-an,
ternyata pertumbuhan ekonominya tidak meningkat bahkan cenderung berhenti,
kemiskinan meningkat, hutang luar negeri meningkat yang pada akhirnya menimbulkan
sengketa politik yang cukup besar antara tahun 2000 – 2003.
Kekuasaan WTO, tidak hanya menimbulkan kerugian pada negara berkembang,
dengan penerapan pasar bebas oleh WTO, banyak sekali perusahaan di negara maju
yang memindahkan proses industri ke negara berkembang yang dianggap memiliki
tingkat biaya rendah, sehingga mengakibatkan penurunan penyerapan tenaga kerja
di negara industri maju, yang dalam jangka panjang menciptakan tingkat
pengangguran yang tinggi dan tingkat kesejateraan yang menurun.
Keseluruhan
perjanjian pada WTO pada akhirnya hanya memberikan keuntungan pada segelintir
perusahaan multinasional dengan modal yang besar, tujuan utama dari WTO untuk
mengembangan pembangunan ekonomi yang merata saat ini, dikesampingkan dengan pengembangan
pasar bebas untul perusahaan multinasional yang kecenderungannya merupakan
perusahaan – perusahaan dari kelompok negara maju seperti Amerika Serikat,
Jepang atau negara di benua Eropa.
Pengesampingan dari tujuan utama tersebutkan diakibatkan pembentukan dari
perjanjian perdagangan seperti Trade
Related Investment Measures (TRIMs) dan Trade
Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs).
Berdasarkan TRIPs perusahaan multinasional saat ini tidak hanya dapat menjadi
pemegang paten penemuan – penemuan baru (invention), tetapi kini perusahaan
multinasional juga dimungkinkan dapat memegang hak intelektual terhadap produk
yang tidak dikategorikan sebagai invensi seperti benih atau varietas unggul
tanaman yang sangat penting bagi negara berkembang yang mayoritas merupakan
negara agricultural.
Kebijakan perdagangan dalam TRIPs disebutkan di atas akan mempersulit negara
berkembang untuk meningkatkan tingkat ekonominya yang sangat bergantung pada
sektor pertanian, dikarenakan akses atas benih dan varietas unggul menjadi
terbatas, mengingat perusahaan multinasional akan menjual produknya sebagai
komoditi dengan harga sesuai permintaan (harga pasar).
Berdasarkan atas kenyataan ini para aktivis lingkungan hidup menyatakan
bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran dari hak para petani, mengingat benih
tanaman yang telah dipatenkan oleh perusahaan multinasional tergolong sebagai genetic commons. Genetic commons merupakan benih tanaman yang senyatanya telah
dikembangkan dalam kurun waktu lama oleh para petani dan dikembangkan secara
tradisional, dengan proses sosialiasi yang juga tradisional.
Selain TRIPS, perjanjian WTO yang juga tidak mengakomodir kepentingan dari
negara berkembang adalah TRIMs. Sebelum diterapkannya TRIMs, prinsip penanaman
modal internasional didasarkan pada Pasal 7 dari Charter of Economic Rights and Duties of States (CERD) yang
menyatakan negara memiliki kedaulatan dan tanggung jawab untuk mengembangkan
peningkatan ekonomi, sosial dan budaya, yang pelaksanaannya dilakukan dengan
kebebasan penetapan kebijakan – kebijakan yang dapat mendukung tujuan
pembangunannnya.
CERD didalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, juga menentukan negara yang berdaulat
memiliki hak untuk mengatur dan mengawasi kegiatan – kegiatan usaha dari
perusahaan multinasional dinegaranya untuk melindungi sektor ekonomi dan
sosialnya. Kedua prinsip dasar yang ditetapkan oleh CERD pada intinya
menentukan hak negara untuk membentuk kebijakan penanaman modal yang lebih
ditujuan kepada pembangunan nasional.
Penerapan TRIMs pada telah melanggar segala kebijakan yang dapat dilakukan oleh
negara untuk melaksanakan pembangunan ekonomi nasional. Salah satu kegiatan
yang dilarang adalah ketentuan tentang diskriminasi produk nasional dan asing.
Kebanyakan industri nasional di negara berkembang merupakan digolongkan sebagai
infant industry, yang pada intinya merupakan industri yang masih dalam tahap
pengembangan dengan tingkat produksi rendah. Persaingan tidak sehat dalam hal
ini tercipta karena persamaan perlakuan antara infant industry dan perusahaan
multinasional dengan tingkat modal dan produksi tinggi. Selayaknya melalui CERD
negara berkembang dapat melakukan pengembangan industri – industri kecil ini,
melalui subsidi ataupun pembatasan kuota, tetapi dengan diterapkannya TRIMs maka
hal tersebut tidak dapat dilaksanakan.
Perjanjian lain yang juga menjadi suatu hambatan untuk pembangunan
nasional negara berkembang adalah perjanjian dalam bidang pertanian, yang
memberikan pengecualian keberlakukan aturan didalam Agreement on Subsidies and Countervailing Measures. Disebutkan
diatas negara berkembang secara mayoritas merupakan negara yang unggul dengan
produk pertanian, tetapi melalui perjanjian pertanian, kegiatan tersebut
dihambat, yang mana saat ini negara industri maju masih menggunakan subsidi
yang sangat tinggi untuk melindungi sektor pertanian di negaranya.
Didalam GATT 1994, tidak mengatur secara spesifik tentang dampak pasar
bebas terhadap lingkungan hidup atau pembatasan akan tindakan perdagangan yang
memberikan dampak negatif pada lingkungan hidup. Saat ini banyak negara anggota
yang menggunakan isu lingkungan hidup sebagai salah satu alasan penerapan
kebijakan proteksionis. Salah satunya adalah sebagaimana
yang terjadi pada penyelesaian sengketa melalui DSB atas Sengketa US
– Shrimp yang didasarkan pada tindakan Amerika Serikat melarang import
udang dari negara – negara anggota WTO berdasarkan peraturan Section 609 of US Public Law 101-162,
yang
ditangkap dengan cara yang dapat membunuh kura – kura.
Pengajuan penyelesaian
sengketa tersebut diajukan oleh India, Pakistan, Malaysia dan
Thailand
selaku pengekspor udang ke Amerika Serikat.
Argumentasi keempat negara tersebut adalah larangan import udang Amerika
Serikat merupakan pelanggaran dari Pasal XI, GATT 1994 tentang quantitative restriction. Bilamana
dilihat dari keadaan perdagangan udang di Amerika Serikat pada saat itu,
keempat negara pemohon menguasai sebagian besar dari 85 persen pasar udang
Amerika Serikat.
Hal tersebut juga menekan industi udang Amerika Serikat untuk menjual murah
udang dan produksi udangnya.
Hilangnya pasar
tersebut akan memberikan dampak yang sangat besar bagi ekonomi keempat negara pemohon
khususnya untuk industri udang nasionalnya. Ekuador yang juga merupakan negara
pengimport udang ke Amerika Serikat tidak mengajukan penyelesaian sengketa ini,
karena kerugian yang diderita oleh Ekuador kurang dari 10 persen dari
keseluruhan pasar udang Ekuador, yang pengaruhnya tidak terlalu besar terhadap
ekonomi Ekuador.
Perbandingan antara keadaan keempat negara pemohon dengan
keadaan Ekuador maka dapat terlihat kerugian ekonomi merupakan faktor utama
diajukannya penyelesaian sengketa dalam kasus USA – Shrimp.
Berdasarkan
atas contoh kasus di atas maka permohonan penyelesaian sengketa memang selalu
didasarkan pada suatu perjanjian WTO, akan tetapi pengajuannya sendiri adalah
suatu didasarkan pada keadaan yang merugikan atau dapat merugikan negara yang
mengajukan kasus tersebut, bilamana tindakan pelanggaran tersebut tetap
dilaksanakan.
G. Kesimpulan
WTO
merupakan organisasi internasional yang merupakan pengemban dari kewajiban yang
ada dalam konsep SAP dari IMF. Alasan pembentukan SAP adalah untuk mengembalikan sinyal harga
kepada pasar dan menciptakan kondisi menguntungkan untuk investasi swasta asing
dan memperluas perdagangan hal – hal inilah yang ditentukan dalam kerangka WTO.
IMF juga beralasan bahwa konsep SAP diperlukan untuk stabilisasi dan
mengembalikan kapasitas pendapatan mata uang asing. Bank Dunia juga beralasan
bahwa SAP mewujudkan kebijakan yang baik dan diperlukan untuk pertumbuhan
ekonomi, perkembangan dan pengentasan kemiskinan, dan kebanyakan tujuan-tujuan
sosial lain.
Nilai luhur yang
menjadi dasar adanya SAP saat ini dalam perkembangannya
termaktub dalam perjanjian – perjanjian didalam wadah WTO, lebih kepada memberikan
pembatasan kedaulatan negara untuk menerapkan kebijakan yang dapat meningkatkan
pembangunan ekonomi dinegaranya. Idealisme dari WTO yang cenderung memaksakan
pemberlakuan pasar bebas di negara berkembang dan persamaan perlakuan dengan
negara industri maju telah menimbulkan kesenjangan yang lebih jauh. Prinsip
persamaan perlakuan yang ditentukan oleh WTO, yang dipaksakan penerapannya
kepada sebagian besar negara berkembang melalui syarat pinjaman melalui IMF dan
Bank Dunia telah memberikan akibat negatif. Persaingan yang tidak sehat dengan
kebijakan pasar bebas WTO, dapat timbul antara negara berkembang dan industri
maju, atau antara perusahaan nasional dan perusahaan multinasional. Persamaan
perlakuan dalam perdagangan tersebut diterapkan kepada negara atau industri
dengan modal yang sangat kecil, tingkat teknologi yang rendah serta tingkat
produksi yang masih sangat kecil dengan negara industri maju dengan perusahaan
multinasionalnya yang memiliki, tingkat produksi, modal dan teknologi yang
sangat tinggi. Persamaan perlakuan didalam WTO ini, akan lebih mematikan
ekonomi negara berkembang daripada meningkatkan tingkat pembangunan ekonomi.
Fletcher, Basic
Concepts of Legal Thought, hal 81.
Fletcher, Ibid.,
82. Lihat juga Rawls, A Theory of Justice, hal 73-78.
Jeremy Bentham
dalam W. Friedmann, Legal Theory, (New York: Columbia University Press,
1967), hal 313.
Mengenai
penerapan principle of utility dari Bentham untuk mendukung gagasan
melindungi kepentingan komunitas ataupun individu dapat disimpulkan dari
pemyataan Bentham sebagai berikut: "by utility is meant that
property in any object, whereby it tends to produce benefit, advantage,
pleasure, good. happiness, or to prevent the happening of mischief pain, evil,
or unhappiness to the party whose interest is considered: if that
party be the community in general, then the happiness of the community:
if a particular. individual, then the· Happiness of that individuaf'.
Jeremy Bentham, "An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation", dalam Lord Lloyd Hamstead, Introduction to Jurisprudence,
(Praeger Publisher, 1972), hal 185.
Erman Rajagukguk, “Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi
Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia,” pidato pada Dies Natalis
Universitas Sumatera Utara Ke-44, Medan 20 Nopember 2001, hal. 4.
Peter D.
Sutherland, “Global Trade – The Next Challenge,” Pidato disampaikan pada World
Economic Forum, Davos, tanggal 28 Januari 1994.
Daniel S.
Ehrenberg, “The Labor Link: Applying the International Trading System to
Enforce Violation of Forced and Child Labor,” Yale Journal International
Law, (Vol. 20, 1995), hal. 391.