Jumat, 13 Juni 2008

ANALISIS KEBIJAKAN PENANAMAN MODAL INDONESIA DAN KESESUAIANNYA DENGAN PERJANJIAN WORLD TRADE ORGANIZATION DALAM BIDANG PENANAMAN MODAL

A.  Latar Belakang

     Agreement on Trade Related Investment (TRIMs), timbul dari pemikiran perusahaan multinasional yang menilai banyaknya tindakan negara anggota World Trade Organization (WTO), dalam proses penanaman modal yang mengakibatkan berkurangnya keuntungan.[1] Tujuan di aturnya masalah penanaman modal di dalam WTO disebutkan dalam bagian konsideran dari TRIMs yang meliputi[2]: 1) kebijakan penanaman modal yang diterapkan oleh negara anggota WTO yang dapat menimbulkan distorsi dalam perdagangan; 2) Penyesuaian dengan pengaturan tentang pembatasan perdaganganyang terdapat didalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) 1994; 3) Meningkatkan kebijakan penanaman modal asing yang mendukung perdagangan bebas, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari negara anggota.

     Secara umum TRIMs, melarang kebijakan penanaman modal yang dilakukan tidak sesuai dengan GATT 1994 khususnya yang di atur didalam Pasal III dan XI GATT 1994.[3] Dalam lampiran TRIMs terdapat daftar yang memuat kebijakan penanaman modal yang dilarang dilakukan yang antara lain mencakup yang memaksakan agar penanam modal asing menggunakan barang lokal dalam persentase tertentu, atau memaksakan untuk mengekspor sebagian barang tertentu dari barang produksinya.[4]

     Melalui Undang – Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU Penanaman Modal), Indonesia selaku anggota WTO, mengatur kebijakan penanaman modal yang lebih terbuka yang didasarkan pada kewajiban Indonesia sebagai anggota WTO untuk melaksanakan TRIMs. Di dalam Undang – Undang Nomor 25 tahun 2007, Pasal 3 ayat (1)d, salah satu asas penanaman modal Indonesia adalah perlakuan yang sama terhadap penanam modal baik asing dan dalam negeri.[5] Kebijakan utama yang harus disesuaikan adalah tentang penerapan fasilitas penanaman modal, yang wajib sesuai dengan aturan – aturan tentang Performance Requirement yang disebutkan dalam lampiran TRIMs[6].

     Berdasarkan atas hal tersebut maka akan dianalisa kesesuaian UU Penanaman Modal dengan TRIMs. Analisa tentang kesesuaian dua peraturan tersebut dilakukan terbatas pada pengaturan tentang fasilitas penanaman modal yang diatur didalam UU Penanaman modal dan kesesuaiannnya dengan Performance Requirement yang terdapat didalam TRIMs.

B.  Fasilitas Penanaman Modal dan Performance Requirement dalam TRIMs

     Pengaturan tentang Performance Requirement atau kewajiban pembatasan tindakan dalam penanaman modal berdasarkan TRIMs merupakan pelaksanaan dari prinsip dasar WTO sebagaimana di atur di dalam Pasal III dan Pasal XI GATT 1994[7] yang meliputi prinsip National Treatment dan Most Favored Nation. UU Penanaman Modal disebutkan memiliki salah satu asas utama yaitu prinsip kesamaan (National Treatment), hal mana mengartikan kewajiban penghilangan diskriminasi perlakuan kepada penanam modal asing. Berdasarkan atas hal tersebut maka selayaknya kesemuanya hak dan kewajiban penanam modal asing berlaku juga bagi penanam modal dalam negeri[8], akan tetapi bilamana menelaah Pasal 12 ayat (2), UU Penanaman Modal, secara khusus, di atur bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing yaitu 1)produksi senjata, mesiu, alat peledak dan peralatan perang; 2) bidang – bidang yang secara eksplisit di atur tertutup untuk penanaman modal asing. Tertutupnya produksi senjata, mesiu, alat peledak dan peralatan perang berdasarkan Pasal XXI huruf b.(ii) GATT merupakan pengecualian untuk melindungi keamanan negara, akan tetapi untuk pengaturan tentang produksi hal lain sesuai peraturan perundangan, dapat dianggap suatu perlakuan diskriminasi mengingat pengaturan tersebut di atur secara terbuka, dengan digantungkan pada kebijakan yang belum ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia.

     Fasilitas penanaman modal merupakan hal yang biasa dilakukan untuk menarik penanam modal. UU Penanaman Modal mengatur tentang fasilitas penanaman modal dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 24. Fasilitas penanaman modal menjadi suatu permasalahan dalam hal fasilitas tersebut dilakukan dikaitkan dengan pemenuhan Performance Requirement yang dilarang di dalam TRIMs. Salah satu hal yang menjadi perhatian di dalam UU Penanaman Modal adalah Pasal 18 ayat (3) huruf j, yang menyebutkan persyaratan pemberian fasilitas penanaman modal salah satunya adalah penggunaan komponen lokal. Bilamana ditelaah maka pengaturan Pasal 18 ayat (3) huruf j, UU Penanaman Modal merupakan suatu perlakuan yang tidak sama antara barang dalam negeri dan barang import.

     Pasal 18 ayat (3) huruf j, UU Penanaman Modal secara eksplisit merupakan pelanggaran dari pengaturan Performance Requirement yang di atur di dalam TRIMs. Larangan pengaturan kebijakan diskriminasi terkait dengan penggunaan produksi lokal dalam TRIMs, di atur sebagai suatu kegiatan yang diwajibkan[9], sedangkan didalam UU Penanaman Modal, tindakan tersebut lebih kepada suatu pilihan yang tidak mempengaruhi pada keberadaan dari penanam modal. Ketentuan tentang larangan penggunaan komponen lokal dalam TRIMs juga mensyaratkan bahwa secara spesifik negara anggota mengatur tentang jumlah, nilai dan presentase khusus, sedangkan didalam UU Penanaman Modal hanya mengatur secara umum[10].

C.  Kesimpulan

     Berdasarkan penelaahan di atas maka UU Penanaman Modal telah memiliki kesesuaian dengan TRIMs, akan tetapi terdapat pengaturan yang secara khusus melakukan diskriminasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12 ayat (2)b ataupun Pasal 18 ayat (3)j, UU Penanaman Modal. Kedua Pasal tersebut akan menjadi perhatian mengingat keduanya menciptakan perlakuan yang berbeda. Pasal 18 (3)j, UU Penanaman Modal dalam hal ini dapat dikecualikan mengingat syarat diskriminasi tersebut dilakukan tidak secara spesifik dan hanya merupakan suatu pilihan bukan suatu keharusan yang memaksa untuk dilakukan.     



[1] Mahmul Siregar (1), Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal  - Studi Kesiapan Indonesia Dalam Perjanjian Investasi Multilateral, cet. 1, (Medan: Universitas  Sumatera Utara, 2005), hlm. 57..

[2] Munir  Fuady, Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum dari WTO), cet. I, (Bandung: PT. Citra  Aditya Bakti, 2004), hlm. 97.

[3] H.S. Kartadjoemena, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, cet. II, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1998), hlm. 226.

[4] Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan HKI, Sekilas WTO (World Trade Organization),  ed. 4, (Jakarta: Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan HKI, 2006), hlm. 44.

[5] Indonesia, Undang  - Undang Penanaman Modal, UU No. 25 tahun 2007, LN No. 67 tahun 2007, TLN No. 4724, ps. 3 ayat 1.

 

[7] Kartadjoemena, op. cit.

[8] Fuady, op. cit., hlm. 98.

 

[9] Kartadjoemena, op. cit.

[10] Mahmul Siregar (2), UUPM Dan Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Dalam Kegiatan Penananam Modal,  Jurnal Hukum Bisnis (Volume 26 – No. 4, tahun 2007), hlm. 28.

Tidak ada komentar: