Minggu, 30 Desember 2007

Konsep Hukum Fair Trade

FREE TRADE (PERDAGANGAN BEBAS) DAN FAIR TRADE (PERDAGANGAN BERKEADILAN) DALAM KONSEP HUKUM
Oleh : Eko Prilianto Sudradjat

A. PENDAHULUAN
Dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization” , maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan semua persetujuan yang ada didalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional. Menjadi anggota WTO berarti terikat dengan adanya hak dan kewajiban. Disamping itu pula , WTO bukan hanya menciptakan peluang (opportunity), tetapi juga ancaman (threat). Bagi negara yang siap dengan liberalisasi perdaangan, maka semua hasil perundingan dalam akses pasar akan menjadi peluang (opportunity) besar. Seperti diketahui , negara-negara maju telah menurunkan tarif untuk industri dari rata-rata 6,3% menjadi 3,8% (penurunan sebesar 40%) dari tarif “nol” telah meningkat dari 20% menjadi 40% dari seluruh produk industri yang masuk ke negara maju. Hal inilah yang menjadi peluang besar terhadap ekspor negara berkembang termasuk Indonesia.
Terdapat beberapa hal penting yang perlu mendapat catatan dibidang akses pasar ini , antara lain adalah hasil negosiasi akses pasar ini adalah “Most Favoured Nation” dimana semua negara anggota dapat menikmatinya tanpa terkecuali. Sebagai konsekuensinya adalah persaingan semakin tajam. Karena “standing position” nya sama, maka dalam pemanfaatan ini akan berlaku hukum alam, siapa yang lebih kuat, dia yang akan menang.
Indonesia dengan ekonomi terbuka, dimana program ekspor non migas merupakan salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan penciptaan lapangan kerja dan dituntut untuk lebih siap untuk dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari peluang yang dihasilkan oleh WTO. Peluang dan manfaat dari keanggotaan Indonesia di WTO hanya dapat diperoleh apabila kita menguasai semua persetujuan WTO dan menerapkannya sesuai dengan kepentingan nasional. Salah satu prinsip dasar yang diatur didalam WTO selain perdagangan bebas adalah adanya perdagangan yang berkeadilan. Dibawah ini akan dicoba ditelaah konsep hukum dari perdagangan bebas (Free Trade) dan Perdagangan yang berkeadilan (Fair Trade). Pemahaman dari kedua prinsip dasar tersebut adalah dengan menelaah aturan – aturan dasar yang terdapat didalam General Agreement on Tariffs and Trade) 1994 serta membandingkannya dengan pendapat dari ahli – ahli hukum khususnya dalam perdagangan internasional.

B. FREE TRADE (PERDAGANGAN BEBAS)
Pembentukan World Trade Organization (WTO) telah memberikan konsep liberalisasi perdagangan kepada dunia khususny kepada negara – negara anggota, dimana, konsep dasar dari liberalisasi perdagangan adalah penghilangan hambatan dalam perdagangan internasional[1]. konsep liberalisasi dalam perdagangan dalam pelaksanaannya membentuk globalisasi. Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat[2]. Dalam sejarah pada abad ke – 15 bangsa-bangsa didunia khususnya di benua Eropa, telah mulai menerapkan kebijakan globalisasi perdagangan. Globalisasi perdagangan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan lintas negara. Pemahaman sejarah ini terlihat dari kegiatan para saudagar atau pedagang dari Eropa yang melakukan pencarian atas produk rempah-rempah dari dunia timur, yang pada saat itu menjadi suatu komoditi yang sangat diminati oleh konsumen dari benua Eropa. Istilah globalisasi perdagangan dapat disebutkan sebagai sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, yang mengakibatkan batas negar menjadi tidak terlihat[3].
Konsep perdagangan bebas (liberalisasi perdagangan) menurut Adam Smith, seorang ahli ekonomi klasik, merupakan suatu kegiatan perdagangan barang – barang yang dibiarkan bebas berdasarkan hukum pasar, atau yang disebutkan oleh Hugo Grotius, diistilahkan dengan Laissez Faire, yang dapat didefinisikan “bebas melakukan apa yang engkau inginkan” atau bebas dari campur tangan pemerintah untuk membantu orang miskin, pengontrolan upah buruh, bantuan atau subsidi pertanian[4].
Liberalisasi perdagangan ini, oleh WTO, terbentuk didalam aturan – aturan dasar yang diatur didalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994. Aturan – aturan dasar dari kebijakan perdagangan bebas tersebut adalah[5]:
1. Non – Discrimination
Terdapat 2 (dua) prinsip dasar dari aturan Non – Discrimination, yang diatur didalam GATT 1994, yaitu:
a. Most Favoured Nation (MFN)
Pada pokoknya yang dimaksudkan dengan MFN disini adalah kewajiban negara anggota WTO, untuk memperlakukan kepada seluruh negara anggota WTO, hal yang sama, atau dalam hal suatu negara anggota memberikan keistimewaan untuk satu negara anggota, maka perlakuan tersebut harus dilakukan sama kepada anggota yang lain.
b. National Treatment
Utamanya pelaksanaan dari prinsip ini adalah, perlakuan yang sama terhadap produk – produk dari negara lain yang masuk kedalam wilayah suatu negara anggota dengan produk nasional dari negara anggota tersebut.
2. Market Access
Liberalisasi perdagangan didalam aturan WTO, diatur didalam GATT 1994, dengan aturan – aturan dasar yaitu:
a. Custom Duties
Dalam hal ini GATT 1994 mewajibkan tiap negara anggota untuk melakukan penurunan bea masuk, ke tingkat dimana dapat memberikan kemudahan untuk negara anggota lainnya masuk kedalam pasar domestik negara tersebut.
b. Quantitative Restriction
Pada intinya aturan Quantitative Restriction, melarang adanya pembatasan jumlah barang ekspor masuk kedalam wilayah nasional negara anggota.


c. Non Tariff Barriers
Adalah tindakan dari negara tertentu anggota WTO yang dengan maksud melindungi industri dalam negerinya, denga melakukan tindakan – tindakan selain dengan hambatan bea masuk seperti, hambatan perdagangan dengan alasan perlindungan kesehatan (Sanitary and Phytosanitary) dan hambatan dalam standar teknis produk (Technical Barriers). Tindakan – tindakan tersebut berdasarkan GATT 1994 dilarang untuk dilakukan oleh negara anggota.
Berdasarkan atas penelaahan dari konsep dasar GATT 1994 tersebut di atas, dapat dipahami apa yang dimaksud dengan liberalisasi perdagangan yang diterapkan oleh WTO. Liberalisasi perdagangan yang diatur didalam WTO adalah suatu kegiatan perdagangan dimana tidak terdapat hambatan – hambatan untuk perdagangan atau masuknya barang – barang yang diperdagangkan oleh negara – negara anggota kedalam wilayah nasional negara anggota yang lain, utamanya hambatan tersebut adalah dengan tingginya bea masuk dari suatu negara anggota, dan adanya batasan jumlah barang import oleh pemerintah dari negara anggota. Hal tersebut juga di imbangi dengan perlakuan yang sama, atau dikenal dengan istilah Non – Discrimination Rules. Yang dimaksudkan dengan Non – Discrimination Rules didalam aturan GATT 1994 adalah perlakuan yang sama, dimana ketika terdapat beberapa negara anggota WTO melakukan perdagangan dengan satu negara anggota yang lain, kesemua negara tersebut wajib diperlakukan sama, contohnya adalah ketika satu negara diberikan kemudahan untuk melakukan perdagangan dari negara anggota lainnya maka negara – negara anggota yang juga melakukan perdagangan dengan negara tersebut harus mendapat kemudahan yang sama. Non – Discrimination Rules juga mengatur perlakuan yang sama terhadap produk import dengan produk domestik.
The process of pursuing more free trade - often negotiated among countries in the context of reciprocal market access and non-discrimination - involves such activities as the harmonization of trading rules and the reduction of barriers to trade such as tariffs and quotas. In its simplest sense, the pursuit of free trade belongs to the blanket process of “leveling the playing field.” If one takes this analogy to its logical conclusion, more free trade would result from the application of the same policies, rules, mechanisms, and institutions to each participant in the trade regime, regardless of origin or capacity[6].
Terjemahan bebas:
proses yang dilaksanakan untuk mencapai perdagangan bebas, sering kali dinegosiasikan oleh negara – negara kaitannya dengan prinsip reciprocal didalam untuk akses pasar dan prinsip Non – Discrimination – dihubungkan dengan kegiatan – kegiatan seperti peraturan didalam perdagangan dan penurunan hambatan perdagangan seperti tariff dan quota. Kegiatan pencapaian perdagangan bebas dilakukan didalam suatu proses “ mensejajarkan keadaan pasar internasional”, ketika satu negara melaksanakan analogi ini didalam kesimpulan logika perdagangan bebas hanya dapat tercapai dalam hal terdapat kebijakan, aturan – aturan hukum, mekanisme dan institusi yang sama, ditiap – tiap negara yang terlibat, dengan tanpa memperhitungkan kapasitas dan karakter asal dari negara tersebut.

C. FAIR TRADE (PERDAGANGAN BERKEADILAN)
Disebutkan oleh Ralph E. Gomory dan William Baumol, bahwa didalam perdagangan diperlukan adanya kesetaraan antara pihak – pihak (leveling the playing field). Kesetaraan yang dimaksudkan oleh Gomory dan Baumol adalah adanya perlakuan yang sama dengan tidak melakukan diskriminasi terhadap pihak – pihak lain yang juga melakukan perdagangan dengan pihak tersebut. Permasalahannya adalah Gomory dan Baumol mengatakan kesetaraan tersebut dilakukan dengan tanpa menilai karakter dasar dan kapasitas dari pihak – pihak yang melakukan perdagangan. Konsep kesetaraaan disebutkan di atas adalah konsep keadilan dalam perdagangan atau Fair Trade yang ada didalam GATT 1994. Pemahaman atas Fair Trade disini selayaknya harus juga ditelaah dari teori - teori hukum mengenai keadilan, sehingga tercipta konsep umum tentang perdagangan yang berkeadilan atau Fair Trade.
Dalam sejarah manusia, setidaknya ada tiga pola pandangan tentang kaitan hukum dengan keadilan. Pola keadilan dan hukum disebutkan di atas diuraikan dibawah ini[7]:
1. Pola pertama memandang hukum sebagai bahasa yuridis dari suatu konsep keadilan. Diandaikan adanya kaitan langsung antarkeduanya. Dalam pandangan ini, konsep keadilan dipandang tunggal. Konteks sosiologisnya adalah masyarakat yang masih homogen. Perdebatan dalam proses perumusan hukum hanya dipandang sebagai perdebatan tentang batas. Hal ini tercermin dalam pandangan para pemikir klasik, dari Aristoteles sampai Thomas Aquinas.
2. Pola kedua, melihat hukum sebagai hasil kompromi dari beragam konsep keadilan. Pola kedua ini melihat perdebatan dalam perumusan hukum adalah upaya mengkompromikan konsep-konsep keadilan yang beraneka sebagai isi hukum. Pola kedua ini tampak antara lain dalam pandangan Thomas Hobbes dan pemikir politik mulai abad ke-17. Selain itu, mereka mengandaikan adanya kebebasan yang cukup dan kesederajatan antara pihak-pihak yang berkompromi.
3. Pola ketiga, mengakui sifat kompromis hukum, tetapi lebih jauh lagi melihat kesetaraan dan kebebasan dalam berkompromi tidak bisa diandaikan begitu saja. Ini berkait perkembangan masyarakat secara sosio-ekonomis. Terlebih karena perkembangan kapitalisme, dan kini dalam warna neo-liberalisme, muncul gejala penumpukan dan penguasaan modal dalam sekelompok orang.
Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu tanpa membedakan latar belakangnya. Semua orang memiliki hak diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Persamaan di hadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak diartikan statis. Artinya, kalau ada persamaan di hadapan hukum bagi semua orang harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment) bagi semua orang. Persamaan di hadapan hukum yang diartikan secara dinamis itu dipercayai akan memberikan jaminan adanya akses memperoleh keadilan bagi semua orang[8]. Menurut Aristoteles, keadilan harus dibagikan oleh negara kepada semua orang, dan hukum yang mempunyai tugas menjaganya agar keadilan sampai kepada semua orang tanpa kecuali. Dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya[9]. Kesetaraan didalam hukum disini dimaksudkan untuk memberikan kewajiban yang sama dari tiap – tiap anggota masyarakat. Didalam bidang ekonomi prinsip hukum keadilan di atur didalam Pasal 34 ayat 2 UUD 1945, yang menyebutkan “negara … memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan[10]”.
Dasar yang dipergunakan dalam pemahaman tentang keadilan di atas akan menjadi dasar untuk menelaah konsep hukum dari perdagangan yang berkeadilan atau Fair Trade. Pendapat tentang keadilan yang sangat dikenal adalah pendapat dari John Rawls, didalam bukunya Theory of Justice, yang mengembangkan konsep prinsip distributive justice yang merupakan prinsip normatif yang dibentuk sebagai pedoman untuk membagi keuntungan dan beban diddalam kegiatan ekonomi[11]. Konsep distributive justice yang dikembangkan oleh John Rawls pada intinya adalah pembagian atas kewajiban dan hak didalam ekonomi tidak selalu harus menerapkan kesetaraan yang umum (pembagian yang sama tanpa menilai karakter dari individu – individu yang ada didalamnya), menurutnya keadilan dapat terbentuk didalam tindakan yang tidak sebanding dimana memberikan hak yang lebih besar dan kewajiban yang kecil bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah sehingga memberikan kesejahteraan yang lebih baik daripada ketika kesetaraan dilakukan secara tegad, dimana hak dan kewajiban diberikan dalam tingkat yang sama[12].
Konsep dasar dari dari keadilan ini dapat dijadikan dasar bagi memahami perdagangan yang berkeadilan atau Fair Trade. Konsep hukum dari John Rawls tentang keadilan pada intinya adalah keadilan terbentuk dari perlakuan yang tidak sama, dimana masyarakat dengan ekonomi rendah selayaknya diberikan hak yang lebih besar dan kewajiban yang lebih kecil, dari masyarakat dengan tingkat ekonomi yang lebih tinggi hal ini disebutkan oleh John Rawls adalah sebagai keaadaan yang seimbang, dimana dengan perlakuan yang khusus bagi masyarakat yang dengan tingkat ekonomi yang lebih rendah pada akhirnya akan menimbulkan keadaan yang adil.
Konsep keadilan dimaksudkan oleh John Rawls disini, merupakan konsep dasar yang membentuk aturan – aturan perdagangan didalam GATT. Didalam WTO keanggotaan dari negara – negara yang ikut serta, dibagi dalam tiga kelompok negara, yaitu Developed Country (negara maju), Developing Country (negara berkembang) dan Less Developed Country (negara miskin). Inti dari pembagian anggota WTO kedalam kelompok – kelompok negara inilah yang menjadi dasar perdagangan yang berkeadilan. Permasalahan yang ada didalam GATT 1994 adalah pengutamaan prinsip mengenai Non – Discrimination, dimana semua negara anggota diharuskan diperlakukan sama, tanpa menilai karakter dari negara anggota. Selayaknya prinsip hukum dari keadilan yang disebutkan oleh John Rawls, menjadi titik tolak dan dasar dalam pengaturan proses perdagangan internasional. Didalam GATT 1994 memang di atur mengenai konsep Special Differential Treatmen bagi negara berkembang dan miskin, dimana kepatuhan atas peraturan yang ada didalam GATT 1994 dapat dilaksanakan berbeda untuk negara berkembang dan miskin, akan tetapi Special Differential Treatment tersebut hanya dilaksanakan dalam bentuk penundaan jangka waktu pelaksanaan aturan atau penerapan penurunan tarif yang lebih kecil, sehingga tidak menghapus kewajiban – kewajiban yang diberlakukan bagi negara maju untuk diterapkan oleh negara berkembang dan miskin. Hal ini tentunya berlawanan dengan prinsip hukum dari keadilan yang disebutkan oleh John Rawls dimana perlakuan “istimewa” bagi pihak dengan tingkat ekonomi rendah akan selalu dilaksanakan untuk menciptakan keadilan
Konsep Perdagangan yang berkeadilan (fair trade) yang dilaksanakan dengan mengembangkan konsep keadilan dari John Rawls timbul pada tahun 1940 sebagai gerakan sosial di beberapa negara Eropa seperti Inggris, Belanda, Austria. Gerakan ini bertujuan untuk menolong produsen kecil (petani, perajin dan buruh) di negara-negara miskin atau Dunia Ketiga supaya mereka dapat terlepas dari jeratan kemiskinan dan mempertahankan keberlanjutan kehidupan mereka melalui sebuah kemitraan perdagangan yang didasarkan pada dialog, transparansi dan respek (baik produsen maupun konsumen).
Fair trade bertujuan untuk perbaikan penghidupan produsen melalui hubungan dagang yang sejajar, mempromosikan peluang usaha dan kesempatan bagi produsen lemah atau termarjinalisir meningkatkan kesadaran konsumen melalui kampanye fair trade, mempromosikan model kemitraan dalam perdagangan yang adil, mengkampanyekan perubahan dalam perdagangan konvensional yang tidak adil, melindungi Hak Azasi Manusia, pendidikan konsumen dan melakukan advokasi bagi terciptanya kondisi yang lebih baik, khususnya yang berpihak kepada produsen kecil sehingga mereka dapat berpartisipasi di pasar.
Fair trade sebagai sebuah alternatif menawarkan kondisi perdagangan yang lebih baik bagi produsen kecil dan melindungi hak mereka yang selama ini terpinggirkan. Fair trade membantu produsen kecil untuk memperoleh kehidupan yang layak melalui peningkatan pendapatan, melindungi hak produsen kecil atas akses ke pasar, menyalurkan aspirasi dan pendapat mereka, tidak diskriminatif terhadap perempuan yang selama ini menjadi warga kelas dua dan korban langsung atas perdagangan yang tidak adil, juga melindungi lingkungan dari kerusakan karena minimnya penggunaan bahan-bahan kimiawi.
Dengan mekanisme fair trade, konsumen bersedia menghargai jerih payah produsen yang selama ini tidak pernah diperhitungkan (pemeliharaan tanaman, mengusir burung, menjemur padi, didalam usaha pertanian padi) sebagai komponen biaya produksi dalam sistem perdagangan konvensional. Sebagai salah satu bentuk apresiasi konsumen atas jerih payah produsen, mereka tidak keberatan untuk membeli harga premium (yang meliputi biaya produksi ditambah biaya untuk reinvestasi) yang ditawarkan oleh produsen.
Sebaliknya, produsen juga menghargai kepedulian dan kepercayaan yang diberikan oleh konsumen dengan selalu memberikan informasi sebenarnya mengenai produk mereka (kondisi, waktu panen, varietas) dan menjaga kualitas/kuantitas produknya. Produsen juga melakukan pertemuan rutin untuk membahas dan mencari jalan keluar tentang masalah yang mereka hadapi, khususnya yang berkaitan dengan pola perdagangan yang adil. WTO diharapkan dapat membentuk suatu kemitraan perdagangan yang dilandaskan pada dialog, transparansi dan penghargaan yang bertujuan untuk mencapai kesetaraan yang seimbang (bagi Dunia Ketiga) didalam perdagangan internasional.
Prinsip John Rawls disini sering kali dikritik, yang mana menurut para ahli hukum terdapat dua kelemahan yaitu dari konsep empiris dimana distributive justice tidak dapat mencukupi sebagai kajian substansi doctrinal dan normative bagi hukum internasional modern, sebagaia suatu kenyataan didalam lingkungan pergaulan internasional, hal ini dikarenakan pandangan distributive of justice selalu melihat keadilan internasional timbul diawali dengan adanya keadilan domestik didalam suatu negara. Hal kedua yang jadi kelemahan dari konsep keadilan John Rawls, adalah bila dipandang didalam perspektif normatif – empiris, John Rawls mendasarkan teorinya dari konsep keadilan Emanuel Kant yang menekankan bahwa keadilan antar negara harus diawali dengan adanya keadilan didalam negara.
Kelemahan – kelemahan tersebut menjadi titik utama dari pengembangan teori distributive justice oleh Frank J. Garcia. Frank J. Garcia pada intinya mencoba memaparkan keadilan didalam hukum perdagangan internasional, dimana Garcia menyebutkan bahwa hukum perdagangan internasional, harus dirumuskan untuk melindungi kesetaraan moral seluruh individu yang terpengaruh olehnya. Konsep keadilan perdagangan Garcia, harus beroperasi sedemikian rupa untuk kepentingan negara yang paling tidak diuntungkan. Hal terakhir yang disebutkan oleh Garcia sebagai faktor yang harus ada didalam perdagangan internasional yang adil adalah perdagangan internasional harus tidak mengorbankan Hak Azasi Manusia atau perlindungan yang efektif terhadap Hak Azasi Manusia[13].
Berdasarkan konsep ini maka Special Differential Treatment didalam WTO lebih cenderung dilakukan secara tidak setara dengan mengutamakan negara – negara yang paling tidak diuntungkan.


D. KESIMPULAN
Aturan-aturan WTO yang kita akui secara sah berdasarkan Undang - Undang No. 7 Tahun 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization”, mengatur hampir seluruh bidang perdagangan, dari perdagangan barang, jasa dan juga aturan mengenai hak atas kekayaan intelektual (intellectual property rights). WTO sebagai organisasi yang mengatur perdagangan dunia, menghendaki sistem perdagangan dunia didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut : without discrimination, freer, predictable, more competitive dan more beneficial for less developed countries. Namun bukan berarti aturan-aturan WTO itu merupakan suatu aturan yang sempurna dan harus diterapkan tanpa dipikirkan ulang. Setidaknya, ada beberapa aspek yang perlu kita pikirkan ulang, yang pertama adalah mengenai prinsip without discrimination yang tersebut didalam aturan GATT 1994 tentang Most-favoured-nation yang menuntut dan menuntun kita untuk memperlakukan secara sama setiap partner dagang kita dengan tidak mempertimbangkan apakah partner kita itu negara miskin atau kaya, lemah atau kuat; dan aturan mengenai National treatment yang menuntut dan menuntun kita untuk memperlakukan secara sama dengan tidak mempertimbangkan apakah partner kita itu pengusaha lokal (dalam negeri) atau pengusaha asing. Dua aturan ini secara tegas menghendaki penghapusan sistem proteksionisme yang mengandaikan beberapa hak istimewa dalam perdagangan. Pada kenyataannya, dua aturan ini merupakan aturan yang tidak berbelas kasihan (sans pitiĆ©) khususnya terhadap yang lemah dan miskin.
Dalam konteks ini, Indonesia yang termasuk sebagai negara berkembang dalam perdagangan dunia dianggap dan harus diperlakukan sama dengan negara Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Jepang dan negara-negara maju dan kaya yang lainnya. Kemudian, yang lebih mengkhawatirkan adalah aturan National treatment yang mengharuskan kita untuk memperlakukan sama pengusaha kecil dan menengah, lokal, dalam negeri yang memiliki modal terbatas dengan perusahaan-perusahaan asing dan atau multinasional. Tentunya dalam keadaan disebutkan di atas, pengusaha kecil dan menengah kita kalah bersaing dan tidak kompetitf, karena modal dan kapasitas yang mereka miliki berbeda dengan peruasahaan-perusahaan asing dan multinasional, namun mereka diperlakukan sama. Hal tersebut dapat mengakibatkan perusahaan-perusahaan asing dan atau multinasional menguasai pasar diwilayah Indonesia, dari industri (perdagangan) hulu sampai hilir. Kita juga melihat betapa banyak pedagang-pedagang kecil di pasar-pasar tradisional harus menutup usahanya karena tidak mampu bersaing dengan pusat-pusat perbelanjaan modern dan atau perusahaan penjualan grosir (supermarket).
Hal tersebut mengakibatkan tertutupnya kesempatan bagi usaha kecil dan menengah atau pengusaha dalam negeri di bidang-bidang yang strategis dan berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam. Seolah-olah bidang-bidang tersebut adalah eksklusif milik investor asing dan atau perusahaan multinasional. Dalam kondisi seperti ini, maka tak jarang kita jumpai bagaimana investor-investor dalam negeri melarikan usahanya ke luar negeri, yang kemudian disusul oleh investor-investor asing. Dalam hal ini, kita melihat bagaimana free trade tidak selalu sama dengan fair trade, pada kondisi ini hanya mereka yang memiliki daya survival tinggi yang mampu bertahan dan hidup.
Hal kedua yang harus kembali ditelaah, adalah mengenai aturan-aturan tentang makanan (food) khususnya tentang produk pertanian (Agreement on Agriculture), perlindungan kesehatan manusia, hewan dan tanaman (Agreement on Sanitary and Phytosanitary Measures), produk-pruduk susu (International Dairy Agreement) dan tentang daging sapi dan kerbau (Agreeement Regarding Bovine Meat). Berkaitan dengan makanan, Peter M. Rosset yang mengatakan bahwa makanan adalah sesuatu yang berbeda (Food is differen)t. Makanan bukan hanya barang dagangan atau komoditi. Makanan berarti pertanian, dan pertanian berarti kehidupan, tradisi dan budaya masyarakat rural. Pertanian artinya masyarakat rural, sejarah agraris dalam beberapa kasus, kawasan rural merupakan tempat dimana budaya suatu bangsa dan rakyat suatu negara berasal[14].
Kembali ke konteks Indonesia, sebenarnya negara kita memiliki karakter sebagai negara agraris (di samping negara maritim), namun tampaknya budaya ini tercerabut dari akarnya. Kualitas dan kuantitas pertanian kita yang semakin menurun, dengan ditandai berulangnya kasus import beras tiap tahun sebelum masa panen tiba dan semakin banyaknya lahan pertanian di Indonesia yang berubah fungsi dengan alasan pembangunan. Bangsa kita yang dulunya swasembada beras, kemudian menjadi bangsa yang lapar.
Hal ketiga yang harus diperhatikan adalah mengenai aturan-aturan yang berkaitan dengan hak-hak atas kekayaan intelektual. Perlindungan hak-hak atas kekayaan intelektual pada mulanya bertujuan untuk mempromosikan inovasi dan sekaligus investasi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun kemudian permasalahan ini menjadi rumit saat dikaitkan dengan issue perdagangan dan kekayaan intelektual tidak lagi menjadi domain publik. Hak-hak atas kekayaan intelektual, khususnya paten dan merk menjadi alat monopoli golongan tertentu (yang sering diwakili oleh perusahaan multinasional) terhadap golongan yang lain. Dalam konteks pertanian misalnya, kita akan menjumpai suatu keadaan yang dideskripsikan oleh Ralph Nader sebagai situasi dimana the world doesn’t have free trade, it has corporate-managed trade[15]. Article 27.3b perjanjian TRIPS yang bermuka dua, memperkecualikan tanaman dan hewan dari paten, namun di lain pihak tetap menuntut perlindungan HAKI atas varietas tanaman baru (varietas tanaman baru ini “ditemukan”perusahaan multinasional dari varietas yang ada sebelumnya, mereka hanya mengidentifikasi keunggulan varietas tersebut dan memberinya nama). Sebagai contoh konkret dalam masalah ini adalah kemenangan secara konterversial Rice Tec Inc. (perusahaan kecil yang berada di Texas, Amerika Serikat dan hanya memiliki 120 orang pekerja) pada bulan september 1997 memenangkan hak paten terhadap varietas beras Basmati asal India dan Pakistan. Kasus ini jelas merugikan banyak petani beras Basmati di India dan Pakistan, yang pada kenyataannya sudah membudidayakan varietas ini sejak jaman nenek moyang mereka. Kasus yang dilakukan oleh Rice Tec Inc., akhirnya memunculkan banyak reaksi, khususnya dari Pemerintah India, yang merasakan secara langsung dampak kerugian terhadap paten tersebut. Pemerintah India dan Pakistan menganggap paten terhadap beras Basmati yang dilakukan oleh Rice Tec adalah sesuatu yang keliru, tidak berdasar dan misrepresentasi, karena menurut mereka hanya beras yang tumbuh di wilayah utara India dan Pakistan yang dapat disebut Basmati. Dari kasus ini pula, pemerintah India menyusun Undang-Undang tentang Geographical Indication of Goods’ Registration and Protection. Undang-undang ini tidak hanya memproteksi beras Basmati, tetapi juga barang-barang lain yang berasal dari India, seperti Darjeeling tea, Alphonso mangoes, Malabar pepper, atau Alappuzha cardamom. Kemudian usaha dan perjuangan pemerintah India ini pun berlanjut, mereka bersama Swiss, Uni Eropa, Republik Cekoslovakia dan Maroko memperjuangkan dengan sungguh-sungguh penguatan serta perluasan perlindungan Indikasi Geografis dalam bidang pertanian yang diatur dalam article 23 perjanjian TRIPs. Kemudian dari perdebatan mengenai Indikasi Geografis ini, bangsa Indonesia pun sekali lagi harus menderita, karena kita menjumpai banyak barang-barang asli Indonesia, semisal Tahu yang Indikasi Geografisnya milik Jepang, Keris milik Singapura, Batik milik Malaysia, Toraja Coffee milik Jepang, Java Coffee milik Amerika Serikat, dan sebagainya. Sekali lagi kita menjumpai bagaimana gagapnya bangsa kita menghadapi liberalisasi perdagangan dunia. Sampai saat ini pun, kita belum pernah mendengar usaha pemerintah kita untuk melindungi kekayaan alam hayati kita seperti yang dilakukan oleh Pemerintah India.
Berkaitan dengan perjanjian TRIPs, kita dapat melihat bagaimana TRIPs sangat membebani negara-negara berkembang termasuk Indonesia[16]. Beban yang dirasakan langsung oleh negara-negara berkembang, adalah besarnya pembayaran royalti yang harus dibayarkan ke perusahaan-perusahaan di negara-negara maju., TRIPs juga telah meningkatkan kekuasaan perusahaan-peruasahaan multinasional terhadap konsumen. Perusahaan-perusahaan ini berkat TRIPs tampak memiliki kekuasaan monopolistik, misalnya monopoli harga. Kasus yang paling menyeramkan adalah monopoli harga obat-obatan, yang menyebabkan harga obat menjadi mahal dan tak terjangkau, yang kemudian menimbulkan munculnya pemalsuan obat-obatan dan perdaganngan obat-obat palsu dan atau kadaluarsa di negara-negara berkembang dan terbelakang, termasuk Indonesia. Rezim perlindungan HAKI yang sesuai TRIPs ini menuntut banyak biaya untuk diterapkan, semisal kebutuhan akan pengacara-pengacara dan konsultan-konsultan (yang berkaitan dengan hal teknis) dengan level (pengetahuan dan reputasi) internasional, terlebih lagi dalam kaitannya dengan sengketa HAKI di WTO, dan secara terus terang Indonesia belum siap menghadapi hal ini. TRIPS telah memberikan kesempatan yang besar bagi perusahaan-perusahaan di negara maju untuk mempatenkan proses dan kekayaan alam (natural processes and resorces) yang belum dipatenkan di negara-negara berkembang. Kelima, TRIPs kemudian pada akhirnya menghambat kemajuan negara-negara berkembang untuk melakukan inovasi.
Berdasarkan atas hal tersebut selayaknya WTO mengutamakan prinsip Fair Trade, yang dasar – dasar dari kata “Fair” di atas diartikan sesuai konsep dari John Rawls yaitu pada intinya adalah keadilan terbentuk dari perlakuan yang tidak sama, dimana masyarakat dengan ekonomi rendah selayaknya diberikan hak yang lebih besar dan kewajiban yang lebih kecil, dari masyarakat dengan tingkat ekonomi yang lebih tinggi hal ini disebutkan oleh John Rawls adalah sebagai keaadaan yang seimbang, dimana dengan perlakuan yang khusus bagi masyarakat yang dengan tingkat ekonomi yang lebih rendah pada akhirnya akan menimbulkan keadaan yang adil. Dari konsep John Rawls di atas harus kita kaitkan dengan teori keadilan dalam perdagangan internasional menurut Frank J. Garcia, dimana ketidaksetaraan perlakuan dimaksudkan oleh John Rawls, dititik beratkan pada negara – negara yang tidak diuntungkan dengan adanya liberalisasi perdagangan.
Dari kedua pendapat di atas maka, konseo hukum dari Fair Trade adalah perdagangan yang dilakukan dengan melihat keadaan dari pihak – pihak, serta melihat karakter yang dari pihak tersebut, sehingga perlakuan yang akan dilaksanakan dapat sesuai dengan karakter dari pihak tersebut, dan sesuai dengan keadaan ekonomi dari pihak tersebut. Hal ini juga merupakan konsep dasar dari hak dasar dalam ekonomi yang diatur didalam Pasal 34 ayat 2 UUD 1945, yang menyebutkan “negara … memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan[17].”

[1] Munir Fuady, Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum dari WTO), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 2.
[2] Wikipedia–Ensiklopedia Bebas , . Di akses pada tanggal 11 Desember 2007.
[3] Ibid
[4] Munir Fuady, Op. Cit. hlm. 3.
[5] United Nation, United Nation Conference on Trade and Development – Dispute Settlement - World Trade Organization, (New York and Geneva : 2003), hlm. 23 – 24.
[6], Ralph E. Gomory and William Baumol, Global Trade and Conflicting National Interests. (Cambridge: Massachusetts Institute of Technology Press, 2000).
[7] Al Andang L Binawan, Keadilan Hukum, <http://kompas.com/kompas-cetak/0404/16/opini/972368.htm>. Diakses pada tanggal 10 Desember 2007.
[8] Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum Fakir-Miskin, http://www.komisihukum.go.id /konten.php?nama=Artikel&op=detail_artikel&id=165. Diakses pada tanggal 9 Desember 2007.
[9] Indonesia, Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945, pasal 27 ayat (1)
[10] Ibid. Pasal 34 ayat 2.
[11] John Rawls , A Theory of Justice, (Harvard, MA: Harvard University Press, 1971)
[12] Ibid.
[13] Frank J. Garcia, Building A Just Trade Order for A New Millenium, George Washington International Law Review, Vol. 33, 2001., hal. 1016 -1062.
[14] Peter. M. Rosset, (). Food is Different: Why We Must Get the WTO Out of Agriculture. (London and New York, Zed Books, 2006)
[15] J. Madeley (). Hungry for Trade; How the Poor Pay for Free Trade. (London & New York, Zed Books, 2001)
[16] Chang, H, J. and I. Grabel, Reclaiming development: An alternative economic policy manual. (London and New York, Zed Books, 2004)
[17] UUD 1945, Op. Cit. Pasal 34 ayat 2.

Tidak ada komentar: