Senin, 10 Desember 2007

KORUPSI DAN AKUNTANSI PEMERINTAHAN
oleh : Eko Prilianto Sudradjat

A. Latar Belakang
Definisi Korupsi
Korupsi saat ini dipandang sebagai permasalahan yang telah menjadi budaya di lingkungan sosio masyarakat Indonesia, dimana selalu dikaitkan dengan pelaksanaan pemerintahan yang terkait dengan penggunaan anggaran dan pelayanan publik. Permasalahan mendasar dalam pelaksanaan kegiatan di atas adalah penggunaan kekuasaan yang melekat dalam fungsi pemerintahan. Permasalahan korupsi saat ini cenderung dilekatkan dengan perwujudan Good Governance, dimana korupsi dianggap menjadi kendala terciptanya suatu sistem pemerintahan yang baik dan efektif.
Korupsi saat ini diasosiasikan dengan tindakan bribery (penyuapan) dan kickbacks (penerimaan komisi secara tidak sah) penilaian yang sama juga diberikan pada tindakan tercela dari oknum pemerintah seperti bureaucratic corruption atau tindak pidana korupsi, yang dikategorikan sebagai bentuk dari offences beyond the reach of the law (kejahatan-kejahatan yang tidak terjangkau oleh hukum). Banyak contoh diberikan untuk kejahatan-kejahatan semacam itu, misalnya tax evasion (pelanggaran pajak), credit fraud (penipuan di bidang kredit), embezzlement and misapropriation of public funds (penggelapan dan penyalahgunaan dana masyarakat), dan berbagai tipologi kejahatan lainnya yang disebut sebagai invisible crime (kejahatan yang tak terlihat).

Sistem Good Governance
Good governance merupakan suatu kondisi dimana dilaksanakannya tata ekonomi, politik dan sosial yang baik yang mencakup azas transparansi (transparency) pertanggungjawaban (accountability), kewajaran atau kesetaraan (fairness) dan kesinambungan (sustainability). Jika kondisi good governance dapat dicapai maka terwujudnya negara yang bersih dan responsif (clean and responsive state) dan kehidupan bisnis yang bertanggung jawab (good corporate governance). Salah satu indikator adanya perwujudan azas keterbukaan dan akuntabilitas tersebut adalah rendahnya tingkat korupsi yang terjadi dalam aktivitas ekonomi pada berbagai tingkatan pelaku ekonomi. Semakin tinggi tingkat keterbukaan dan akuntabilitas dari aktivitas ekonomi maka seharusnya semakin rendah pula kemungkinan Korupsi terjadi.
Prinsip-prinsip dasar Good Governance adalah transparansi (transparency) pertanggungjawaban (accountability), kewajaran atau kesetaraan (fairness) dan kesinambungan (sustainability), sebagaimana di uraikan dibawah ini:

1. Transparansi bermakna tersedianya informasi yang cukup, akurat dan tepat waktu tentang kebijakan publik, dan proses pembentukannya.

2. Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah, sehingga mengurangi penumpukkan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi (check and balances system).

3. Kewajaran atau kesetaraan bermakna memberikan kesempatan yang sama bagi semua kelompok masyarakat untuk ambil bagian dalam pengambilan keputusan publik.

4. kesinambungan pemerintahan yang baik, siapapun yang berkuasa.

B. Strategi Pemecahan Permasalahan Korupsi

Dasar Hukum Pelaksanaan Penyelesaian Korupsi

Dalam pelaksanaannya penyelesaian korupsi saat ini dilakukan dengan berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Korupsi), yang berlaku terhitung mulai tanggal 16 Agustus 1999, yang dimaksudkan untuk menggantikan Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun tujuan dengan di undangkannya Undang-Undang Korupsi ini diharapkan dapat memenuhi dan mengantisipasi perkembangan dan kebutuhan hukum bagi masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan, perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.
Dalam penjabarannya ketentuan didalam didalam Undang-Undang Korupsi terdapat 3 istilah hukum yang perlu diperjelas, yaitu istilah tindak pidana korupsi, keuangan negara dan perekonomian negara. Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi adalah:

· Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

· Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (sesuai Pasal 2 dan 3 UU No. 31 tahun 1999)

Sedangkan pengertian Keuangan Negara dalam undang-undang ini adalah Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karenanya :

· berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah.

· berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan Perusahaan yang menyertakan Modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

Batasan mengenai Perekonomian Negara menurut Undang-Undang Korupsi tersebut sebagai berikut : kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. (sesuai dengan Perekonomian Negara dalam Pasal 2 dan Pasal 3 ). Undang-undang bermaksud mengantisipasi atas penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang dirasa semakin canggih dan rumit. Oleh karenanya tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-undang ini dirumuskan seluas-luasnya sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum.
Dengan rumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Perbuatan melawan hukum disini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana sesuai Pasal 2 ayat 1. Pengertian Pegawai Negeri dalam undang-undang ini juga disebutkan yaitu orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Fasilitas yang dimaksud adalah perlakuan istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar, harga yang tidak wajar, pemberian izin yang eksklusif, termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 2 ).

Penerapan Akuntansi Pemerintah
Pelaksanaan Undang-Undang Korupsi merupakan langkah pemecahan strategis yang dilakukan setelah tindakan pidana atau korupsi terjadi, penyelesaian korupsi juga dapat dilakukan sebelum korupsi timbul (preventif) hal tersebut dilakukan dengan membentuk peraturan-peraturan terkait dengan pengelolaan Keuangan Negara hal tersebut juga merupakan perwujudan azas good governance yaitu azas akuntabilitas, profesionalitas serta transparansi dalam pengeloloaan keuangan negara. Saat ini telah diterbitkan paket Undang-Undang dibidang keuangan negara :

1. UU.No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

2. UU. No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

3. UU No.15 Tahun 2005 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab Keuangan Negara

Pembentukan ketentuan di atas sangatlah diperlukan untuk dapat menciptakan kondisi pelaksanaan anggaran pemerintah yang bersih hal tersebut dikarenakan terdapat apa yang disebut tindak pidana korupsi materiil dalam Undang-Undang Korupsi hal tersebut dapat dilihat dari adanya tataran realitasnya dalam pelaksanaan anggaran di lingkungan pemerintahan Indonesia dimana suatu pekerjaan yang menggunakan anggaran dilaksanakan dengan hanya memenuhi persyaratan formal yang akan diminta oleh pemeriksa. Misalnya keharusan adanya kwitansi pengeluaran, daftar hadir rapat, tiket pesawat terbang, dan sebagainya yang kesemuanya itu sangat rentan terhadap upaya rekayasa berupa dokumen fiktif dan mark up.
Langkah pencegahan yang saat ini diberlakukan adalah pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang mengatur tentang kewajiban penyusunan laporan keuangan dan kinerja instansi pemerintah (pasal 55 ayat 5). Pengaturan lebih lanjut, berupa Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006, yang menyebutkan bahwa laporan keuangan merupakan bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara/daerah selama suatu periode, yang harus disusun dan disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), serta dihasilkan dari suatu Sistem Akuntansi Pemerintahan. Sedangkan laporan kinerja dihasilkan dari suatu sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah yang diselenggarakan oleh masing-masing entitas pelaporan dan/atau entitas akuntansi. Sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dikembangkan secara terintegrasi dengan sistem perencanaan, sistem penganggaran, sistem perbendaharaan, dan Sistem Akuntansi Pemerintahan.
Konsep dasar akuntabilitas didasarkan pada klasifikasi responsibilitas manajerial pada tiap tingkatan dalam organisasi, di mana masing-masing individu pada tiap jajaran bertanggung jawab atas kegiatan yang dilaksanakan. Konsep akuntabilitas yang merupakan pengejawantahan pertanggungjawaban memiliki nuansa pencapaian tujuan secara efisien, efektif, dan ekonomis, dan tentunya harus sejalan dengan konsep pemeriksaan komprehensif (menyeluruh).
Melihat dan belajar dari berbagai kasus yang terjadi, maka permasalahan yang dapat dikemukakan sehubungan dengan tanggung jawab pelaporan kinerja adalah kurangnya pemahaman secara mendalam tentang Sistem AKIP, baik mulai tahap proses perencanaan strategik, perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, maupun pelaporan kinerja. Empat sub sistem tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, karena tidak diterapkannya salah satu sub sistem akan menghasilkan produk perencanaan, pengukuran, dan pelaporan kinerja yang sub standar. Perencanaan strategis merupakan proses perumusan visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan, dan program. Pengabaian tentang pentingnya analisis lingkungan internal dan eksternal melalui proses identifikasi kekuatan, kelemahan, tantangan, dan peluang juga ikut berpengaruh pada kualitas perencanaan.
Renstra mempertimbangkan kondisi saat ini (where are we now?), memuat secara jelas arah masa depan yang hendak dituju (where do we want to be?), memuat cara-cara mencapai tujuan dan sasaran (how to get there?), dan memuat ukuran keberhasilan (how do we measure our progress?) berupa indikator kinerja. Perencanaan kinerja merupakan proses perumusan/penentuan kinerja yang direncanakan pada tahun yang bersangkutan, sedangkan penghitungan kinerja dilakukan pada saat proses pengukuran kinerja. Proses terakhir dari Sistem AKIP berupa pendokumentasian hasil kerja dan analisis performance gap dari suatu unit organisasi/instansi. Media pertanggungjawaban yang menjadi alat evaluasi oleh pihak yang memberikan kewenangan untuk menilai kinerja pejabat pemerintah harus dibuat secara tertulis dalam bentuk laporan secara periodik dengan standar yang ditetapkan, agar dapat diperbandingkan dengan instansi pemerintah lainnya.
Penjabaran proses akuntansi di atas memberikan suatu pembatasan yang jelas dalam pelaksanaan anggaran pemerintahan dan juga menjadi suatu pengendalian intern dalam suatu lembaga sehingga pelaksanaan pengelola keuangan dilaksanakan secara ketat sehingga tercipta pengelola keuangan yang bertanggungjawab, terhitung dan terkontrol. Pelaksanaan pengelolaan anggaran yang ketat tersebut pada akhirnya dapat mencegah terjadinya korupsi yang di akibatkan semua tindakan atas anggaran selalu diawasi dan pada akhir tahun anggaran terdapat proses pertanggungjawaban penggunaan.

Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan uraian dasar hukum di atas maka dapat disimpulkan bahwa strategi penyelesaian permasalahan korupsi dengan menggunakan Undang-Undang Korupsi belum dapat menjangkau tindakan-tindakan yang pada dasarnya masuk dalam definisi perbuatan merugikan negara akan tetapi tidak memiliki unsur-unsur yang ada didalam ketentuan tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Korupsi praktek korupsi dapat dilihat berdasarkan aliran prosesnya, yaitu dengan melihatnya pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi, pada posisi perbuatan korupsi terjadi dan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi. Pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi upaya pencegahannya bersifat preventif. Pada posisi perbuatan korupsi terjadi upaya mengidentifikasi atau mendeteksi terjadinya korupsi bersifat detektif. Sedangkan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi upaya untuk meyelesaikannya secara hukum dengan sebaik-baiknya bersifat represif.
Strategi preventif harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal- hal yang menjadi penyebab timbulnya praktek korupsi. Setiap penyebab korupsi yang teridentifikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. Disamping itu, perlu dibuat upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi.
Pada akhirnya prinsip pengendalian intern yang sangat penting dalam proses pelaksanaan anggaran, yaitu adanya pemisahan yang tegas antara pemegang kewenangan administratif (ordonnateur) dan pemegang fungsi pembayaran (comptable). Penerapan pola pemisahan kewenangan tersebut, yang merupakan salah satu kaidah yang baik dalam pengelolaan keuangan negara, telah mengalami “deformasi” sehingga menjadi kurang efektif untuk mencegah dan/atau meminimalkan terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara. Oleh karena itu, penerapan pola pemisahan tersebut harus dilakukan secara konsisten. Penerapan kaidah pengelolaan keuangana yang sehat di lingkungan pemerintahan Sejalan dengan perkembangan kebutuhan pengelolaan keuangan negara, dirasakan pula semakin pentingnya fungsi perbendaharaan dalam rangka pengelolaan sumber daya keuangan pemerintah yang terbatas secara efisien. Fungsi perbendaharaan tersebut meliputi, terutama, perencanaan kas yang baik, pencegahan agar sampai terjadi kebocoran dan penyimpangan, pencarian sumber pembiayaan yang paling murah dan pemanfaatan dana yang menganggur (idle cash) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya keuangan.
Penjabaran pelaksanaan akuntansi pemerintah sangat bertopang pada aparatur pemerintah sebagai operator, pemahaman pengelola keuangan negara terhadap ketentuan-ketentuan pelaksanaan pengelolaan keuangan masih sangat minim, sehingga terjadi banyak sekali tindakan-tindakan yang menyimpang bukan di akibatkan atas kesengajaan akan tetapi ketidaktahuan dari operator. Saat ini pelaksanaan perencanaan sampai dengan pertanggungjawaban keuangan dilakukan dengan berbasis pada teknologi informasi sedangkan tingkat pengetahuan aparatur negara tentang teknologi informasi sangat minim. Kenyataan di atas memberikan gambaran bahwa masih perlunya kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan peningkatan pengetahuan dan pemahaman tentang pengelolaan keuangan negara kepada aparatur pengelola keuangan.
Salah satu titik tolak terciptanya sifat korup di dalam diri aparatur negara adalah kurang terjaminnya kesejahteraan para aparatur negara, hal tersebut dapat dihindari dengan adanya sistem reward and punishment yang diterapkan secara adil, dimana pendapatan yang didapat memberikan keseimbangan dengan tanggung jawab yang dibebankan kepada aparatur negara.
Penulis disini memberikan suatu komitmen yang jelas dalam rangka pemberantasan korupsi, sebelum terjadinya korupsi, karena bila melihat dari penyelesaian permasalahan korupsi yang saat ini dilaksanakan dilakukan setelah tindakan itu timbul, yang pada akhirnya kerugian negara yang diakibatkan belum tentu terpulihkan. Penulis menilai adanya suatu komitmen yang jelas dari pemerintah untuk melakukan pemberantasan korupsi melalui pelaksanaan pengelolaan keuangan negara yang baik, berdasarkan prinsip dasar Good Governance dimana diutamakan akuntabilitas dari segala tindakan yang mengakibatan berkurangnya anggaran negara, dapat diambil contoh disini terdapat didalam Undang-Undang Perbendaharaan Negara terbentuk suatu paradigma baru yang mendasarkan kegiatan pengelolaan keuangan yang berbasis kinerja dengan mengharuskan adanya suatu sistem pengendalian intern lembaga yang mengontrol serta membatasi tindakan para pengelola keuangan di pemerintahan dalam pelaksanaan pengelolaan anggaran yang diberikan. Pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan pengelolaan ini seharusnya dapat menjadi tulang punggung pemberantasan korupsi sehingga korupsi dapat diselesaikan sebelum korupsi itu mengakibatkan kerugian negara.

Tidak ada komentar: