ANALISIS
TENTANG BIOTERRORISM ACT – AMERIKA SERIKAT DALAM KAITANNYA DENGAN PELAKSANAAN PERJANJIAN
WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) TENTANG PELAKSANAAN
TINDAKAN PERLINDUNGAN KESEHATAN MANUSIA, HEWAN DAN TUMBUHAN-TUMBUHAN (AGREEMENT ON THE
APPLICATION OF SANITARY AND PHYTOSANITARY MEASURES
Oleh
: Eko Prilianto Sudradjat
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut
serta dalam putaran perundingan perdagagan Uruguay yang merupakan perundingan
multilateral untuk menata kembali aturan dalam perdagangan internasional[1].
Perundingan Uruguay dimulai dari bulan September 1986 dan berakhir pada bulan
April 1994. Putaran Uruguay merupakan bagian dari perundingan perdagangan
multilateral didalam Putaran Uruguay disepakati secara resmi tentang General Agreement on Trade and Tariff (GATT)
1994 dan pembentukan World Trade Organization (WTO). Berdasarkan kesepakatan
yang dilaksanakan didalam Putaran Perundingan Perdagangan Uruguay Indonesia
meratifikasi hasil perundingan Uruguay melalui Undang-Undang No.7 Tahun 1994
tanggal 2 Nopember 1994 tentang pengesahan
(ratifikasi) “Agreement Establising
the World Trade Organization”, berdasarkan hal tersebut maka Indonesia
secara resmi telah menjadi anggota
WTO dan semua persetujuan yang
ada didalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional[2].
Persetujuan-persetujuan multilateral yang dihasilkan Putaran Uruguay
tediri dari multilateral trade agreements dan plurilateral trade agreements.
Persetujuan-persetujuan tersebut merupakan hasil perundingan atas 15 subyek
Putaran Uruguay yang menyangkut masalah Tariff, Non-Tariff Measures, Tropical
Products, Natural Resource-Based Products, Textiles and Clothing, Agriculture,
GATT Articles, MTN Agreements and Arrangements, Subsidies and Countervailing
Measures, Dispute Settlement, Trade Related Aspects of Intellectual Property
Rights (TRIPs) including trade in counterfeit goods, Trade Related Investment
Measures (TRIMs), Functioning of the GATT system (FOGs), Safeguard, dan Trade
in Services.
Salah satu persetujuan sebagaimana disebutkan di atas adalah Agreement On The Application Of Sanitary And Phytosanitary
Measures (SPS Agreement), yang berdasarkan Annex A dari SPS Agreement, SPS meliputi
tindakan – tindakan yang dapat dilakukan oleh negara anggota WTO[3]
untuk:
1.
melindungi kehidupan atau kesehatan hewan atau tanaman dalam wilayah
Anggota dari risiko yang timbul dari masuknya, pembentukan atau penyebaran
hama, penyakit, organisme pembawa penyakit atau organisme penyebab penyakit;
2.
melindungi kehidupan atau kesehatan manusia atau hewan dalam wilayah
Anggota dari risiko yang timbul dari aditif, kontaminan (zat-zat yang
mencemarkan), toksin atau organisme penyebab penyakit yang terkandung dalam
makanan, minuman atau bahan pakan ternak;
3.
melindungi kehidupan dan kesehatan manusia dalam wilayah Anggota dari
risiko yang timbul dari penyakit yang dibawa hewan, tanaman atau produknya,
atau dari masuknya, pembentukan atau penyebaran hama; atau
4.
mencegah atau
membatasi kerugian lain dalam wilayah Anggota yang timbul dari masuknya, pembentukan
atau penyebaran hama.
Tindakan – tindakan perlindungan sebagaimana dimaksudkan
di atas tidak di atur secara jelas didalam SPS Agreement, sehingga negara
anggota dapat secara bebas menerapkan tindakan yang sesuai untuk melindungi
kesehatan dari warga negaranya, sebagaimana disebutkan didalam Pasal 2 ayat 1
dari SPS Agreement:
“Members have the right to take
sanitary and phytosanitary measures necessary for the protection of human,
animal or plant life or health, provided that such measures are not inconsistent
with the provisions of this Agreement.”
Terjemahan bebas”[4]
”Para Anggota berhak untuk
mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk melindungi kehidupan dan kesehatan
manusia, hewan dan tanaman dengan ketentuan bahwa tindakan-tindakan itu tidak
menympang dari ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ini.”
Contoh dari tindakan yang dapat dilaksanakan oleh negara anggota meliputi:
1.
Menerapkan syarat hewan atau produk dengan bahan baku hewan yang diimport
harus dari wilayah yang bebas dari penyakit;
2.
Inspeksi/pemeriksaan kandungan racun microbiologi suatu produk yang
diimport;
3.
Menginstruksikan tindakan fumigasi khusus untuk produk yang diimport;
4.
Mensyaratkan kadar pestisida yang dapat diterima didalam makanan;
5.
Larangan masuk produk yang mengandung bahan – bahan beracun yang
membahayakan kesehatan manusia.
Berdasarkan
pemahaman di atas maka dapat disimpulkan SPS Agreement merupakan persetujuan
WTO, yang memberikan hak kepada negara anggota untuk dapat melakukan tindakan
perlindungan atas masuknya produk kedalam wilayahnya dari negara anggota lain
yang dapat membahayakan kesehatan dari warga negaranya. Amerika Serikat setelah
peristiwa yang terjadi pada tanggal 11 September 2001, yang mengakibatkan
hancurnya menara kembar World Trade Center dan Pentagon, akibat dari pengeboman
yang dilakukan kelompok teroris, telah memperketat aturan – aturan hukum yang
terkait dengan perdagangan internasional. Salah satu bentuk dari pengetatan
tersebut adalah dengan Terbitnya Public
Health Security And Bioterrorism Preparedness And Response Act
Of 2002 (Public Law 107–188—June 12, 2002) yang pada intinya bertujuan memberikan kewenangan pada
sekretariat kesehatan dan pelayanan masyarakat untuk melaksanakan aksi
perlindungan terhadap keamanan persediaan pangan nasional dari ancaman
kontaminasi yang disengaja. Peraturan baru itu akan diterapkan pada semua
produk pangan dan produk pakan ternak yang diatur oleh Food and Drug
Administration (FDA), termasuk supplemen pangan, formula bayi, minuman dan feed
additive, kecuali daging non unggas, daging ayam dan produk telur olahan,
yang diatur oleh Deptan AS (USDA).
Ketentuan mengikat lainnya yang diatur didalam Bioterrorism
Act adalah mengenai registrasi fasilitas (pabrik) pangan, baik domestik maupun
asing yang memproduksi, memproses, mengemas atau menyimpan pangan untuk
konsumsi di dalam negeri AS. Registrasi oleh FDA paling lambat tanggal 12
Desember 2003. Registrasi terdiri dari penyediaan informasi mencakup nama
perusahaan, alamat dan hal lain yang terkait[5].
Juga diatur mengenai pendataan sumber pangan (pemasok) dan penerimanya secara
cepat, meski restoran tidak dikenakan peraturan ini.
FDA
juga harus menerima maklumat lanjutan pada setiap pengapalan bahan pangan impor
ke AS. Informasi atau maklumat tersebut harus mencakup gambaran bahan pangan
impor, perusahaan dan kapal pembawa bahan pangan impor, proses budi daya,
negara asal bahan pangan impor, negara di mana bahan pangan impor tersebut
dikapalkan, dan antisipasinya di pintu masuk[6].
Berdasarkan hal tersebut maka
Amerika Serikat telah menggunakan haknya untuk melakukan tindakan – tindakan
yang diperlukan untuk melindungi dari gangguan atau bahaya kesehatan bagi warga
negaranya, hewan ataupun tumbuhan yang terdapat didalam wilayah negara Amerika
Serikat. Hak untuk melakukan tindakan yang diperlukan untuk perlindungan
sebagaimana dimaksudkan di atas merupakan pengecualian yang diberikan untuk
penerapan prinsip Free Trade (Pasar Bebas) WTO yang pada intinya adalah
pengurangan atau penghapusan hambatan perdagangan. Tindakan perlindungan atas
kesehatan warga negara, hewan dan tumbuhan didalam wilayah anggota WTO
merupakan salah satu hambatan perdagangan internasional[7].
Berdasarkan GATT 1994 maka pelaksanaan dari tindakan – tindakan pengamanan atas
kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan dapat dilaksanakan dengan dasar hukum SPS
Agreement.
Permasalahan
dari pembentukan Bioterrorism Act, adalah aturan hukum ini dapat menjadi hambatan
baru dalam perdagangan. Hal ini akan mempengaruhi lalu lintas ekspor negara –
negara pengekspor makanan. Sebanyak 9 (sembilan) negara anggota WTO telah me
nyatakan keberatan terhadap pemberlakuan Bioterrorism Act. Negara-negara
tersebut adalah Swiss, Canada, Brazil, Chile, Uni Eropa, ASEAN, Kroasia, Turki,
dan Cina. Mereka menyampaikan keprihatinannya tentang hal ini dan meminta agar
peraturan tersebut ditinjau kembali[8]. Hal
lain yang dapat menjadi masalah adalah kesesuaian antara Bioterrorism Act
dengan SPS Agreement. Berikut merupakan analisa tentang permasalahan –
permasalahan tersebut.
B. Tindakan Perlindungan
Kesehatan Manusia, Hewan Dan Tumbuhan (SPS)
Selain
hambatan perdagangan dalam bentuk tarif seperti penerapan bea masuk, dan pajak , berdasarkan GATT 1994 maka
terdapat kelompok hambatan lain yang dapat mengganggu perdagangan antar negara
yang disebut hambatan bukan tariff (Non Tariff Barriers), yang salah satunya
adalah tindakan SPS yang dilakukan suatu negara. Tindakan SPS tersebut dianggap
menjadi suatu hambatan karena kebijakan suatu negara untuk melakukan tindakan SPS
dalam prakteknya memberikan kesulitan bagi negara lain untuk dapat mengekspor
produk kepada negara yang menerapkan tindakan tersebut. Tindakan SPS ini,
didalam Putaran Perundingan Perdagangan menjadi isu yang sangat penting,
dikarenakan tindakan tersebut sangat terkait dengan perdagagan produksi
pertanian, sektor yang sangat sulit untuk diliberalisasi dan tindakan
pengamanan kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan serta tindakan SPS masuk
didalam wilayah politik kebijakan pemerintah yang sensitif, yaitu kesehatan
manusia. Berdasarkan atas hal tersebut maka negara anggota WTO sepakat untuk
mengatur hal ini dalam perjanjian sendiri yang tidak dapat dipisahkan dengan
GATT 1994, dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan antara tujuan dilaksanakan
pasar bebas dengan hak suatu dari suatu negara untuk membentuk peraturan dalam
rangka perlindungan kesehatan bagi warga negaranya[9].
Berdasarkan atas hak tersebut maka telah diterbitkan SPS Agreement yang menjadi
lampiran dari GATT 1994, dan bagian yang tidak dipisahkan dengan GATT 1994. SPS
Agreement pada intinya mengatur terbatas pada tindakan SPS.
Perlu
diuraikan bahwa pada dasarnya tindakan pengamanan yang dilakukan untuk
melindugi kesehatan tidak kesemuanya diatur didalam SPS Agreement. Berdasarkan
Lampiran A, Angka 1, disebutkan secara terbatas, tindakan apa yang diatur
didalam SPS Agreement, yaitu :
1.
Tindakan yang
ditujukan untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia atau hewan dari
kandungan resiko dalam makanan;
2.
Tindakan yang
ditujukan untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, hewan atau tumbuhan
dari resiko hama atau penyakit.
Perlu
disebutkan bahwa tindakan di atas dikhususkan untuk melindungi kehidupan dan
kesehatan manusia, hewan dan tanaman didalam wilayah suatu negara dikecualikan
terhadap tindakan yang dilakukan di wilayah ekstra-teritorial. Latar belakang
dari diaturnya tindakan SPS didalam SPS Agreement adalah diaturnya masalah
larangan perdagangan produk untuk melindungi kesehatan didalam GATT 1947,
dimana didalam Pasal XX diatur pengecualian atas aturan didalam GATT 1947, yang
dapat dilakukan oleh negara anggota berdasarkan kedaulatannya untuk melindungi
kehidupan dan kesehatan manusia, hewan serta tanaman. Pembatasan dari tindakan
yang dapat dilakukan oleh negara anggota di atas adalah pelaksanaan dari
tindakan tersebut tidak menjadi alat untuk
melakukan diskriminasi yang atas negara anggota lain dengan cara yang tidak
dibenarkan dan subyektif atau pembatasan
perdagangan yang terselubung.
SPS
agreement memperbolehkan negara anggota untuk menerapkan kebijakannya sendiri
untuk menentukan standar kesehatan atau tindakan yang dapat dilakukan untuk
mengamankan produk pangannya ataupun atas hewan dan tanaman didalam wilayahnya.
Dalam melakukan haknya tersebut didalam Pasal 2 Ayat 2 SPS Agreement negara
anggota wajib memastikan bahwa
setiap tindakan-tindakan SPS didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah yang sesuai
dengan standar internasional.
SPS Agreement secara garis besar mengatur beberapa hal
yang harus dipatuhi oleh negara anggota dalam hal membentuk peraturan untuk
perlindungan terhadap kesehatan dan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan
didalam wilayahnya, hal – hal utama yang di atur didalam SPS Agreement dalam
hal ini adalah:
1.
Scientific Validation
(Kepastian secara ilmiah)
Pasal 2 dari SPS
Agreement mengatur bahwa anggota WTO memiliki hak untuk mengadopsi tindakan SPS
untuk memenuhi tingkat kesehatan yang diatur didalam wilayahnya. Hal tersebut
disebut juga ALOP (Appropriate Level of Protection) atau tingkat resiko yang
dapat diterima. Dalam menerapkan hal tersebut maka negara anggota wajib
mendasarkan penilaian kesehatan akan suatu produk dengan menggunakan prinsip
ilmiah, sehingga hasilnya dapat dibuktikan secara ilmiah, pengecualian atas hal
ini adalah dengan menggunakan penelitian ilmiah atas resiko.
2.
Harmonization
(Harmonisasi) – Mendasarkan tindakan yang dilakukan sesuai dengan standar
internasional
Pasal 3 SPS Agreement
menyebutkan bahwa SPS Agreement mendorong negara anggota untuk mendasarkan
tindakan yang dilakukan pada standar, panduan, dan rekomendasi internasional
dalam hal tindakan tersebut diatur secara internasiona. Hal ini memfasilitasi
penyeragaman atau pembentukan, pengakuan dan penerapan dari ketentuan SPS, dari
negara anggota yang berbeda. Dengan penyeragaman dengan standar internasional,
ketahanan pangdan dan perlindungan kesehatan atas hewan serta tanaman akan
terwujud dengan tanpa melakukan pembatasan perdagangan yang berlebihan.
3.
Pelaksanaan Tindakan
SPS dengan Tidak Menggunakan Standar Internasional
Negara anggota tidak
kecualikan untuk menggunakan standar internasional dalam melakukan tindakan SPS
dalam hal tidak terdapat standar internasional atas tindakan yang akan
dilaksanakannya atau penelitian dengan tanpa menggunakan standar internasionak
tersebut ditujukan untuk dapat lebih melindungi kesehatan daripada penelitian
yang dilakukan dengan standar internasional. Berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 5
SPS Agreement, negara anggota dapat menerapkan tindakan SPS yang lebih ketat
daripada standar internasional terkait atau menerapkan tindakan SPS sendiri,
karena tidak standar internasional atas tindakan tersebut, tindakan tersebut
dibatas pada:
a.
Harus didasarkan pada
penelitian ilmiah atas resiko;
b.
Dipergunakan secara
terus menerus atas kasus yang sama;
c.
Tidak membatasi
perdagangan lebih dari yang diperlukan.
4.
Consistency
Persyaratan
konsistensi berdasarkan Pasal 5.5 SPS Agreement adalah negara anggota harus
menghindari perbedaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan yang mengakibatkan
adanya diskriminasi atau pembatasan perdagangan internasional yang terselubung.
5.
Pembatasan yang
sesuai (Not More Trade Restrictive than Necessary)
Pasal 5.6 SPS
Agreement, mensyarakatkan negara anggota untuk menerapkan tindakan yang tidak melebihi pembatasan
perdagangan yang diperlukan untuk mendapatkan tingkat perlindungan yang sesuai.
Hal ini menunjukan ketika negara anggota menggunakan alternatif tindakan (tidak
menggunakan standar internasional) untuk mencapai tingkat perlindungan yang
tepat, pemerintah didalam negara anggota harus menerapkan tindakan pembatasan
perdagangan yang tepat (tidak berlebihan).
6.
Tindakan Pendahuluan
(Provisional Measures)
Tindakan pendahuluan
di atur didalam Pasal 5.7 SPS Agreement yang memperbolehkan pelaksanaan
tindakan pendahuluan ketika tidak ada bukti ilmiah yang mencukupi untuk
menetapkan keputusan yang final atas keamanan dari suatu barang atau proses.
Dalam hal ini di atur dalam melakukan hal ini maka negara anggota diwajibkan
untuk mencari informasi tambahan yang diperlukan untuk penelitian resiko yang
lebih obyektif dan mengevaluasi kembali dalam jangka waktu yang cukup tindakan
SPS yang telah dilaksanakan.
7.
Keseimbangan – ketika
tindakan yang berbeda satu sama lain menghasilkan tingkat perlindungan
kesehatan yang sama
Pasal 4 SPS Agreement
mengatur bahwa dimungkinkan melakukan beberapa tindakan SPS yang menghasilkan
tingkat pengamanan yang sama. Berdasarkan atas hal tersebut negara yang
mengimport produk berkewajiban untuk melaksanakan tindakan tersebut bilamana
tindakan tersebut akan mencapai tingkat perlindungan yang sama.
8.
Regionalisasi –
Menyesuaikan tindakan SPS dengan kondisi regional
Hal tersebut terkait
dengan wilayah, dimana negara anggota yang akan melakukan tindakan SPS,
diwajibkan menelaah terlebih dahulu
keadaan didalam wilayah tersebut dalam hal hanya beberapa daerah yang terbukti
produknya membahayakan , bilamana hasil penelaahan tersebut hanya beberapa
wilayah yang terbukti memproduksi barang yang mengandung ancaman bagi
kesehatan.
9.
Kontrol, Inspeksi dan
Prosedur Persetujuan
Lampiran C dari SPS
Agreement menyaratkan dalam prosedur uji coba dan inspeksi untuk menerapkan
tindakan SPS tidak menjadi hambatang atas perdaganagn internasional.
Bilamana
dilihat dari aturan – aturan umum di atas maka SPS Agreement mencoba membatasi
tindakan negara dalam melakuan tindakan SPS, dimana disebutkan oleh Van den Bossche
bahwa tindakan SPS merupakan tindakan yang dapat merupakan hambatan bagi
pelaksanaan perdagagan bebas, akan tetapi sekaligus merupakan kewajiban politik
dari pemerintah yang berkuasa untuk melindungi kesehatan warga negaranya,
berdasarkan atas hal tersebut maka dibentuklah SPS Agreement, yang
mengecualikan pelaksanaan hambatan perdagangan dalam hal perlindungan kesehatan
manusia, hewan dan tanaman didalam wilayahnya. Tindakan atau aturan yang
dibentuk harus sesuai dengan ketentuan yang terdapat didalam SPS Agreement.
C. Penerapan
Bioterrorism Act oleh Amerika Serikat dan Kesesuaiannya dengan SPS Agreement
Sejak peristiwa 11 September 2001,
yang menghancurkan gedung kembar World Trade Center dan Pentagon serta korban
jiwa dengan jumlah yang sangat besar di Amerika Serikat, pemerintah Amerika
Serikat mulai memperketat pengamanan negaranya dari ancaman teroris. Pengamanan
yang dilaksanakan oleh Amerika Serikat tidak hanya dalam kaitannya dengan
pengawasan pihak keamanan terhadap orang asing yang berkunjung ke Amerika
Serikat tapi juga pada jenis pangan yang dianggap secara sengaja diimport
kedalam wilayah Amerika Serikat dengan keadaan yang sedemikian rupa sehingga dapat
membahayakan kesehatan manusia.
Pemerintah
AS telah menandatangani Public
Health Security and Bioterrorism Preparedness and Response Act (Bioterrorism
Act) pada tanggal 12 Juni 2002. Rancangan peraturan tersebut
memberikan kewenangan kepada FDA (Food
and Drug Administration) untuk mengambil aksi guna melindungi persediaan
pangan di Amerika Serikat dari gangguan kontaminasi baik yang disengaja maupun
tidak disengaja dan hal-hal terkait dengan keadaan darurat kesehatan masyarakat
yang terkait dengan masalah pangan[10].
Berkaitan dengan pelaksanaaan Bioterrorism
Act tersebut, pada tanggal 10 Oktober 2003 FDA telah mengeluarkan
dua (2) peraturan yang berkaitan dengan Registrasi Masalah Pangan (Section 305)
dan Pemberitahuan Dini Importasi Pangan (Section 305). Status kedua peraturan
tersebut adalah Interim
Final Rules yang berarti bahwa ketentuan tersebut tetap akan
berlaku seperti jadwal semula yaitu 12 Desember 2003, namun FDA masih akan
menerima tanggapan atas beberapa isu khusus terkait dari pihak-pihak terkait
baik didalam negeri AS sendiri maupun masyarakat internasional di luar AS
sebelum final rules dipublikasikan.
Batas waktu pemberian tanggapan adalah hingga 24 Desember 2003. Pemberian
kelonggaran waktu bagi FDA tersebut adalah untuk memperhatikan
tanggapan-tanggapan dari para praktisi sehingga dapat mengurangi gangguan
perdagangan.
Kedua
interim final
regulations tersebut adalah berbeda dengan usulan peraturan yang
telah dipublikasikan pada bulan Febuari 2003 sebagai akibat dari masukan para
mitra dagang dari seluruh dunia. Kedua peraturan tersebut mengatur prosedur
baru bagi perusahaan asing yang mengekspor makanan, pakan dan ternak hidup ke
AS. Fasilitas pangan baik domestik maupun asing yang memproduksi, memproses,
mengemas, atau menyimpan pangan atau pakan ke AS harus mendaftar ke AS sebelum
12 Desember 2003.
Bagi
fasilitas asing, registrasi harus mencantumkan nama seorang agen di AS. Agen
yang dimaksud adalah seseorang yang tinggal di AS atau yang melakukan bisnis di
AS dan ditunjuk oleh fasilitas asing sebagai agennya di AS. Agen tersebut
adalah individual / seseorang yang mencakup importir, custom brokers, atau
lainnya dimana fasilitas asing telah menjalin hubungan bisnis. Agen yang berada
di AS tersebut wajib melakukan registrasi fasilitas asing mitra dagangnya
apabila mendapat otoritas dari fasilitas yang bersangkutan.
Registrasi
dapat dilakukan secara elektronis (faximil), melalui internet, atau melalui,
atau melalui pengisian kertas formulir yang kemudian dikirim melalui pos.
Registrasi ganda (multiplie)
dari sebuah perusahaan yang sama dapat dilakukan dengan menyerahkan form isian
dalam bentuk CD ROM. Registrasi ini tidak dipungut biaya. FDA merencanakan
untuk mulai menerima registrasi melalui internet pada tangal 16 Oktober 2003
(17 Oktober 2003) waktu Indonesia.
Akta
Bioterorisme ini memberikan kewenangan kepada FDA untuk menahan pangan dari
fasilitas asing yang tidak terdaftar di pelabuhan masuk kecuali FDA mengarahkan
pangan tersebut disimpan pada suatu tempat yang aman. Ketika pangan tersebut
dipindahkan, pihak swasta yang terlibat harus mengatur pemindahan barangnya dan
memberitahukan kepada FDA tentang lokasi penyimpanan yang baru dan bertanggung
jawab terhadap setiap biaya yang ditimbulkan dalam pemindahan dan penyimpanan
bahan pangan tersebut. FDA akan segera mengumumkan rancangan penegakan hukum
terhadap aturan ini.
Peraturan
kedua mensyaratkan jika pemberitahuan dini (prior
notice) harus diterima FDA sebelum pangan tersebut diimpor atau
direncanakan untuk diimpor ke AS. Hal tersebut dapat memberikan informasi awal
bagi FDA untuk lebih efektif mentargetkan inspeksi terhadap pengiriman yang
dicurigai untuk menjamin keamanan produk pangan impor sebelum barang tersebut
masuk kedalam pasar lokal di AS.
Beberapa
perubahan jangka waktu pemberitahuan dini telah dibuat dalam interim final rules ini
untuk meminimalkan gangguan perdagangan. Pemberitahuan dini wajib diterima dan
dikonfirmasikan secara elektronis oleh FDA dalam jangka waktu kertentu
tergantung dari tipe cara penyampaian (udara, laut, darat, kereta api atau
surat internasional). Pemberitahuan dini wajib diterima dan dikonfirmasikan
kepada FDA tidak lebih dari 5 hari sebelum barang datang (kecuali yang dengan
surat), tidak kurang dari 2 jam bagi barang yang diangkut melalui darat, 4 jam
sebelum barang tiba melalui udara atau kereta api, 8 jam sebelum untuk yang
diangkut melalui laut dan sebelum pengapalan bagi barang yang datang melalui
surat internasional.
Sebelum 12 Maret
2004, FDA akan segera menerbitkan rencana untuk mengurangi jangka waktu dalam
pemberitahuan dini. Prior
notice harus diserahkan secara elektronis melalui Bureau of Customs and Border
Protection's Automated System (ABI
/ ACS) atau FDA's
Prior Notice Interface System. Sistem FDA adalah berbasis internet
sehingga akan beroperasi 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu. Aturan ini
akan dinotifikasikan ke World
Trade Organization (WTO).
FDA
baru-baru ini telah menyelesaikan
risk assessment kualitatif terhadap dampak dan kerawanan yang
ditimbulkan dalam sistem pasokan pangan di AS apabila terjadi sebuah aksi
terorisme. Hasil assessment tersebut akan dipublikasikan. Pemerintah AS
berencana untuk melakukan sosialiasi aturan ini secara besar-besaran. Pada 28
Oktober 2003, akan diadakan penjelasan oleh pejabat senior AS yang dapat
diikuti melalui siaran satelit.
D. Kesesuaian Bioterrorims Act dengan Agreement on The Application of Sanitary and
Phytosanitary Measures
Pembentukan Bioterrorism Act di
Amerika didasarkan pada hak yang diberikan oleh GATT 1994, yang mana disebutkan
didalam Pasal XX, GATT 1994 yang menyatakan:
Article
XX
General Exceptions
Subject to the requirement that such
measures are not applied in a manner which would constitute a means of
arbitrary or unjustifiable discrimination between countries where the same
conditions prevail, or a disguised restriction on international trade, nothing
in this Agreement shall be construed to prevent the adoption or enforcement by
any contracting party of measures: …
(b)
necessary to protect human, animal or
plant life or health;
Berdasarkan
atas hal tersebut maka Amerika Serikat memiliki kewenangan untuk melakukan
tindakan untuk menghambat masuknya produksi dari negara anggota WTO yang lain,
dalam hal produksi tersebut dapat membahayakan kesehatan dan kehidupan masyarakat,
hewan dan tanaman[11].
Pelaksanaan dari hak yang diberikan didalam Pasal XX GATT 1994 dilakukan dengan
persyaratan yang di atur didalam SPS Agreement. Syarat – syarat yang harus
dipenuhi untuk menerapkan tindakan SPS oleh suatu negara secara umum menurut
SPS Agreement adalah[12]:
1.
Scientific Validation
(Kepastian secara ilmiah)
2.
Harmonization
(Harmonisasi) – Mendasarkan tindakan yang dilakukan sesuai dengan standar
internasional
3.
Pelaksanaan Tindakan
SPS dengan Tidak Menggunakan Standar Internasional
4.
Konsisten
(Consistency)
5.
Pembatasan yang
sesuai (Not More Trade Restrictive than Necessary)
6.
Tindakan Pendahuluan
(Provisional Measures)
7.
Keseimbangan – ketika
tindakan yang berbeda satu sama lain menghasilkan tingkat perlindungan
kesehatan yang sama
8.
Regionalisasi –
Menyesuaikan tindakan SPS dengan kondisi regional
Kewajiban
untuk mendasarkan tindakan SPS untuk perlindungan kesehatan masyarakat oleh
negara anggota, atas standar internasional, akan tetapi bilamana atas tindakan
tersebut ataupun penentuan dasar untuk melaksanakan tindakan tersebut tidak
terdapat standar internasional yang dapat menjadi acuan maka suatu negara yang akan
menerapkan tindakan SPS kepada negara lain harus mendasarkan tindakannya pada :
1 based
on scientific risk assessment (didasarkan pada penilaian resiko);
2 consistently
applied (dipergunakan secara konsisten)
3 not
more trade restrictive than necessary (tidak lebih dari hambatan perdagangan
yang diperlukan).
Perlu
diketahui bahwa Bioterrorism Act yang dibentuk oleh Amerika Serikat tidak
mensyaratkan adanya hal tersebut di atas, walaupun alasan tidak digunakannya
standar internasional dapat dibenarkan mengingat, istilah bioterrorism sendiri
yang merupakan hal yang baru, dimana dapat diartikan serangan teroris secara
biologi hal mana telah terjadi tidak hanya di Amerika Serikat tapi dinegara
lain, contohnya adalah Kelompok teroris di negara
Jepang yang menebarkan spora bakteri antraks yang dicampur gas penekan saraf
sarin di dalam gerbong-gerbong kereta api cepat bawah tanah (subway) di Tokyo
tahun 1993. Selain terorisme, kelompok sekte pengikut Bhagwan Shree Rajneesh
juga telah menggunakan bakteri Salmonella guna melakukan gerakan bunuh diri
massal, dengan menyuntikkan bakteri ini pada 750 orang pengikut sekte tersebut
di Oregon tahun 1984.
Didalam
Bioterrorism Act Title III, tidak terdapat hal yang secara jelas mengatur
tentang pelaksanaan dari Risk Assesment, dan konsistensinya. Berdasarkan atas
hal tersebut memang Amerika Serikat pada 28 Oktober 2003 telah dilaksanakan
publikasi atas Risk Assesment yang akan diterapkan didalam tindakan
perlindungan yang akan dilaksanakan berdasarkan pada Bioterrorism Act. Hal
tersebut disebutkan dalam tanggapan atas pembentukan Bioterrorism Act oleh
European Commission:
“The European Communities fully share the US aim to provide
measures to ensure an effective control of the food and feed chain, namely
deriving from the terrorist threat. It is noted, also, that there is no risk
assessment provided in relation to the proposed measures as requested by the
SPS Agreement[13].”
Permasalahan
yang juga akan disebutkan disini adalah tentang prinsip “not more trade restrictive than necessary,” dimana pelaksanaan dari
Bioterrorism Act akan mengakibatkan biaya – biaya yang sangat besar dan
kesulitan bagi pengusaha – pengusaha dari luar Amerika Serikat sehingga akan
dapat menghambat masuknya produksi ke Amerika Serikat. Selayaknya sebagaimana
disebutkan didalam Pasal 5 ayat 3 dan 4
SPS Agreement:
1 In
assessing the risk to animal or plant life or health and determining the
measure to be applied for achieving the appropriate level of sanitary or
phytosanitary protection from such risk, Members shall take into account as
relevant economic factors: the potential
damage in terms of loss of production or sales in the event of the entry,
establishment or spread of a pest or disease;
the costs of control or eradication in the territory of the importing
Member; and the relative
cost-effectiveness of alternative approaches to limiting risks.
2 Members
should, when determining the appropriate level of sanitary or phytosanitary
protection, take into account the objective of minimizing negative trade effects.
Terjemahan
bebas:
1.
Dalam menaksir risiko bagi kehidupan dan kesehatan hewan
maupun tanaman dan menetapkan tindakan yang harus diterapkan untuk mencapai
tingkat perlindungan kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan yang layak
terhadap risiko itu, Para Anggota harus memperhatikan faktor-faktor ekonomi
yang relevan seperti : kerugian potensial berupa rugi dalam produksi atau
penjualan apabila hama atau penyakit timbul, berkembang atau menyebar; biaya
pengendalian atau pembasmian dalam wilayah Anggota pengimpor; dan aspek manfaat
relatif terhadap biaya dari berbagai pilihan pendekatan untuk membatasi risiko.
2.
Para Anggota harus, jika menentukan tingkat perlindungan
kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan yang layak, memperhatikan tujuan
memperkecil dampak negatif terhadap perdagangan.
Penerapan Title
III, Bioterrorism Act, yang menyebutkan harus adanya pendaftaran para
importir barang yang akan memasukan barang ke Amerika Serikat dan juga
penerapan atas karantina yang hanya berdasarkan atas pihak yang dianggap
berwenang, dimana karantina akan di dilakukan dengan biaya dari eksportir.
Permasalahan juga timbul ketika adanya kewajiban pemberitahuan dini yang harus
dilakukan oleh eksportir. Proses atau penerapan dari hal ini akan menghambat
masuknya barang dari negara importir ke Amerika Serikat, yang dimungkin akan
merugikan bagi pihak eksportir. Selayaknya Amerika Serikat mendasarkan proses
pendaftaran dan pemeriksaan dini sesuai dengan Pasal 5 ayat 3, dimana menilai
dari keadaan atau wilayah dari importir dan dampak tindakan SPS tersebut
terhadap industri dari eksportir.
Pemeriksaan dan pendaftaran hanya dilaksanakan oleh pihak
FDA bagi pihak asing, dimana untuk industri Amerika Serikat tidak dilaksanakan
pendaftaran tersebut, yang selayaknya berdasarkan SPS Agreement Amerika Serikat
juga harus melaksanakan tindakan SPS kepada industri dalam negerinya.
E.
Kesimpulan
Berdasarkan atas
penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Bioterrorism Act yang
diterapkan oleh Amerika Serikat harus sesuai dengan aturan umum yang ada
didalam SPS Agreement. Pelaksanaan dari Bioterrorism harus dilakukan dengan
pelaksanaan dari penelaahan tentang dampak atas pelaksanaan tindakan SPS
tersebut kepada negara yang dikenakan tindakan SPS. Bioterrorism Act harus
dilakukan dengan Risk Assesment yang dilaksanakan secara konsisten. Penerapan
harus dilakukan bagi semua produsen barang baik dari pihak asing maupun dalam
negeri. Berdasarkan atas hal tersebut Amerika Serikat telah melanggar prinsip
umum yang terdapat didalam SPS Agreement, yaitu:
SPS Agreement secara garis besar mengatur beberapa hal
yang harus dipatuhi oleh negara anggota dalam hal membentuk peraturan untuk
perlindungan terhadap kesehatan dan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan
didalam wilayahnya, hal – hal utama yang di atur didalam SPS Agreement dalam
hal ini adalah:
1.
Scientific Validation
(Kepastian secara ilmiah)
Pasal 2 dari SPS
Agreement mengatur bahwa anggota WTO memiliki hak untuk mengadopsi tindakan SPS
untuk memenuhi tingkat kesehatan yang diatur didalam wilayahnya. Hal tersebut
disebut juga ALOP (Appropriate Level of Protection) atau tingkat resiko yang
dapat diterima. Dalam menerapkan hal tersebut maka negara anggota wajib
mendasarkan penilaian kesehatan akan suatu produk dengan menggunakan prinsip
ilmiah, sehingga hasilnya dapat dibuktikan secara ilmiah, pengecualian atas hal
ini adalah dengan menggunakan penelitian ilmiah atas resiko.
2.
Harmonization
(Harmonisasi) – Mendasarkan tindakan yang dilakukan sesuai dengan standar
internasional
Pasal 3 SPS Agreement
menyebutkan bahwa SPS Agreement mendorong negara anggota untuk mendasarkan
tindakan yang dilakukan pada standar, panduan, dan rekomendasi internasional
dalam hal tindakan tersebut diatur secara internasiona. Hal ini memfasilitasi
penyeragaman atau pembentukan, pengakuan dan penerapan dari ketentuan SPS, dari
negara anggota yang berbeda. Dengan penyeragaman dengan standar internasional,
ketahanan pangdan dan perlindungan kesehatan atas hewan serta tanaman akan
terwujud dengan tanpa melakukan pembatasan perdagangan yang berlebihan.
3.
Pelaksanaan Tindakan
SPS dengan Tidak Menggunakan Standar Internasional
Negara anggota tidak
kecualikan untuk menggunakan standar internasional dalam melakukan tindakan SPS
dalam hal tidak terdapat standar internasional atas tindakan yang akan
dilaksanakannya atau penelitian dengan tanpa menggunakan standar internasionak
tersebut ditujukan untuk dapat lebih melindungi kesehatan daripada penelitian
yang dilakukan dengan standar internasional. Berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 5
SPS Agreement, negara anggota dapat menerapkan tindakan SPS yang lebih ketat
daripada standar internasional terkait atau menerapkan tindakan SPS sendiri,
karena tidak standar internasional atas tindakan tersebut, tindakan tersebut
dibatas pada:
d.
Harus didasarkan pada
penelitian ilmiah atas resiko;
e.
Dipergunakan secara
terus menerus atas kasus yang sama;
f.
Tidak membatasi
perdagangan lebih dari yang diperlukan.
4.
Consistency
Persyaratan
konsistensi berdasarkan Pasal 5.5 SPS Agreement adalah negara anggota harus
menghindari perbedaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan yang mengakibatkan
adanya diskriminasi atau pembatasan perdagangan internasional yang terselubung.
5.
Pembatasan yang
sesuai (Not More Trade Restrictive than Necessary)
Pasal 5.6 SPS
Agreement, mensyarakatkan negara anggota untuk menerapkan tindakan yang tidak melebihi pembatasan
perdagangan yang diperlukan untuk mendapatkan tingkat perlindungan yang sesuai.
Hal ini menunjukan ketika negara anggota menggunakan alternatif tindakan (tidak
menggunakan standar internasional) untuk mencapai tingkat perlindungan yang
tepat, pemerintah didalam negara anggota harus menerapkan tindakan pembatasan
perdagangan yang tepat (tidak berlebihan).
6.
Tindakan Pendahuluan
(Provisional Measures)
Tindakan pendahuluan
di atur didalam Pasal 5.7 SPS Agreement yang memperbolehkan pelaksanaan
tindakan pendahuluan ketika tidak ada bukti ilmiah yang mencukupi untuk
menetapkan keputusan yang final atas keamanan dari suatu barang atau proses.
Dalam hal ini di atur dalam melakukan hal ini maka negara anggota diwajibkan
untuk mencari informasi tambahan yang diperlukan untuk penelitian resiko yang
lebih obyektif dan mengevaluasi kembali dalam jangka waktu yang cukup tindakan
SPS yang telah dilaksanakan.
7.
Keseimbangan – ketika
tindakan yang berbeda satu sama lain menghasilkan tingkat perlindungan
kesehatan yang sama
Pasal 4 SPS Agreement
mengatur bahwa dimungkinkan melakukan beberapa tindakan SPS yang menghasilkan
tingkat pengamanan yang sama. Berdasarkan atas hal tersebut negara yang
mengimport produk berkewajiban untuk melaksanakan tindakan tersebut bilamana
tindakan tersebut akan mencapai tingkat perlindungan yang sama.
8.
Regionalisasi –
Menyesuaikan tindakan SPS dengan kondisi regional
Hal tersebut terkait
dengan wilayah, dimana negara anggota yang akan melakukan tindakan SPS,
diwajibkan menelaah terlebih dahulu
keadaan didalam wilayah tersebut dalam hal hanya beberapa daerah yang terbukti
produknya membahayakan , bilamana hasil penelaahan tersebut hanya beberapa
wilayah yang terbukti memproduksi barang yang mengandung ancaman bagi
kesehatan.
9.
Kontrol, Inspeksi dan
Prosedur Persetujuan
Lampiran C dari SPS
Agreement menyaratkan dalam prosedur uji coba dan inspeksi untuk menerapkan
tindakan SPS tidak menjadi hambatang atas perdaganagn internasional.
[1] H.S. Kartadjoemena, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round (Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1997), hal. 3.
[2] Agus Brotosusilo, Dampak Yuridis, Pertimbangan Ekonomis Dan
Cakrawala Sosiologis Ratifikasi “Agreement Establishing The World Trade
Organization” Oleh Indonesia (Makalah disampaikan dalam Kuliah Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 2007 – 2008), hal. 2.
[3] World
Trade Organization, GATT 1994 - Agreement On The
Application Of Sanitary And Phytosanitary Measures, Annex A Paragraph 1.
[4] Ibid., Article 2.1.
[5] European Communities, Comments sent by the European
Commission on implementing rule of US Bioterrorism Act, 4 April 2003.
[6] Ibid.
[7] Peter Van den Bossche, The Law and Policy of the World Trade
Organization – Text, Cases and Material, (United States of America: Cambridge
University Press, New York, 2007), hlm. 457.
[8] Pusat
Standardisasi Dan Akreditasi Setjen - Departemen Pertanian, Sidang Komite
SPS XXVI (diterbitkan dalam Infomutu Edisi April 2003 - Berita Standardisasi
Mutu dan Keamanan Pangan), (April 2003): 6.
[9] Van den Bossche, op. cit., hlm. 462.
[10] Amerika
Serikat, Public Health Security And Bioterrorism Preparedness And Response Act
Of 2002, (Public Law 107–188—Juni 12, 2002)
[11] World Trade Organization, op. cit., Art. XXb.
[12] Edward A. Evans, Understanding the WTO Sanitary and
Phytosanitary Agreement, (Florida: the Department of Food and Resource Economics, Florida
Cooperative Extension Service, UF/IFAS, University of Florida, Gainesville, FL,
2004)
[13] World Trade
Organization, Comments
sent by the European Commission on implementing rule of US Bioterrorism Act
Registration of Food Facilities, (Jenewa: 4 April 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar