ANALISIS LARANGAN PERSAINGAN USAHA TIDAK
SEHAT MELALUI HUBUNGAN VERTIKAL PELAKU USAHA (PERJANJIAN DISTRIBUSI BARANG)
Oleh: Eko Prilianto Sudradjat[1]
A. PENDAHULUAN
Pasar di mana terdapat pelaku usaha yang
memiliki posisi dominan, maka sistem distribusi pelaku usaha tersebut menjadi
penting dan harus menjadi perhatian hukum persaingan. Posisi dominan yang
dimiliki oleh suatu pelaku usaha mengindikasikan lemahnya tekanan persaingan
dari pelaku usaha lain (inter-brand
competition) pada pasar tersebut. Pada kondisi tersebut persaingan terjadi
di dalam merek yang sama (intra-brand
competition), sehingga harus dijaga agar konsumen tidak dirugikan atau
kehilangan kebebasannya dalam menentukan pilihannya[2].
Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Larangan
Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Persaingan Usaha) menganut dua asas yaitu per se illegal dimana apabila dalam
suatu aktivitas perdagangan terdapat
jelas maksud atau tujuannya yang mempunyai
akibat merusak persaingan maka hakim tidak perlu harus mempermasalahkan masuk akal atau tidaknya
dari peristiwa yang sama (analogi) sebelum menentukan bahwa peristiwa yang
tersebut merupakan pelanggaran
hukum persaingan dan rule of reason (Menyatakan suatu
perbuatan dituduh melanggar hukum persaingan, maka pencari fakta harus
mempertimbangkan dan menentukan apakah
perbuatan tersebut menghambat persaingan dengan menunjukkan akibatnya terhadap
proses persaingan dan apakah perbuatan
itu tidak adil atau mempunyai pertimbangan lainnya) dalam mengawasi persaingan
usaha di Indonesia.
Distribusi adalah cara untuk menjual suatu
produk perusahaan kepada konsumennya. Perusahaan memiliki dua pilihan untuk
menangani proses distribusi, yaitu[3]:
1.
Ekspansi internal dengan membentuk unit distribusi sebagai
bagian dari perusahaan;
2.
Bekerjasama dengan pihak lain untuk mendistribusikan barang yang
diproduksinya.
Permasalahan persaingan usaha akan terjadi
didalam cara distribusi kedua, dimana perusahaan produksi menyerahkan
distribusi kepada pihak lain.
di European Commnunity (EC), perjanjian
distribusi dapat menjadi perjanjian yang dilarang, dan merupakan persaingan
usaha tidak sehat, keadaan persaingan usaha tidak sehat dianggap timbul, ketika
produk yang didistribusikan (bukan pangsa pasar distributornya)[4] di
atas 30 (tiga puluh) % pada pasar bersangkutan[5].
Disebutkan di atas maka, dapat
terjadi didalam dua kondisi, yaitu:
1. Hambatan yang terjadi secara horizontal
dimana hubungan antara pelaku dengan pelaku pesaingnya yang sejajar terjadi
dalam suatu industri yang sama, umumnya paling sering bersifat anti persaingan;
2. Hambatan secara vertical Hubungan antara
pelaku dengan pelaku usaha yang merupakan suatu jaringan proses produksi, biasa
terjadi antara produser dengan distributor.
Pada dasarnya dalam dunia bisnis, upaya
untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya merupakan perilaku yang
wajar, akan tetapi langkah-langkah yang diambil untuk mencapai tujuan tersebut
harus tetap dalam koridor yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
B. PERJANJIAN DISTRIBUSI DAN KEAGENAN
Di dalam hukum persaingan dikenal beberapa jenis perjanjian
mengenai pemasaran, yang dikecualikan dari penerapan UU Persaingan Usaha,
sepanjang perjanjian pemasaran tersebut tidak menghambat persaingan, yaitu
perjanjian pemasaran eklusif, sistem pemasaran yang selektif dan perjanjian waralaba (franchise). Belum lama ini PT Indofood mengembangkan bisnis distribusi
eceran lewat Tokcer (Toko Eceran), dan Warokah (Warung Barokah).
Satu unit gerai Tokcer diperhitungkan membutuhkan investasi
sekitar Rp 10-50 juta. Sedangkan Warokah membutuhkan investasi sekitar Rp 5-10
juta. Dengan demikian Indomaret dan Alfa akan mendapat pesaing baru.
Kemungkinan pola pemasarannya menggunakan sistem waralaba.
Perjanjian pemasaran eklusif adalah perjanjian antara produsen
dengan agen, di mana melalui perjanjian tersebut pemasok wajib memasok barang
atau jasa ke wilayah tertentu untuk dijual kembali. Pemasaran selektif adalah
suatu pengertian organisasi penjualan, di mana produsen membatasi diri hanya
kepada pemasok tertentu di dalam wilayah tertentu. Sedangkan waralaba adalah
suatu sistem pemasaran yang vertikal, di mana pemberi waralaba mengalihkan
konsep waralabanya kepada penerima waralaba dengan sejumlah pembayaran royalty fee. Ketiga sistem pemasaran ini
di dalam hukum persaingan eropa dikecualikan.
Sementara di dalam hukum persaingan Indonesia perjanjian eksklusif
dan pemasaran selektif tidak dikecualikan secara jelas, bahkan ketentuan pasal
15 ayat 1 dan 2 melarangnya. Pasal 15 ayat 1 menetapkan, bahwa pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan,
bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak
memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau
pada tempat tertentu.
Pelaku usaha dalam hal ini dilarang membuat perjanjian dengan
distributor yang memuat persyaratan bahwa hanya pihak tertentu yang menerima
atau tidak menerima barang dan hanya pada tempat tertentu saja. Hal ini
menetapkan dua pembatasan, yaitu bahwa pelaku usaha tidak hanya terbatas
kebebasannya memilih distributor, tetapi juga dilarang menugaskan distributor
tersebut memasok barang pada tempat tertentu saja.
Sementara di dalam pasal 50 huruf d dikecualikan perjanjian
keagenan, yaitu perjanjian dalam rangka keagenan dikecualikan yang isinya tidak
memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang
lebih rendah dari pada harga yang telah diperjanjikan. Artinya keagenan
diizinkan asalkan tidak menjual barang di bawah harga yang ditetapkan. Tetapi
di sini terdapat penetapan harga.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka sebelum melihat perjanjian
distribusi yang dapat merupakan kegiatan persaingan usaha tidak sehat sesuai
dengan UU Persaingan Usaha, maka harus dibedakan terlebih dahulu perjanjian –
perjanjian pemasaran lainnya yang mungkin dikecualikan didalam UU Persaingan
Usaha.
Salah satu perjanjian pemasaran yang tidak dilarang didalam UU
Persaingan Usaha adalah keagenan. Berdasarkan penelaahan di atas, maka terdapat
beberapa jenis perjanjian pemasaran, dimana untuk keagenan di kecualikan,
sebagai perjanjian yang dapat menimbulkan monopoli atau persaingan usaha tidak
sehat.
Perbedaan distributor dan keagenan sangatlah penting, terutama
dari sisi UU Persaingan Usaha yang mana mengecualikan perjanjian keagenan yang
didalamnya tidak memiliki klausul Resale
Price Maintenance sebagaimana disebutkan di dalam pasal 50 huruf d UU Persaingan Usaha, dimana perjanjian
keagenan, dapat dikecualikan dalam hal perjanjian keagenan tersebut, tidak mengatur
ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih
rendah dari pada harga yang telah diperjanjikan (Resale Price
Maintenance).
Di dalam UU
Persaingan Usaha tidak mengatur secara tegas apa yang disebut dengan
distributor atau agen, sehingga dimungkinkan dalam prakteknya terdapat
perjanjian – perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha yang ternyata memiliki
akibat – akibat hukum seperti didalam suatu perjanjian keagenan.
Di Indonesia,
peraturan yang menjelaskan kedua jenis kegiatan pemasaran di atas adalah di
dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan Dan Tata Cara
Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran
Agen Atau Distributor Barang Dan/Atau Jasa (Permendag)[6].
Di dalam Permendag disebutkan distributor merupakan suatu pihak yang bertindak
untuk dan atas namanya sendiri, melakukan pembelian, penyimpanan, penjualan
serta pemasaran barang atau jasa yang dimiliki atau dikuasai. Sedangkan pihak yang disebut
sebagai agen adalah pihak – pihak yang bertindak sebagai perantara untuk dan
atas nama prinsipal, melakukan
pemasaran tanpa melakukan pemindahan hak fisik atas barang atau jasa yang
dimiliki atau dikuasai oleh prinsipal yang menunjuknya[7].
Definisi
dari distributor dan agen disebutkan juga didalam Guideline on Vertical Restraint yang diterbitkan oleh EC yang mana
didalam panduan tersebut diutamakan dalam pembedaannya kedua kegiatan pemasaran
dinilai secara faktual terhadap resiko finansial dan komersial yang terkait
langsung dengan kontrak atau terkait dengan investasi pasar yang spesifik.
Dalam perjanjian keagenan murni (genuine
agency agreement), pihak yang menjadi agen tidak menanggung atau hanya
menanggung secara tidak signifikan resiko keuangan dan komersial, keseluruhan
resiko berada pihak yang menyerahkan hak pemasaran (prinsipal)[8].
Di dalam panduan yang diterbitkan oleh EC juga menilai jenis keagenan didalam
prakteknya yang tidak secara murni, memiliki karakter perjanjian keagenan,
dimana didalamnya di atur adanya tanggung jawab dari agen untuk menanggung
resiko finansial dan komersial, yang mana perjanjian tersebut tidak dapat
dianggap sebagai perjanjian keagenan dan hal ini tidak dikecualikan didalam UU
Persaingan Usaha yang dibentuk oleh EC[9].
Panduan
tersebut juga mengatur tentang resiko umum, yang merupakan suatu resiko untuk
menyediakan jasa keagenan seperti pendapatan agen yang bergantung pada
keberhasilan penjualannya atau penanaman modal umum berupa kantor dan staff,
dianggap merupakan hal – hal yang tidak material dalam perhitungan resiko.
C.
JENIS PERJANJIAN DISTRIBUSI YANG MENGAKIBATKAN PERSAINGAN TIDAK
SEHAT
Tidak semua perjanjian distribusi dapat mengakibatkan persaingan
usaha tidak sehat atau merugikan konsumen atau pihak distributor lainnya.
Berikut akan dibahas jenis – jenis perjanjian distribusi yang mungkin
mengandung kegiatan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana disebutkan didalam
UU Persaingan Usaha. Pada umumnya perjanjian distribusi yang berpotensi untuk
melanggar hukum persaingan dapat digolongkan kepada jenis – jenis sebagai
berikut[10]:
1. Single
branding
Single branding adalah suatu
perjanjian distribusi, yang didalam perjanjian tersebut diatur pembatasan hak
kepada penerima hak pendistribusian untuk hanya menjual satu merek produser
saja, distributor dilarang melakukan perjanjian dengan pelaku usaha lain.
Di dalam hal
ini perusahaan dengan pangsa pasar (market
power)yang kecil atau bahkan tidak memiliki pangsa pasar akan sukar
melakukan perjanjian dengan distributor, dimana tentunya hal tersebut akan
merugikan distributor, dengan larangan tidak dapat menjual merek lain, maka,
distributor hanya dapat puas dengan keadaan pasar dari merek tersebut.
Sebaliknya dalam hal perusahaan produksi barang memiliki pangsa besar yang
besar dengan perjanjian single branding dapat
mencegah adanya produk sejenis masuk kepasar. Akibatnya konsumen didalam pasar
tersebut tidak ada pilihan lain, untuk hanya membeli merek tersebut, bahkan
dimungkinkan konsumen menjadi korban atas kontrol harga dari perusahaan
tersebut. Konsumen tidak memiliki alternatif pembanding untuk barang yang
sejenis.
2. Quantity
Forcing
Quantity Forcing merupakan
salah satu jenis single branding, dalam quantity
forcing, distributor yang terikat didalam perjanjian dengan perusahaan
produksi diperbolehkan untuk melakukan kegiatan produksi atas merek lain untuk
barang sejenis. Perusahaan produksi dalam hal ini didalam perjanjiannya akan
mengatur secara tegas kegiatan penjualan atas merek lain tersebut dilakukan
setelah target penjualan yang dipesyaratkan telah dilampaui.
Dalam
penetapan target penjualan atas barang, perusahaan produksi yang secara sepihak
merubah target yang dipersyarakan. Hal ini memberikan kemungkinan yang sangat
kecil suatu perusahaan distribusi dapat menjual barang sejenis dengan merek
lain, karena target pasar akan selalu naik, sehingga semakin tingginya target
pasar semakin kecil kemungkinan untuk menjual merek lain. Akibat yang dapat
terjadi adalah sama dengan akibat yang terjadi di dalam single branding,
perusahaan lain dann konsumen tidak memiliki pilihan lain, kecuali target pasar
terpenuhi.
3. Territorial Protection
Territorial protection adalah suatu perjanjian distribusi yang
memberikan kewajiban distributor hanya diperbolehkan menjual kembali barang
perusahaan produksi yang melakukan perjanjian dengannya didaerah yang
ditentukan didalam perjanjiannya atau sebaliknya, perusahaan produksi yang
melakukan perjanjian distribusi dilarang menunjuk distributor lainnya dalam
suatu daerah pemasaran tertentu.
Pelaksanaan perjanjian distribusi dengan sistem territory protection dapat dilakukan
dengan berbagai cara, beberapa diantaranya, dibahas berikut ini:
a.
Larangan untuk melakukan penjualan di luar wilayah yang telah
ditentukan (active selling);
b.
Larangan menjual kepada pembeli yang berasal dari luar wilayah
yang telah ditentukan (passive selling);
c.
Kewajiban memberitahukan atau meminta persetujuan kepada
perusahaan yang memproduksi barang setiap saat distributor melakukan penjualan
atas barang diluar wilayah yang ditentukan;
d.
Kewajiban untuk
meneruskan pesanan barang yang datang dari luar wilayah kepada perusahaan yang
memproduksi barang;
e.
Pemberian tanda – tanda khusus dari masing – masing distributor pada barang
yang akan diperdagangkan sehingga dapat dilacak peredaran barang dari atau
masuk ke daerah pemasaran yang ditentukan dalam perjanjian;
f.
Larangan untuk saling menjual dengan sesame distributor (cross selling);
g.
Larangan untuk memberikan layanan purna jual terhadap barang
yang dibeli dari distributor dari daerah pemasaran lain;
h.
Bentuk lain dari pembatasan distribusi barang yang fungsinya
untuk melindungi penjualan barang didalam wilayah pemasaran yang diperjanjikan.
Territorial protection akan mengakibatkan tidak ada persaingan
diantara merek yang sama (intra – brand
competition), dimana pemasaran atas barang dibagi dalam wilayah – wilayah
pemasaran. Dalam kondisi inter – brand competition yang lemah, intra – brand competition dapat
memberikan perlindungan bagi konsumen. Tanpa adanya intra – brand competition, distributor dapat mengeksploitasi posisi
dominannya dan mengakibatkan kerugian di pihak konsumen.
4. Customer allocation
Customer allocation adalah perjanjian distribusi dimana
distributor hanya diperbolehkan menjual barang kepada golongan pembeli
tertentu, atau sebaliknya pengusaha yang memproduksi barang dilarang menjual
kepada golongan pembeli tertentu. Berbeda dengan territorial protection yang mengalokasikan wilayah kepada masing –
masing distributor, customer allocation
menerapkan pembagian konsumen berdasarkan kelas atau jenisnya kepada masing –
masing distributor. Dampak yang ditimbulkan oleh jenis distribusi ini sama
dengan dampak yang timbul oleh territorial protection, yaitu hilangnya intra – brand competition.
5. Selected distribution agreement
Selected distribution agreement didalam jenis pendistribusian barang dimana distributor hanya
dapat melakukan distribusi atas barang kepada konsumen terakhir. Didalam
perjanjian distribusi ini, perusahaan yang memproduksi barang akan melakukan
perjanjian dengan distributor tertentu, dan antara distributor tersebut
dilarang melakukan penjualan atas barang kepada distributor yang ditunjuk
melalui perjanjian ini.
Selected distribution agreement membatasi persaingan barang sejenis akan
tetapi EC tidak melarang hal ini, dengan syarat perusahaan yang memproduksi
barang menerapkan kriteria pemilihan distributor yang objektif, kualitatif dan
tidak berlebihan dalam mendistribusikan produk – produknya. Menurut EC dalam
hal ketiga persyaratan di atas tidak terpenuhinya Selected distribution agreement dapat mengurangi intra – brand competition, dan
menghalangi distributor tertentu memasuki wilayah pemasaran.
6. Exclusive supply
Exclusive supply adalah perjanjian distribusi dimana
perusahaan yang memproduksi barang hanya diperbolehkan untuk menjual barangnya
kepada satu distributor saja. Biasanya perjanjian ini bisa dipersyaratkan
apabila distributor tersebut memiliki pangsa pasar yang signifikan pada upstream market. Kondisi tersebut
menghalangi distributor lain untuk mendapatkan barang yang sama dengan demikian
menghilangkan intra – brand competition pada downstream
market. Namun demikian persediaan eksekutif (exclusive supply) baru menjadi perhatian serius hukum persaingan
apabila distributor tersebut memiliki kombinasi pangsa pasar yang besar pada upstream market dan downstream market.
7. Tying
Tying adalah bentuk perjanjian distribusi dimana
distributor diperbolehkan membeli suatu barang (tying product) dengan syarat harus membeli barang lain (tied product) dari perusahaan yang
memproduksi barang. Dampak dari perjanjian ini dapat berupa terhalangnya
pesaing lain dalam memasarkan tied
product, distributor membeli tied
product dengan harga di atas competitive
level, timbulnya barrier to entry baik
bagi tying product maupun tied product.
8. Third line forcing
Third line forcing berbeda dengan tying yang mengharuskan distributor membeli produk lain dari
perusahan yang membuat barang third line
forcing membolehkan distributor membeli suatu barang dengan syarat harus
membeli barang lain dari pihak ketiga. Dampaknya adalah hambatan untuk
distributor lain untuk memasuki wilayah pemasaran barang.
9. Resale price maintenance
Resale price maintenance (RPM), merupakan perjanjian distributor yang
menetapkan harga jual ditingkat distributor. RPM di EC, dilakukan dengan 3
(tiga) cara, yang disebut dengan istilah maximum RPM, minimum RPM dan
recommended RPM. EC memperbolehkan mempebolehkan RPM dilaksanakan kecuali untuk
minimum RPM, dimana dianggap minimum RPM menyebabkan harga jual kembali dari
distributor tidak bisa lebih rendah dari harga yang ditentukan. Keadaan dengan
minimum RPM mengakibatkan hilangnya intra
– bran competition. Minimum RPM dianggap sebagai salah satu bentuk kartel
harga secara verticak, hal ini
dikarenakan harga jual dari distributor ditetapkan secara bersama melalui
perusahaan pembuat barang sebagai perantara.
D. MERGER PERUSAHAAN PEMBUAT BARANG DAN PERUSAHAAN DISTRIBUSI
Persaingan juga dapat timbul bilamana
terjadi pengambilalihan perusahaan distributor dengan perusahaan pembuat
barang. Berikut untuk dapat memahami apa yang disebut penggabungan perusahaan,
akan dibahas aturan hukum yang berlaku di Amerika Serikat.
Dibandingkan
dengan perjanjian - perjanjian yang membatasi perdagangan yang dilarang
berdasarkan Bag. 1 dari Undang-Undang Sherman AS tahun 1890, dan berdasarkan
pasal 4-16 dari UU Persaingan Usaha, merger melibatkan integrasi yang bersifat
lebih lengkap dan permanen dari kegiatan-kegiatan ekonomi para pihak.
Tekanan-tekanan internal (misalnya penipuan dengan cara kartel) seringkali
memaksa adanya disintegrasi dari sebuah perjanjian antara perusahaan -
perusahaan independen, akan tetapi sebuah merger kemungkinannya adalah untuk
selama-lamanya[11].
Sementara merger dengan cara demikian menciptakan kerugian yang lebih besar
terhadap persaingan usaha (dengan cara mengurangi hasil produksi untuk menaikkan
harga) dibandingkan dengan perjanjian yang demikian, sebuah merger menciptakan
keadaan tidak seimbang dalam pengambilan kebijakan dengan menjanjikan
keefisienan ekonomis yang lebih besar dalam sejumlah besar kasus.
Tentang
bagaimana biaya dan manfaat yang lebih besar tersebut diseimbangkan pada marjin
adalah merupakan topik kebijakan yang sangat diminati di seluruh dunia.
Berdasarkan
Bag. 7 dari Undang-Undang Clayton AS tahun 1914 (sebuah reaksi terhadap
kegagalan-kegagalan dalam kebijakan persaingan usaha Undang-undang Sherman
tahun 1890, sebuah reaksi yang diubah secara mendasar di tahun 1950), “merger”
yang merupakan pembelian atas sebagian atau seluruh aset atau saham sebuah
perusahaan oleh perusahaan yang lainnya, juga mencakup “konsolidasi”, dari
sebuah perusahaan yang baru memiliki aset dari perusahaan -perusahaan yang
sebelumnya mandiri - dan pembelian-pembelian saham pada umumnya
(Pembelian-pembelian tersebut mungkin saja tidak akan menghasilkan pengendalian
atas perusahaan yang lainnya, akan tetapi dalam yang demikian tidak terdapat
peluang-peluang untuk menciptakan keefisienan ekonomis yang lebih besar).
Dengan demikian, Bag. 7 sesuai dengan Pasal 27-28 dari UU Persaingan Usaha,
sementara subyek dari pasal 26 diatur (dengan pengecualian terhadap
perusahaan-perusahaan yang lebih kecil) dengan larangan tentang “interlocking”
direksi perusahaan berdasarkan Bag.8 dari Undang-Undang Clayton.
Bahasa
yang relevan dari Bag. 7 adalah mudah untuk dinyatakan akan tetapi ternyata
sulit untuk ditafsirkan: sebuah merger dilarang dilakukan di Amerika Serikat
apabila “hal tersebut dapat…. Secara substantial mengurangi
persaingan usaha.” Menurut penafsiran kata “dapat”, instansi - instansi
pelaksana harus membuktikan kemungkinan, dan bukan kepastian tentang
berkurangnya persaingan usaha, sementara “secara substansial” dianggap berarti
sebuah penguarangan secara serius dalam persaingan usaha.
Sebagaimana
halnya dengan kebijakan persaingan usaha di sejumlah besar negara, Amerika
Serikat telah menentukan dan mengatur sebanyak tiga jenis merger berdasarkan
Undang-Undang Clayton, Bag. 7: horisontal, vertikal dan konglomerat. Merger
horisontal melibatkan dua atau lebih perusahaan yang menghasilkan produk-produk
yang sama atau serupa dalam wilayah pasar yang sama. Orang Amerika akan
menganggap merger di antara sejumlah pabrik roti yang berlokasi di Jakarta dan
Denpasar sebagai merger konglomerat, berdasarkan anggapan bahwa mereka
beroperasi di pasar - pasar dalam wilayah yang berbeda. Meskipun demikian,
masalah definisi seringkali merupakan hal yang sulit: apabila sebuah produsen
deterjen di Jakarta membeli sebuah produsen alat pemutih, apakah ini merupakan
merjer horisontal dalam pasar “produk-produk deterjen” atau sebuah merger
konglomerat di pasar produk-produk yang berbeda (deterjen dan alat pemutih).
Undang-undang Amerika menilai merger
horisontal secara lebih ketat dibanding jenis-jenis merger yang lainnya: merger
horisontal mengurangi persaingan usaha secara langsung, dapat menciptakan
kekuatan pasar yang besar, dapat memudahkan koordinasi dalam penentuan harga
dan keputusna tentang volume produksi dengan para pesaing. Bahkan tanpa adanya
perjanjian formal, dan dapat menaikkan keefisienan ekonomis.
Merger
vertikal melibatkan
integrasi ke depan atau ke belakang dalam rantai produksi dan distribusi,
melalui akuisisi terhadap seorang pelanggan (misalnya : seorang produsen
membeli salah satu dari para pengecernya) atau seorang pemasok (misalnya :
pembangkit tenaga listrik membeli salah satu dari para pemasok batu-bara).
Merger yang demikian tidak mengurangi jumlah pelaku ekonomi di pasar tertentu,
akan tetapi dapat mengubah pola perilaku industri. Meskipun terdapat
kemungkinan besar untuk bertambahnya keefisienan ekonomi dan kemungkinan
terjadinya kerugian ekonomi yang terbatas, merger - merger tersebut ditangani
secara cukup ketat di Amerika Serikat dari tahun 1960 sampai dengan tahun 1980.
Alasannya adalah bahwa merger – merger vertikal menghalangi para pesaing dalam
memperoleh akses terhadap pelanggan atau pemasok yang “menghilang” sebagai
akibat dari merger.
Hal
ini dipandang sebagai hambatan untuk masu didalam sebuah pasar untuk barang
sejenis. Produsen juga harus dapat memasuki pasar sebagaimana halnya dengan
pelanggan atau pemasoknya.
Doktrin-doktrin
hukum tersebut yang bersifat cukup ketat sekarang secara luas dipandang sebagai
kesalahan dalam kebijakan yang terjadi dalam upaya melindungi usaha-usaha
kecil: dengan melindungi para pesaing dan bukan persaingan usaha, sehingga para
pelanggan atau pemasok yang independen muncul segera setelah ada peluang usaha
yang baru. Merger konglomerat biasanya melibatkan perluasan produk -
misalnya, sebuah perusahaan rokok membeli perusahaan pengelola makanan - atau
perluasan pasar geografis: pabrik roti Jakarta membeli pabrik rokok di
Denpasar. Merger-merger tersebut diperlakukan secara berbeda dengan usaha -
usaha patungan: dua atau lebih perusahaan bergabung untuk menciptakan sebuah
produk atau memanfaatkan sebuah pasar geografis yang baru bagi mereka.
Merger-merger konglomerat dilihat sebagai ancaman persaingan (yang relative
kecil) di Amerika di tahun - tahun 1960-an dan 1970-an, akan tetapi tidak
terdapat banyak kegiatan pelaksanaan baru-baru ini.
Merger-merger
tersebut tidak mempengaruhi persaingan usaha secara langsung dan pengaruhnya
terhadap persaingan usaha yang mungkin terjadi biasanya hanya dapat diduga,
kecuali dapat dibuktikan bahwa perusahaan rokok memang akan memulai usaha
pengelolaan makanan atau pabrik roti dari Jakarta memang akan mulai berproduksi
di Denpasar meskipun tidak dilakukan.
Di
lain pihak, dan bila dibandingkan dengan jenis merger dan usaha patungan
lainnya, merger – merger konglomerat membawa peluang yang paling kecil untuk
meningkatkan keefisienan ekonomi. Tampaknya para “konglomerat” merupakan topik
yang bernuansa baik politik dan kebijakan di Indonesia, sehingga kemungkinannya
sulit untuk mengembangkan aturan-aturan untuk merjer/merjer ini yang memiliki
biaya/manfaat yang relative rendah, dimana dampak politisnya telah diatur
melalui cara yang lain.
E. ANALISIS PERJANJIAN DISTRIBUSI KAITANNYA DENGAN HUKUM PERSAINGAN
USAHA
Berdasarkan penelaahan di atas maka, jenis – jenis perjanjian distribusi
sebagaimana disebutkan di atas akan dapat merugikan baik konsumen atau pelaku
usaha lain, dan menimbulkan sistem perdagangan monopoli atau persaingan usaha
tidak sehat, dimana jenis perjanjian Single branding, Quantity Forcing,
Territorial Protection, Customer allocation, dan Selected distribution
agreement Exclusive supply, dapat merupakan perjanjian distribusi dimana
kesemuanya memberikan pembatasan masuk barang sejenis dari pelaku usaha lain,
sebagaimana disebutkan didalam Pasal 19 dan Pasal 25 UU Persaingan Usaha.
Pasal
19 UU Persaingan Usaha
Pelaku
usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun
bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
a.
menolak dan atau menghalangi pelaku usaha
tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
b.
menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku
usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha
pesaingnya itu; atau
c.
membatasi peredaran dan atau penjualan
barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau
d.
melakukan praktek diskriminasi terhadap
pelaku usaha tertentu.
Dan
Pasal
25, UU Persaingan Usaha:
(1)
Pelaku Usaha dilarang menggunakan posisi
dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk :
a.
menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan
tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau
jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau
b.
membatasi pasar dan pengembangan teknologi;
atau
c.
menghambat pelaku usaha lain yang
berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan
(2)
Pelaku usaha memiliki posisi dominan
sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila:
a.
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu; atau
b.
dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu.
Didalam hal ini dapat disimpulkan salah
satu contohnya adalah single branding,
dimana distributor hanya diberikan hak menjual barang dengan merek pelaku usaha
tertentu, sehingga dalam hal distributor menguasi 50 % pasar didalam wilayah
tersebut akan memberikan kemampuan pelaku usaha untuk memiliki posisi dominan,
yang pada akhirnya dapat menentukan harga sebagaimana disebutkan didalam Pasal
19 dan Pasal 25 UU Persaingan Usaha.
Merger secara vertikal juga dapat mengakibatkan suatu
persaingan usaha yang tidak sehat, dimana ketika suatu perusahaan menguasai
pasar yang sangat besar, kemudian membeli saham mayoritas dari suatu perusahaan
lain, dan kemudian didalam distribusi yang dilakukan perusahaan besar tersebut
membatasi produk dari perusahaan lainnya untuk masuk didalam pasar, tentunya
akan mengakibatkan kerugian bagi pelaku usaha tersebut, hal mana dapat
mengakibatkan pembatasan quota atau wilayah, hal tersebut terjadi didalam kasus
Semen Gresik, yang produk semennya tidak dilarang masuk dalam wilayah – wilayah
tertentu yang ternyata telah dimiliki oleh Cemex yang merupakan perusahaan yang
membeli perusahaan tersebut.
F. KEBIJAKAN WILAYAH PASAR
Kebijakan
persaingan bertujuan untuk meminimumkan inefisiensi perekonomian yang
diciptakan oleh tingkah laku perusahaan perusahaan yang bersifat
anti-persaingan. Ada dua penyebab distorsi perekonomian yang dapat menyebabkan
pasar menjadi tidak sempurna. Pertama, eksternalitas pasar yang memungkinkan
perusahaan-perusahaan yang mempunyai kekuatan pasar menggunakan kekuatan
tersebut untuk menghancurkan pesaingnya (competitor elimination) dengan
cara tidak adil (unfair conduct). Kedua, kebijakan/intervensi pemerintah
sendiri yang menimbulkan distorsi pasar dan inefisiensi perekonomian[12].
Penyebab pertama bersumber dari perilaku perusahaan sedangkan penyebab kedua
bersumber dari intervensi pemerintah terhadap mekanisme pasar[13].
Kebijakan persaingan tidak hanya terdiri dari UU Persaingan Usaha tetapi juga
termasuk deregulasi dan liberalisasi ekonomi. UU Persaingan Usaha, mengatur
praktek monopoli yang bertujuan untuk mengatur perilaku-perilaku perusahaan
yang besifat persaingan tidak sehat.
Salah
satu hal yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat yang dapat
merugikan konsumen dan pelaku usaha barang sejenis adalah dalam perjanjian
distribusi, dimana sebagaimana disebutkan didalam Kitab Undang – Undang Hukum
Perdata (KUHPER) perjanjian merupakan kebebasan para pihak dimana dalam hal
para pihak telah sepakat dengan isi dari perjanjiannya, perjanjian tersebut
menjadi hukum para pihak yang harus dilaksanakan[14].
Di sinilah pada dasarnya ruang lingkup peran
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dalam suatu keadaan dimana sedang
terjadi deregulasi dan liberalisasi yang bertujuan agar mekanisme pasar dapat
berjalan dengan meminimumkan intervensi pemerintah yang distortif, hukum
persaingan usaha dan aparat penegaknya sangat diperlukan dalam hal ini KPPU
sebagaimana disebutkan didalam UU Persaingan Usaha, merupakan lembaga yang
bertanggung jawab mengawasi dan menangani kasus – kasus persaingan usaha tidak
sehat. Beberapa tindakan atau cara tidak adil (unfair) dapat dilakukan
perusahaan untuk memenangkan persaingan secara tidak sehat, misalnya perjanjian
distribusi sebagaimana disebutkan di atas akan dapat merugikan baik konsumen
atau pelaku usaha lain, dan menimbulkan sistem perdagangan monopoli atau
persaingan usaha tidak sehat, dimana jenis perjanjian Single branding, Quantity
Forcing, Territorial Protection, Customer
allocation, dan Selected distribution agreement, Exclusive
supply, yang kesemuanya memberikan pembatasan masuk barang sejenis dari
pelaku usaha lain, yang merupakan tindakan kolusi dan tindakan yang
menghancurkan pesaing (competitor elimination). Tindakan kolusi ialah
perilaku beberapa perusahaan untuk mengatur harga secara bersama-sama atau
membagi-bagi pasar sedemikian rupa sehingga memaksimumkan keuntungan
masing-masing perusahaan. Perilaku kolusi dapat dilakukan dengan tersembunyi
ataupun terbuka (explicit collusion). Contoh perilaku kolusi terbuka
adalah pembentukan kartel oleh perusahaan-perusahaan. Sedangkan perilaku
penghancuran pesaing (competitor elimination) adalah vertical
restraints (perjanjian distribusi
atau merger perusahaan yang memproduksi barang dengan perusahaan distribusi)
dan predatory pricing. Vertical
restraint adalah pengaturan hubungan antara produsen dengan distributor. Predatory pricing terjadi apabila suatu
perusahaan secara temporer mengenakan harga rendah sebagai upaya untuk
membendung masuknya pesaing ke suatu pasar, mengenyahkan pesaing yang telah ada
di dalam suatu pasar, atau mendikte pesaing di suatu pasar tertentu (price control). Di Indonesia ada
beberapa bentuk tindakan persaingan tidak sehat. Pertama, tindakan persaingan
tidak sehat yang dilakukan perusahaan untuk menghancurkan pesaingnya. Tindakan
yang dilakukan antara lain adalah melakukan integrasi vertikal yang bersifat
strategis (strategic vertical integration) seperti melakukan merger dengan perusahaan distribusi, RPM,
dan pembagian pasar (Territorial
Protection).
Kedua,
tindakan persaingan tidak sehat yang dilakukan oleh perusahaan dengan dukungan
atau persetujuan pemerintah. Contohnya adalah asosiasi-asosiasi pengusaha yang
bertindak sebagai kartel atau tata niaga perdagangan. Ketiga, tindakan persaingan tidak sehat yang dilakukan oleh
badan-badan usaha milik negara dengan “restu” pemerintah. Bentuk-bentuk
tindakan persaingan tidak sehat di Indonesia yang terbanyak adalah yang
tergolong ke dalam kategori kedua dan ketiga, dimana persaingan usaha tidak
sehat dilakukan dalam suatu konsep pemasaran atau distribusi barang.
Dapat
disimpulkan bahwa, penyebab utama tindakan persaingan tidak sehat salah satunya
adalah kontrol pemasaran dari pemerintah baik karena kebijakan distortif yang
malah menciptakan perilaku persaingan tidak sehat maupun karena kepemilikan
pada Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D) dan kecenderungan memproteksi
pasar di mana BUMN/D itu bergerak[15].
Kebijakan
yang diciptakan dan membentuk persaingan tidak sehat oleh pemerintah dapat
berupa tariff barriers seperti pungutan pajak ataupun retribusi dan non-tariff
barriers dalam bentuk tata niaga perdagangan, misalnya, pemberian hak
monopoli atau monopsoni, penetapan harga dasar atau maksimal, kuota ekspor
barang dari suatu daerah, regional allocation market (rayonisasi) atau
monopoli oleh BUMN/D.
Beberapa
contoh peraturan yang pernah terjadi bersifat persaingan usaha tidak sehat
adalah, pemberian hak monopsoni sekaligus monopoli kepada BPPC, Tata Niaga
Hasil Produksi Rakyat melalui Koperasi Unit Desa di Nusa Tenggara Timur yang
memberikan hak monopsoni kepada KUD untuk membeli hasil produksi rakyat, tata
niaga jeruk di Kalimantan Barat yang memberikan hak monopsoni kepada Puskud dan
Kelompok Humpus yang selanjutnya diteruskan PT Bima Citra Mandiri, kemitraan
yang mewajibkan petani kapas di Bulukumba, Kabupaten Bone, menjual hasil
produksinya ke PT Kapas Garuda Putih; kewajiban menanam tebu di Kabupaten
Klaten dan Malang dan menjualnya ke pabrik gula.
G.
PERANAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
UU
Persaingan Usaha bertujuan untuk menjamin terciptanya persaingan yang sehat,
sehingga alokasi sumber daya bisa efisien, konsumen memiliki pilihan dalam
membeli barang dan jasa dan terbentuknya harga yang wajar dilihat dari biaya
produksi dan kualitas serta dapat member kesempatan akan kemungkinan timbulnya
inovasi produk. Substansi UU Persaingan Usaha terbagi ke dalam enam bagian,
yaitu, tentang perjanjian yang dilarang (pasal 4 - 16), kegiatan yang dilarang
(pasal 17 - 24), posisi dominan (pasal 25-29), sedangkan tentang pembentukan
KKPU (pasal 30-37) dan tata cara penanganan perkara/sanksi dalam persaingan
usaha (pasal 38-49) serta tentang pengecualian (pasal 50-51). Pada bagian
pertama yang termasuk ke dalam perjanjian yang dilarang meliputi hal-hal
berikut:
1.
oligopoli (pasal 4)
2.
penetapan harga atau price fixing (pasal 5),
3.
diskriminasi harga (pasal 6)
4.
penetapan harga di bawah harga pasar (pasal 7)
5.
penjualan kembali dengan harga lebih rendah (pasal 8)
6.
pembagian wilayah (pasal 9)
7.
boikot (pasal 10)
8.
kartel (pasal 11)
9.
trust (pasal 12)
10. oligopsoni (pasal 13)
11. integrasi vertikal (pasal 14)
12. exlusive dealing (pasal 15)
13. perjanjian dengan pihak luar negeri (pasal
16).
Sementara
itu pada bagian kedua yang termasuk ke dalam kategori kegiatan yang dilarang
adalah:
1.
monopoli (pasal 17)
2.
monopsoni (pasal 18)
3.
penguasaan pasar (pasal 19)
4.
predatory pricing (pasal 20)
5.
transfer pricing (pasal 21)
6.
collusion:
a.
tender (pasal 22)
b.
bersekongkol untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaing
yang bersifat rahasia perusahaan (pasal 23)
c.
menghambat produksi atau pemasaran pesaing (pasal 24)
Pada
bagian ketiga yang termasuk posisi dominan adalah:
1.
dilarang menggunakan posisi dominan untuk menghalangi konsumen
memperoleh barang dan jasa lain baik dari segi harga atau kualitas, membatasi
pengembangan teknologi; dan menghambat pelaku usaha lain masuk ke pasar (pasal
25)
2.
jabatan rangkap (pasal 26)
3.
kepemilikan saham beberapa perusahaan yang menguasai posisi
dominan (pasal 27)
4.
penggabungan, peleburan dan pengambilalihan (pasal 28)
KPPU
adalah lembaga independen yang bertugas mengawasi pelaksanaan UU No.5/1999 dan
bertanggung jawab kepada Presdiden. Anggota KPPU diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden atas persetujuan DPR. Masa jabatan anggota KPPU adalah selama
lima tahun. UU Persaingan Usaha, merinci kewenangan KPPU, yang meliputi hal –
hal berikut:
1.
menerima laporan
2.
melakukan penelitian
3.
melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan
4.
menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan
5.
memanggil pelaku usaha
6.
memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang
yang dianggap mengetahui suatu persoalan
7.
meminta bantuan penyidik
8.
meminta keterangan dari instansi pemerintah
9.
mendapatkan, meneliti dan atau menilai surat, dokumen dan atau
alat bukti lain
10.
memutuskan dan menetapkan suatu perkara
11.
memberikan putusan komisi kepada pelaku usaha menjatuhkan
sanksi.
KPPU
sebagai lembaga yang bertugas mengawasi jalannya persaingan usaha juga bertugas
mengawasi perilaku persaingan usaha tidak sehat di daerah-daerah, seperti,
monopoli/monopsoni, kartel, kesepakatan harga dan lain lain sebagaimana yang
tercantum di dalam undang-undang, yang mana kemungkinan dapat terjadi dalam
proses distribusi, dimana principal dalam
perjanjian distribusi dapat me. Selain itu, juga tentunya KPPU bertugas
mengawasi peraturan pemerintah pusat maupun daerah yang membuka peluang bagi
perusahaan untuk melakukan tindakan persaingan usaha tidak sehat seperti tata
niaga yang memberikan hak monopoli/monopsoni.
Hal
yang tak kalah pentingnya untuk meminimalisasikan praktek-praktek yang mengarah
pada persaingan tak sehat dan sekaligus merugikan konsumen adalah segala upaya
untuk menekan biaya transaksi. Mengingat bahwa Indonesia memiliki wilayah yang luas
dengan ribuan pulau yang tersebar, maka perbaikan sarana dan prasarana
transportasi dan telekomunikasi niscaya akan sangat menopang bagi berkurangnya
disparitas harga.
[1] Penulis merupakan Pegawai Negeri Sipil pada Biro Hukum
Sekretariat Jenderal Kementerian Perdagangan.
[2] Farid F. Nasution, Perjanjian Distribusi Menurut Hukum
Persaingan Usaha, Jurnal Hukum Bisnis Volume 26 – Nomor 2 (Tahun 2007): 63.
[3] Ibid.
[4] Valentine Korah and Dennis O’ Sulivan, Distribution Agreements
under the EC Competition Rules, Hart Publishing, Portland, 2002.
[5] Lihat. Commission Regulation (EC) No. 2790/1999 of 22 December
1999 on the application of Article 81 (3) of the treaty to categories of
vertical agreement and concerted practices (“the Block Exemption Regulation)
[6] Menteri Perdagangan, Peraturan Menteri Perdagangan tentang
Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau
Distributor Barang dan/atau Jasa. Permendag No. 11/M-DAG/PER/3/2006.
[7] Farid F. Nasution, Exclusivity In Distribution Agreement: A
Comparison Between European And Indonesian Competition Law, Thesis for Master
of Law, Vrije Universiteit, Amsterdam, 2006.
[8] Joanna Goyder, EU Distribution Law, Palladian Law Publishing,
Bembridge, 2000.
[10] Farid F. Nasution, op. cit., hal. 64.
[11] Paul
H. Brietzke, Pengalaman Amerika Di Bidang Merjer: Apakah Ada
Relevansinya Dengan Undang-Undang Persaingan Usaha Indonesia Yang Baru?.
Dibawakan dalam Konperensi Tentang Merjer, Konsolidasi dan Akuisisi Berdasarkan
Undang - Undang No.5 tahun 1999, yang diselenggarakan oleh Institut Studi
Kebijakan Investasi dan Persaingan Usaha, di Jakarta, pada tanggal 25-26
Agustus 1999.
[12] Faisal H. Basri & Dendi Ramdani, Kebijakan
Persaingan Di Era Otonomi: Peranan KPPU, Makalah dipresentasikan pada
Konferensi Mengenai Perdagangan Dalam Negeri, Desentralisasi dan Globalisasi di
Hotel Borobudur, Jakarta, Indonesia, pada tanggal 3 April, 2001, yang
diselenggarakan dengan kerjasama antara Partnership for Economic Growth (PEG),
the United States Agency for International Development (USAID), dan Departemen
Perindustrian dan Perdagangan (Depperindag) Republik Indonesia. PEG adalah
sebuah proyek kerjasama antara USAID dengan Pemerintah Indonesia. Pandangan
yang diungkapkan dalam makalah ini merupakan pandangan penulis sendiri dan
tidak semestinya merupakan pandangan USAID, Depperindag, ataupun Pemerintah
Amerika Serikat
[13] Ibid.
[14] Subekti, Aneka Perjanjian (Cetakan Kesepuluh), (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 1995). hal. 3.
[15] Achmad Shauki, “The Role of the Commission
for Fair Competition”, Indonesia’s Anti-Monopoli Law and Its Impact on Small
and medium Enterprises (Jakarta: The Asian Foundation), 1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar