BAB II
SEJARAH PEMBENTUKAN INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE (MAHKAMAH INTERNATIONAL)
SEJARAH PEMBENTUKAN INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE (MAHKAMAH INTERNATIONAL)
A. Convention
on the Pacific Settlement of International Disputes
Dalam
hubungan internasional yang dilaksanakan oleh negara – negara didunia yang
hidup berdampingan kadang kala menimbulkan sengketa. Sejarah mencatat bahwa
sengketa – sengketa yang timbul antara negara – negara kadang kala berlanjut
kepada sengketa bersenjata dalam bentuk perang yang mengakibatkan banyak
korban, bukti yang nyata dari hal ini adalah timbulnya Perang Dunia I dan II.
Menghindari keadaan ini maka negara – negara didunia berusaha untuk mencari
penyelesaian sengketa yang lebih sesuai dan tidak menumbulkan perang. Pada
tahun 1899 – 1907 masyarakat internasional mengadakan Konvensi Damai yang
bertempat di Den Haag, yang menghasilkan menghasilkan Convention on the Pacific Settlement of International Disputes[1],
didalam Pasal 1 Konvensi ini di atur:
All members shall settle their
international dispute by peaceful means in such manner that international peace
and security, and justice, are not endangered.[2]
Didalam konvensi ini juga disepakati
dibentuknya Permanent Court of Arbitration (PCA). PCA pada awalnya diharapkan
menjadi suatu mahkamah internasional yang permanen yang berfungsi sebagai
lembaga internasioal yang berfungsi sebagai lembaga peradilan tempat
penyelesaian sengketa antara negara – negara, akan tetapi berdasarkan Convention on the Pacific Settlement of International
Disputes, PCA bukan merupakan suatu mahkamah permanen karena aturan –
aturan tentang PCA dalam Convention on
the Pacific Settlement of International Disputes, hanya merupakan daftar
nama yang dapat ditunjuk sebagai arbiter, dan para pihak bebas memilih arbiter
yang akan menyelesaikan sengketa yang terjadi. Hal ini mengakibatkan tidak
terbentuk suatu administrasi tetap yang berkelanjutan atas kasus – kasus yang
diselesaikan melalui arbiter dari PCA.
Permasalahan mendasar dari PCA yang disebutkan di atas mendorong
masyarakat internasional untuk membentuk suatu lembaga peradilan internasional
yang lebih permanen yang memiliki sistem administrasi yang tetap sehingga
terbentuk proses dokumentasi yang jelas dan berkelanjutan. Setelah terbentuknya
Convention on the Pacific Settlement of
International Disputes, dengan dorongan untuk membentuk suatu lembaga
peradilan permanen maka dibentuklah Internatinal Prize Court yang memiliki
yurisdiksi yang terbatas hanya untuk memutuskan sengketa yang timbul antara
negara netral dan pihak yang berperang dalam pelaksanaan hak pihak yang
berperang di laut. Dalam tahun 1907 juga dibentuk apa yang disebut The Central
American Court of Justice yang ditetapkan dalam perjanjian Washington pada 20
Desember 1907, yang pada mulai berlaku pada tahun 1908 sampai dengan 1917[3].
B. Permanent Court of International
Justice (PCIJ)
Perang
Dunia I yang terjadi ditahun 1914, yang menelan banyak korban mendorong
terbentuknya suatu organisasi internasional yang dapat menyatukan negara –
negara didunia dan menyelesaikan sengketa – sengketa yang timbul dalam masa
perang melalui diplomasi. Berdasarkan hal tersebut maka pada tahun 1920
terbentuklah Liga Bangsa – Bangsa (LBB), berdasarkan Kovenen (anggaran
dasar)LBB. Pasal 12 dari Kovenen LBB menyebutkan kewajiban bagi anggota LBB
untuk menyerahkan penyelesaian sengketa yang timbul kepada arbitrase atau
penyelesaian melalui Council LBB (Judicial Settlement). Tindak lanjut atas
usaha penyelesaian sengketa yang diatur didalam Kovenen LBB adalah dengan
membentuk Permanent Court of International Justice (PCIJ), sebagaimana di atur
didalam Pasal 14 Kovenen LBB:
The Council shall formulate and
submit to the Members of the League for adoption plans for the establishment of
a permanent Court of International Justice.[4]
Pembentukan PCIJ ini diawali dengan Dewan LBB menunjuk suatu Advisory
Committee of Jurist yang berfungsi membuat laporan mengenai rancangan
pembentukan PCIJ kepada Dewan LBB. Dari laporan yang diserahkan oleh Advisory
Committee, Dewan LBB mulai membahas rumusan pembentukan PCIJ yang pada akhirnya
pada tahun 1922 terbentuklah Statuta yang menjadi dasar pendirian PCIJ, yang
berkedudukan di Den Haag[5].
Terbentuknya PCIJ merupakan permulaan dari suatu sistem kelembagaan
penyelesaian sengketa internasional yang permanen. PCIJ sebagai lembaga
peradilan internasional yang terbentuk berdasarkan Kovenen LBB merupakan
lembaga yang terlepas dari LBB itu sendiri akan tetapi Dewan LBB tetap memiliki
hak untuk memilih anggota PCIJ dan meminta nasehat hukum dari PCIJ. Selama
terbentuknya PCIJ, PCIJ telah menyelesaikan 29 sengketa antara negara – negara[6].
Pada
tahun 1939 timbul Perang Dunia II, yang juga menjadi sebab utama bubarnya PCIJ.
Perang Dunia II yang melibatkan negara – negara LBB, memperlihatkan tidak
berhasilnya LBB untuk menjadi organisasi internasional yang dapat menyatukan
dan menyelesaikan persoalan antara negara – negara secara diplomasi, karena
negara – negara yang mengawali penyerangan adalah negara – negara yang
berdasarkan Kovenen LBB memiliki kewajiban untuk menyelesaikan sengketa melalui
LBB dan PCIJ[7].
Keadaan ini secara politis telah berperan bubarnya PCIJ.
C. International Court of Justice
(ICJ)
Perang Dunia II menimbulkan keadaan yang mengenaskan bagi umat manusia,
dimana timbul korban – korban perang dan menghancurkan ekonomi dunia.
Masyarakat internasional yang telah bertahun – tahun menjadi korban perang
mulai berusaha untuk membentuk suatu organisasi internasional yang lebih kuat
dan universal. Awal dari usaha – usaha ini adalah didirikannya Commission to
Study the Organization of Peace pada tahun 1939 dan pada tahun 1942 didirikan
Komite Post War of International Problems. Dari dua komite ini banyak sekali
pendapat dan pernyataan yang memberikan ide – ide yang pada akhirnya pada
tanggal 1 Januari 1942 terbentuklah Declaration of the United Nations yang
merupakan dasar terbentukanya Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB). Terbentuknya
PBB pada tahun 1942 juga memberikan dorongan untuk membentuk kembali lembaga
peradilan yang berfungsi sebagai lembaga penyelesaian sengketa. Pembentukan
lembaga peradilan internasional ini diawali dengan terbentuknya Inter-Allied
Committee yang menghasilkan laporan yang memberikan rekomendasi untuk membentuk
suatu lembaga penyelesaian sengketa yang berlandaskan pada Statuta PCIJ, yang
memiliki yurisdiksi untuk memberikan nasehat, akan tetapi yurisdiksi lembaga
ini bukan merupakan yurisdiksi yang mengikat[8].
Berdasarkan rekomendasi dari Inter-Allied Committee tersebut maka disepakatilah
pembentukan suatu lembaga peradilan yang berada didalam PBB, yang memiliki
kedudukan sejajar dengan Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan
Sosial, Dewan Perwakilan dan Sekretariat. Kesepakatan ini di atur didalam hasil
Konferensi San Fransisco yang diadakan pada tahun 1945. Salah satu keputusan
dari Konferensi San Fransisco adalah pembentukan suatu Mahkamah Internasional
yang berdasarkan hukum merupakan suatu badan dan bukan suatu lanjutan dari
PCIJ, Mahkamah Internasional merupakan suatu badan peradilan internasional baru
dengan yurisdiksi yang terpisah dan mandiri yang berlaku bagi pihak – pihak
penandatangan Statuta pendirian Mahkamah tersebut.
Mahkamah internasional berdasarkan Pasal 92 Piagam PBB didirikan
berdasarkan Statuta yang merupakan pengalihan dari Statuta pembentukan PCIJ:
The international Court of Justice shall be the
principal organ of the United Nations, it shall function in accordance with the
annexed Statuta, which is based upon the Statute of the Permanent Court of
International Justice and forms an integral part of the present Charter.[9]
Dalam Pasal 92 Piagam PBB di atas maka ICJ menjadi Mahkamah
Internasional yang merupakan badan peradilan utama PBB, yang membedakan dengan
The United Nations Administrative Tribunal yang merupakan badan peradilan yang
menangani sengketa – sengketa administrasi atau ketatausahaan antara pegawai
PBB. Status badan ini disebut sebagai a subsidiary judicial organ atau badan
peradilan subside (tambahan).
[1] Huala Adolf, Hukum Penyelesaian
Sengketa Internasional, cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 8.
[2] Hague Conference, Convention on the Pacific Settlement of
International Disputes, (Hague: 1907), psl. 1.
[3] Sri Setianingsih (b), op. cit.,
hlm. 60.
[4] Liga Bangsa – Bangsa, Kovenen
Liga Bangsa – Bangsa, 1920, psl. 14.
[5] E. K. Nanwi, The Enforcement of
International Judicial Decision and Arbitral Awards in Public International Law
(Leyden: A. W. Sijthoff, 1966), hlm. 11.
[6] Peter Malanczuk, Akehurst’s
Modern Introduction to International Law, 7th rev.ed, (London: Routledge,
1997), hlm 25.
[7] Huala Adolf, op. cit., hlm. 60.
[8] Ibid.
[9] United Nations, op. cit., psl.
92.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar