Minggu, 12 Agustus 2012

ANALISIS TENTANG BIOTERRORISM ACT – AMERIKA SERIKAT DALAM KAITANNYA DENGAN PELAKSANAAN PERJANJIAN WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) TENTANG PELAKSANAAN TINDAKAN PERLINDUNGAN KESEHATAN MANUSIA, HEWAN DAN TUMBUHAN-TUMBUHAN (AGREEMENT ON THE APPLICATION OF SANITARY AND PHYTOSANITARY MEASURES


ANALISIS TENTANG BIOTERRORISM ACT – AMERIKA SERIKAT DALAM KAITANNYA DENGAN PELAKSANAAN PERJANJIAN WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) TENTANG PELAKSANAAN TINDAKAN PERLINDUNGAN KESEHATAN MANUSIA, HEWAN DAN TUMBUHAN-TUMBUHAN (AGREEMENT ON THE APPLICATION OF SANITARY AND PHYTOSANITARY MEASURES
Oleh : Eko Prilianto Sudradjat

A.      Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut serta dalam putaran perundingan perdagagan Uruguay yang merupakan perundingan multilateral untuk menata kembali aturan dalam perdagangan internasional[1]. Perundingan Uruguay dimulai dari bulan September 1986 dan berakhir pada bulan April 1994. Putaran Uruguay merupakan bagian dari perundingan perdagangan multilateral didalam Putaran Uruguay disepakati secara resmi tentang General Agreement on Trade and Tariff (GATT) 1994 dan pembentukan World Trade Organization (WTO). Berdasarkan kesepakatan yang dilaksanakan didalam Putaran Perundingan Perdagangan Uruguay Indonesia meratifikasi hasil perundingan Uruguay melalui Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 tentang pengesahan  (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization”, berdasarkan hal tersebut maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota  WTO  dan semua persetujuan yang ada didalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional[2].
Persetujuan-persetujuan multilateral yang dihasilkan Putaran Uruguay tediri dari multilateral trade agreements dan plurilateral trade agreements. Persetujuan-persetujuan tersebut merupakan hasil perundingan atas 15 subyek Putaran Uruguay yang menyangkut masalah Tariff, Non-Tariff Measures, Tropical Products, Natural Resource-Based Products, Textiles and Clothing, Agriculture, GATT Articles, MTN Agreements and Arrangements, Subsidies and Countervailing Measures, Dispute Settlement, Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) including trade in counterfeit goods, Trade Related Investment Measures (TRIMs), Functioning of the GATT system (FOGs), Safeguard, dan Trade in Services.
Salah satu persetujuan sebagaimana disebutkan di atas adalah Agreement On The Application Of Sanitary And Phytosanitary Measures (SPS Agreement), yang berdasarkan Annex A dari SPS Agreement, SPS meliputi tindakan – tindakan yang dapat dilakukan oleh negara anggota WTO[3] untuk:
1.    melindungi kehidupan atau kesehatan hewan atau tanaman dalam wilayah Anggota dari risiko yang timbul dari masuknya, pembentukan atau penyebaran hama, penyakit, organisme pembawa penyakit atau organisme penyebab penyakit;
2.    melindungi kehidupan atau kesehatan manusia atau hewan dalam wilayah Anggota dari risiko yang timbul dari aditif, kontaminan (zat-zat yang mencemarkan), toksin atau organisme penyebab penyakit yang terkandung dalam makanan, minuman atau bahan pakan ternak;
3.    melindungi kehidupan dan kesehatan manusia dalam wilayah Anggota dari risiko yang timbul dari penyakit yang dibawa hewan, tanaman atau produknya, atau dari masuknya, pembentukan atau penyebaran hama; atau
4.    mencegah atau membatasi kerugian lain dalam wilayah Anggota yang timbul dari masuknya, pembentukan atau penyebaran hama.
Tindakan – tindakan perlindungan sebagaimana dimaksudkan di atas tidak di atur secara jelas didalam SPS Agreement, sehingga negara anggota dapat secara bebas menerapkan tindakan yang sesuai untuk melindungi kesehatan dari warga negaranya, sebagaimana disebutkan didalam Pasal 2 ayat 1 dari SPS Agreement:
“Members have the right to take sanitary and phytosanitary measures necessary for the protection of human, animal or plant life or health, provided that such measures are not inconsistent with the provisions of this Agreement.”
Terjemahan bebas”[4]
”Para Anggota berhak untuk mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, hewan dan tanaman dengan ketentuan bahwa tindakan-tindakan itu tidak menympang dari ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ini.”

Contoh dari tindakan yang dapat dilaksanakan oleh negara anggota meliputi:
1.    Menerapkan syarat hewan atau produk dengan bahan baku hewan yang diimport harus dari wilayah yang bebas dari penyakit;
2.    Inspeksi/pemeriksaan kandungan racun microbiologi suatu produk yang diimport;
3.    Menginstruksikan tindakan fumigasi khusus untuk produk yang diimport;
4.    Mensyaratkan kadar pestisida yang dapat diterima didalam makanan;
5.    Larangan masuk produk yang mengandung bahan – bahan beracun yang membahayakan kesehatan manusia.
Berdasarkan pemahaman di atas maka dapat disimpulkan SPS Agreement merupakan persetujuan WTO, yang memberikan hak kepada negara anggota untuk dapat melakukan tindakan perlindungan atas masuknya produk kedalam wilayahnya dari negara anggota lain yang dapat membahayakan kesehatan dari warga negaranya. Amerika Serikat setelah peristiwa yang terjadi pada tanggal 11 September 2001, yang mengakibatkan hancurnya menara kembar World Trade Center dan Pentagon, akibat dari pengeboman yang dilakukan kelompok teroris, telah memperketat aturan – aturan hukum yang terkait dengan perdagangan internasional. Salah satu bentuk dari pengetatan tersebut adalah dengan Terbitnya Public Health Security And Bioterrorism Preparedness And  Response Act Of 2002 (Public Law 107–188—June 12, 2002) yang pada intinya bertujuan memberikan kewenangan pada sekretariat kesehatan dan pelayanan masyarakat untuk melaksanakan aksi perlindungan terhadap keamanan persediaan pangan nasional dari ancaman kontaminasi yang disengaja. Peraturan baru itu akan diterapkan pada semua produk pangan dan produk pakan ternak yang diatur oleh Food and Drug Administration (FDA), termasuk supplemen pangan, formula bayi, minuman dan feed additive, kecuali daging non unggas, daging ayam dan produk telur olahan, yang diatur oleh Deptan AS (USDA).
Ketentuan mengikat lainnya yang diatur didalam Bioterrorism Act adalah mengenai registrasi fasilitas (pabrik) pangan, baik domestik maupun asing yang memproduksi, memproses, mengemas atau menyimpan pangan untuk konsumsi di dalam negeri AS. Registrasi oleh FDA paling lambat tanggal 12 Desember 2003. Registrasi terdiri dari penyediaan informasi mencakup nama perusahaan, alamat dan hal lain yang terkait[5]. Juga diatur mengenai pendataan sumber pangan (pemasok) dan penerimanya secara cepat, meski restoran tidak dikenakan peraturan ini.
FDA juga harus menerima maklumat lanjutan pada setiap pengapalan bahan pangan impor ke AS. Informasi atau maklumat tersebut harus mencakup gambaran bahan pangan impor, perusahaan dan kapal pembawa bahan pangan impor, proses budi daya, negara asal bahan pangan impor, negara di mana bahan pangan impor tersebut dikapalkan, dan antisipasinya di pintu masuk[6].
            Berdasarkan hal tersebut maka Amerika Serikat telah menggunakan haknya untuk melakukan tindakan – tindakan yang diperlukan untuk melindungi dari gangguan atau bahaya kesehatan bagi warga negaranya, hewan ataupun tumbuhan yang terdapat didalam wilayah negara Amerika Serikat. Hak untuk melakukan tindakan yang diperlukan untuk perlindungan sebagaimana dimaksudkan di atas merupakan pengecualian yang diberikan untuk penerapan prinsip Free Trade (Pasar Bebas) WTO yang pada intinya adalah pengurangan atau penghapusan hambatan perdagangan. Tindakan perlindungan atas kesehatan warga negara, hewan dan tumbuhan didalam wilayah anggota WTO merupakan salah satu hambatan perdagangan internasional[7]. Berdasarkan GATT 1994 maka pelaksanaan dari tindakan – tindakan pengamanan atas kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan dapat dilaksanakan dengan dasar hukum SPS Agreement.
            Permasalahan dari pembentukan Bioterrorism Act, adalah aturan hukum ini dapat menjadi hambatan baru dalam perdagangan. Hal ini akan mempengaruhi lalu lintas ekspor negara – negara pengekspor makanan. Sebanyak 9 (sembilan) negara anggota WTO telah me nyatakan keberatan terhadap pemberlakuan Bioterrorism Act. Negara-negara tersebut adalah Swiss, Canada, Brazil, Chile, Uni Eropa, ASEAN, Kroasia, Turki, dan Cina. Mereka menyampaikan keprihatinannya tentang hal ini dan meminta agar peraturan tersebut ditinjau kembali[8]. Hal lain yang dapat menjadi masalah adalah kesesuaian antara Bioterrorism Act dengan SPS Agreement. Berikut merupakan analisa tentang permasalahan – permasalahan tersebut.
B.      Tindakan Perlindungan Kesehatan Manusia, Hewan Dan Tumbuhan (SPS)
Selain hambatan perdagangan dalam bentuk tarif seperti penerapan bea masuk,  dan pajak , berdasarkan GATT 1994 maka terdapat kelompok hambatan lain yang dapat mengganggu perdagangan antar negara yang disebut hambatan bukan tariff (Non Tariff Barriers), yang salah satunya adalah tindakan SPS yang dilakukan suatu negara. Tindakan SPS tersebut dianggap menjadi suatu hambatan karena kebijakan suatu negara untuk melakukan tindakan SPS dalam prakteknya memberikan kesulitan bagi negara lain untuk dapat mengekspor produk kepada negara yang menerapkan tindakan tersebut. Tindakan SPS ini, didalam Putaran Perundingan Perdagangan menjadi isu yang sangat penting, dikarenakan tindakan tersebut sangat terkait dengan perdagagan produksi pertanian, sektor yang sangat sulit untuk diliberalisasi dan tindakan pengamanan kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan serta tindakan SPS masuk didalam wilayah politik kebijakan pemerintah yang sensitif, yaitu kesehatan manusia. Berdasarkan atas hal tersebut maka negara anggota WTO sepakat untuk mengatur hal ini dalam perjanjian sendiri yang tidak dapat dipisahkan dengan GATT 1994, dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan antara tujuan dilaksanakan pasar bebas dengan hak suatu dari suatu negara untuk membentuk peraturan dalam rangka perlindungan kesehatan bagi warga negaranya[9]. Berdasarkan atas hak tersebut maka telah diterbitkan SPS Agreement yang menjadi lampiran dari GATT 1994, dan bagian yang tidak dipisahkan dengan GATT 1994. SPS Agreement pada intinya mengatur terbatas pada tindakan SPS.
Perlu diuraikan bahwa pada dasarnya tindakan pengamanan yang dilakukan untuk melindugi kesehatan tidak kesemuanya diatur didalam SPS Agreement. Berdasarkan Lampiran A, Angka 1, disebutkan secara terbatas, tindakan apa yang diatur didalam SPS Agreement, yaitu :
1.    Tindakan yang ditujukan untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia atau hewan dari kandungan resiko dalam makanan;
2.    Tindakan yang ditujukan untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, hewan atau tumbuhan dari resiko hama atau penyakit.
Perlu disebutkan bahwa tindakan di atas dikhususkan untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, hewan dan tanaman didalam wilayah suatu negara dikecualikan terhadap tindakan yang dilakukan di wilayah ekstra-teritorial. Latar belakang dari diaturnya tindakan SPS didalam SPS Agreement adalah diaturnya masalah larangan perdagangan produk untuk melindungi kesehatan didalam GATT 1947, dimana didalam Pasal XX diatur pengecualian atas aturan didalam GATT 1947, yang dapat dilakukan oleh negara anggota berdasarkan kedaulatannya untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, hewan serta tanaman. Pembatasan dari tindakan yang dapat dilakukan oleh negara anggota di atas adalah pelaksanaan dari tindakan tersebut tidak menjadi alat  untuk melakukan diskriminasi yang atas negara anggota lain dengan cara yang tidak dibenarkan dan subyektif  atau pembatasan perdagangan yang terselubung.
SPS agreement memperbolehkan negara anggota untuk menerapkan kebijakannya sendiri untuk menentukan standar kesehatan atau tindakan yang dapat dilakukan untuk mengamankan produk pangannya ataupun atas hewan dan tanaman didalam wilayahnya. Dalam melakukan haknya tersebut didalam Pasal 2 Ayat 2 SPS Agreement negara anggota wajib memastikan bahwa setiap tindakan-tindakan SPS didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah yang sesuai dengan standar internasional.
SPS Agreement secara garis besar mengatur beberapa hal yang harus dipatuhi oleh negara anggota dalam hal membentuk peraturan untuk perlindungan terhadap kesehatan dan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan didalam wilayahnya, hal – hal utama yang di atur didalam SPS Agreement dalam hal ini adalah:
1.    Scientific Validation (Kepastian secara ilmiah)
Pasal 2 dari SPS Agreement mengatur bahwa anggota WTO memiliki hak untuk mengadopsi tindakan SPS untuk memenuhi tingkat kesehatan yang diatur didalam wilayahnya. Hal tersebut disebut juga ALOP (Appropriate Level of Protection) atau tingkat resiko yang dapat diterima. Dalam menerapkan hal tersebut maka negara anggota wajib mendasarkan penilaian kesehatan akan suatu produk dengan menggunakan prinsip ilmiah, sehingga hasilnya dapat dibuktikan secara ilmiah, pengecualian atas hal ini adalah dengan menggunakan penelitian ilmiah atas resiko.
2.    Harmonization (Harmonisasi) – Mendasarkan tindakan yang dilakukan sesuai dengan standar internasional
Pasal 3 SPS Agreement menyebutkan bahwa SPS Agreement mendorong negara anggota untuk mendasarkan tindakan yang dilakukan pada standar, panduan, dan rekomendasi internasional dalam hal tindakan tersebut diatur secara internasiona. Hal ini memfasilitasi penyeragaman atau pembentukan, pengakuan dan penerapan dari ketentuan SPS, dari negara anggota yang berbeda. Dengan penyeragaman dengan standar internasional, ketahanan pangdan dan perlindungan kesehatan atas hewan serta tanaman akan terwujud dengan tanpa melakukan pembatasan perdagangan yang berlebihan.  
3.    Pelaksanaan Tindakan SPS dengan Tidak Menggunakan Standar Internasional
Negara anggota tidak kecualikan untuk menggunakan standar internasional dalam melakukan tindakan SPS dalam hal tidak terdapat standar internasional atas tindakan yang akan dilaksanakannya atau penelitian dengan tanpa menggunakan standar internasionak tersebut ditujukan untuk dapat lebih melindungi kesehatan daripada penelitian yang dilakukan dengan standar internasional. Berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 5 SPS Agreement, negara anggota dapat menerapkan tindakan SPS yang lebih ketat daripada standar internasional terkait atau menerapkan tindakan SPS sendiri, karena tidak standar internasional atas tindakan tersebut, tindakan tersebut dibatas pada:
a.      Harus didasarkan pada penelitian ilmiah atas resiko;
b.      Dipergunakan secara terus menerus atas kasus yang sama;
c.      Tidak membatasi perdagangan lebih dari yang diperlukan.
4.    Consistency
Persyaratan konsistensi berdasarkan Pasal 5.5 SPS Agreement adalah negara anggota harus menghindari perbedaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan yang mengakibatkan adanya diskriminasi atau pembatasan perdagangan internasional yang terselubung.
5.    Pembatasan yang sesuai (Not More Trade Restrictive than Necessary)
Pasal 5.6 SPS Agreement, mensyarakatkan negara anggota untuk menerapkan  tindakan yang tidak melebihi pembatasan perdagangan yang diperlukan untuk mendapatkan tingkat perlindungan yang sesuai. Hal ini menunjukan ketika negara anggota menggunakan alternatif tindakan (tidak menggunakan standar internasional) untuk mencapai tingkat perlindungan yang tepat, pemerintah didalam negara anggota harus menerapkan tindakan pembatasan perdagangan yang tepat (tidak berlebihan).
6.    Tindakan Pendahuluan (Provisional Measures)
Tindakan pendahuluan di atur didalam Pasal 5.7 SPS Agreement yang memperbolehkan pelaksanaan tindakan pendahuluan ketika tidak ada bukti ilmiah yang mencukupi untuk menetapkan keputusan yang final atas keamanan dari suatu barang atau proses. Dalam hal ini di atur dalam melakukan hal ini maka negara anggota diwajibkan untuk mencari informasi tambahan yang diperlukan untuk penelitian resiko yang lebih obyektif dan mengevaluasi kembali dalam jangka waktu yang cukup tindakan SPS yang telah dilaksanakan.
7.    Keseimbangan – ketika tindakan yang berbeda satu sama lain menghasilkan tingkat perlindungan kesehatan yang sama
Pasal 4 SPS Agreement mengatur bahwa dimungkinkan melakukan beberapa tindakan SPS yang menghasilkan tingkat pengamanan yang sama. Berdasarkan atas hal tersebut negara yang mengimport produk berkewajiban untuk melaksanakan tindakan tersebut bilamana tindakan tersebut akan mencapai tingkat perlindungan yang sama.
8.    Regionalisasi – Menyesuaikan tindakan SPS dengan kondisi regional
Hal tersebut terkait dengan wilayah, dimana negara anggota yang akan melakukan tindakan SPS, diwajibkan  menelaah terlebih dahulu keadaan didalam wilayah tersebut dalam hal hanya beberapa daerah yang terbukti produknya membahayakan , bilamana hasil penelaahan tersebut hanya beberapa wilayah yang terbukti memproduksi barang yang mengandung ancaman bagi kesehatan.
9.    Kontrol, Inspeksi dan Prosedur Persetujuan
Lampiran C dari SPS Agreement menyaratkan dalam prosedur uji coba dan inspeksi untuk menerapkan tindakan SPS tidak menjadi hambatang atas perdaganagn internasional.
Bilamana dilihat dari aturan – aturan umum di atas maka SPS Agreement mencoba membatasi tindakan negara dalam melakuan tindakan SPS, dimana disebutkan oleh Van den Bossche bahwa tindakan SPS merupakan tindakan yang dapat merupakan hambatan bagi pelaksanaan perdagagan bebas, akan tetapi sekaligus merupakan kewajiban politik dari pemerintah yang berkuasa untuk melindungi kesehatan warga negaranya, berdasarkan atas hal tersebut maka dibentuklah SPS Agreement, yang mengecualikan pelaksanaan hambatan perdagangan dalam hal perlindungan kesehatan manusia, hewan dan tanaman didalam wilayahnya. Tindakan atau aturan yang dibentuk harus sesuai dengan ketentuan yang terdapat didalam SPS Agreement.
C.      Penerapan Bioterrorism Act oleh Amerika Serikat dan Kesesuaiannya dengan SPS Agreement
Sejak peristiwa 11 September 2001, yang menghancurkan gedung kembar World Trade Center dan Pentagon serta korban jiwa dengan jumlah yang sangat besar di Amerika Serikat, pemerintah Amerika Serikat mulai memperketat pengamanan negaranya dari ancaman teroris. Pengamanan yang dilaksanakan oleh Amerika Serikat tidak hanya dalam kaitannya dengan pengawasan pihak keamanan terhadap orang asing yang berkunjung ke Amerika Serikat tapi juga pada jenis pangan yang dianggap secara sengaja diimport kedalam wilayah Amerika Serikat dengan keadaan yang sedemikian rupa sehingga dapat membahayakan kesehatan manusia.
Pemerintah AS telah menandatangani Public Health Security and Bioterrorism Preparedness and Response Act (Bioterrorism Act) pada tanggal 12 Juni 2002. Rancangan peraturan tersebut memberikan kewenangan kepada FDA (Food and Drug Administration) untuk mengambil aksi guna melindungi persediaan pangan di Amerika Serikat dari gangguan kontaminasi baik yang disengaja maupun tidak disengaja dan hal-hal terkait dengan keadaan darurat kesehatan masyarakat yang terkait dengan masalah pangan[10]. Berkaitan dengan pelaksanaaan Bioterrorism Act tersebut, pada tanggal 10 Oktober 2003 FDA telah mengeluarkan dua (2) peraturan yang berkaitan dengan Registrasi Masalah Pangan (Section 305) dan Pemberitahuan Dini Importasi Pangan (Section 305). Status kedua peraturan tersebut adalah Interim Final Rules yang berarti bahwa ketentuan tersebut tetap akan berlaku seperti jadwal semula yaitu 12 Desember 2003, namun FDA masih akan menerima tanggapan atas beberapa isu khusus terkait dari pihak-pihak terkait baik didalam negeri AS sendiri maupun masyarakat internasional di luar AS sebelum final rules dipublikasikan. Batas waktu pemberian tanggapan adalah hingga 24 Desember 2003. Pemberian kelonggaran waktu bagi FDA tersebut adalah untuk memperhatikan tanggapan-tanggapan dari para praktisi sehingga dapat mengurangi gangguan perdagangan.
Kedua interim final regulations tersebut adalah berbeda dengan usulan peraturan yang telah dipublikasikan pada bulan Febuari 2003 sebagai akibat dari masukan para mitra dagang dari seluruh dunia. Kedua peraturan tersebut mengatur prosedur baru bagi perusahaan asing yang mengekspor makanan, pakan dan ternak hidup ke AS. Fasilitas pangan baik domestik maupun asing yang memproduksi, memproses, mengemas, atau menyimpan pangan atau pakan ke AS harus mendaftar ke AS sebelum 12 Desember 2003.
Bagi fasilitas asing, registrasi harus mencantumkan nama seorang agen di AS. Agen yang dimaksud adalah seseorang yang tinggal di AS atau yang melakukan bisnis di AS dan ditunjuk oleh fasilitas asing sebagai agennya di AS. Agen tersebut adalah individual / seseorang yang mencakup importir, custom brokers, atau lainnya dimana fasilitas asing telah menjalin hubungan bisnis. Agen yang berada di AS tersebut wajib melakukan registrasi fasilitas asing mitra dagangnya apabila mendapat otoritas dari fasilitas yang bersangkutan.
Registrasi dapat dilakukan secara elektronis (faximil), melalui internet, atau melalui, atau melalui pengisian kertas formulir yang kemudian dikirim melalui pos. Registrasi ganda (multiplie) dari sebuah perusahaan yang sama dapat dilakukan dengan menyerahkan form isian dalam bentuk CD ROM. Registrasi ini tidak dipungut biaya. FDA merencanakan untuk mulai menerima registrasi melalui internet pada tangal 16 Oktober 2003 (17 Oktober 2003) waktu Indonesia.
Akta Bioterorisme ini memberikan kewenangan kepada FDA untuk menahan pangan dari fasilitas asing yang tidak terdaftar di pelabuhan masuk kecuali FDA mengarahkan pangan tersebut disimpan pada suatu tempat yang aman. Ketika pangan tersebut dipindahkan, pihak swasta yang terlibat harus mengatur pemindahan barangnya dan memberitahukan kepada FDA tentang lokasi penyimpanan yang baru dan bertanggung jawab terhadap setiap biaya yang ditimbulkan dalam pemindahan dan penyimpanan bahan pangan tersebut. FDA akan segera mengumumkan rancangan penegakan hukum terhadap aturan ini.
Peraturan kedua mensyaratkan jika pemberitahuan dini (prior notice) harus diterima FDA sebelum pangan tersebut diimpor atau direncanakan untuk diimpor ke AS. Hal tersebut dapat memberikan informasi awal bagi FDA untuk lebih efektif mentargetkan inspeksi terhadap pengiriman yang dicurigai untuk menjamin keamanan produk pangan impor sebelum barang tersebut masuk kedalam pasar lokal di AS.
Beberapa perubahan jangka waktu pemberitahuan dini telah dibuat dalam interim final rules ini untuk meminimalkan gangguan perdagangan. Pemberitahuan dini wajib diterima dan dikonfirmasikan secara elektronis oleh FDA dalam jangka waktu kertentu tergantung dari tipe cara penyampaian (udara, laut, darat, kereta api atau surat internasional). Pemberitahuan dini wajib diterima dan dikonfirmasikan kepada FDA tidak lebih dari 5 hari sebelum barang datang (kecuali yang dengan surat), tidak kurang dari 2 jam bagi barang yang diangkut melalui darat, 4 jam sebelum barang tiba melalui udara atau kereta api, 8 jam sebelum untuk yang diangkut melalui laut dan sebelum pengapalan bagi barang yang datang melalui surat internasional.
Sebelum 12 Maret 2004, FDA akan segera menerbitkan rencana untuk mengurangi jangka waktu dalam pemberitahuan dini. Prior notice harus diserahkan secara elektronis melalui Bureau of Customs and Border Protection's Automated System (ABI / ACS) atau FDA's Prior Notice Interface System. Sistem FDA adalah berbasis internet sehingga akan beroperasi 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu. Aturan ini akan dinotifikasikan ke World Trade Organization (WTO).
FDA baru-baru ini telah menyelesaikan risk assessment kualitatif terhadap dampak dan kerawanan yang ditimbulkan dalam sistem pasokan pangan di AS apabila terjadi sebuah aksi terorisme. Hasil assessment tersebut akan dipublikasikan. Pemerintah AS berencana untuk melakukan sosialiasi aturan ini secara besar-besaran. Pada 28 Oktober 2003, akan diadakan penjelasan oleh pejabat senior AS yang dapat diikuti melalui siaran satelit.
D.      Kesesuaian Bioterrorims Act dengan Agreement on The Application of Sanitary and Phytosanitary Measures
Pembentukan Bioterrorism Act di Amerika didasarkan pada hak yang diberikan oleh GATT 1994, yang mana disebutkan didalam Pasal XX, GATT 1994 yang menyatakan:
Article XX
General Exceptions

Subject to the requirement that such measures are not applied in a manner which would constitute a means of arbitrary or unjustifiable discrimination between countries where the same conditions prevail, or a disguised restriction on international trade, nothing in this Agreement shall be construed to prevent the adoption or enforcement by any contracting party of measures: …
(b)    necessary to protect human, animal or plant life or health;

Berdasarkan atas hal tersebut maka Amerika Serikat memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan untuk menghambat masuknya produksi dari negara anggota WTO yang lain, dalam hal produksi tersebut dapat membahayakan kesehatan dan kehidupan masyarakat, hewan dan tanaman[11]. Pelaksanaan dari hak yang diberikan didalam Pasal XX GATT 1994 dilakukan dengan persyaratan yang di atur didalam SPS Agreement. Syarat – syarat yang harus dipenuhi untuk menerapkan tindakan SPS oleh suatu negara secara umum menurut SPS Agreement adalah[12]:
1.    Scientific Validation (Kepastian secara ilmiah)
2.    Harmonization (Harmonisasi) – Mendasarkan tindakan yang dilakukan sesuai dengan standar internasional
3.    Pelaksanaan Tindakan SPS dengan Tidak Menggunakan Standar Internasional
4.    Konsisten (Consistency)
5.    Pembatasan yang sesuai (Not More Trade Restrictive than Necessary)
6.    Tindakan Pendahuluan (Provisional Measures)
7.    Keseimbangan – ketika tindakan yang berbeda satu sama lain menghasilkan tingkat perlindungan kesehatan yang sama
8.    Regionalisasi – Menyesuaikan tindakan SPS dengan kondisi regional
Kewajiban untuk mendasarkan tindakan SPS untuk perlindungan kesehatan masyarakat oleh negara anggota, atas standar internasional, akan tetapi bilamana atas tindakan tersebut ataupun penentuan dasar untuk melaksanakan tindakan tersebut tidak terdapat standar internasional yang dapat menjadi acuan maka suatu negara yang akan menerapkan tindakan SPS kepada negara lain harus mendasarkan tindakannya pada :
1     based on scientific risk assessment (didasarkan pada penilaian resiko);
2     consistently applied (dipergunakan secara konsisten)
3     not more trade restrictive than necessary (tidak lebih dari hambatan perdagangan yang diperlukan).
Perlu diketahui bahwa Bioterrorism Act yang dibentuk oleh Amerika Serikat tidak mensyaratkan adanya hal tersebut di atas, walaupun alasan tidak digunakannya standar internasional dapat dibenarkan mengingat, istilah bioterrorism sendiri yang merupakan hal yang baru, dimana dapat diartikan serangan teroris secara biologi hal mana telah terjadi tidak hanya di Amerika Serikat tapi dinegara lain, contohnya adalah Kelompok teroris di negara Jepang yang menebarkan spora bakteri antraks yang dicampur gas penekan saraf sarin di dalam gerbong-gerbong kereta api cepat bawah tanah (subway) di Tokyo tahun 1993. Selain terorisme, kelompok sekte pengikut Bhagwan Shree Rajneesh juga telah menggunakan bakteri Salmonella guna melakukan gerakan bunuh diri massal, dengan menyuntikkan bakteri ini pada 750 orang pengikut sekte tersebut di Oregon tahun 1984.
Didalam Bioterrorism Act Title III, tidak terdapat hal yang secara jelas mengatur tentang pelaksanaan dari Risk Assesment, dan konsistensinya. Berdasarkan atas hal tersebut memang Amerika Serikat pada 28 Oktober 2003 telah dilaksanakan publikasi atas Risk Assesment yang akan diterapkan didalam tindakan perlindungan yang akan dilaksanakan berdasarkan pada Bioterrorism Act. Hal tersebut disebutkan dalam tanggapan atas pembentukan Bioterrorism Act oleh European Commission:
“The European Communities fully share the US aim to provide measures to ensure an effective control of the food and feed chain, namely deriving from the terrorist threat. It is noted, also, that there is no risk assessment provided in relation to the proposed measures as requested by the SPS Agreement[13].”

Permasalahan yang juga akan disebutkan disini adalah tentang prinsip “not more trade restrictive than necessary,” dimana pelaksanaan dari Bioterrorism Act akan mengakibatkan biaya – biaya yang sangat besar dan kesulitan bagi pengusaha – pengusaha dari luar Amerika Serikat sehingga akan dapat menghambat masuknya produksi ke Amerika Serikat. Selayaknya sebagaimana disebutkan didalam Pasal 5  ayat 3 dan 4 SPS Agreement:
1     In assessing the risk to animal or plant life or health and determining the measure to be applied for achieving the appropriate level of sanitary or phytosanitary protection from such risk, Members shall take into account as relevant economic factors:  the potential damage in terms of loss of production or sales in the event of the entry, establishment or spread of a pest or disease;  the costs of control or eradication in the territory of the importing Member;  and the relative cost-effectiveness of alternative approaches to limiting risks.
2     Members should, when determining the appropriate level of sanitary or phytosanitary protection, take into account the objective of minimizing negative trade effects.
Terjemahan bebas:
1.    Dalam menaksir risiko bagi kehidupan dan kesehatan hewan maupun tanaman dan menetapkan tindakan yang harus diterapkan untuk mencapai tingkat perlindungan kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan yang layak terhadap risiko itu, Para Anggota harus memperhatikan faktor-faktor ekonomi yang relevan seperti : kerugian potensial berupa rugi dalam produksi atau penjualan apabila hama atau penyakit timbul, berkembang atau menyebar; biaya pengendalian atau pembasmian dalam wilayah Anggota pengimpor; dan aspek manfaat relatif terhadap biaya dari berbagai pilihan pendekatan untuk membatasi risiko.
2.    Para Anggota harus, jika menentukan tingkat perlindungan kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan yang layak, memperhatikan tujuan memperkecil dampak negatif terhadap perdagangan.
Penerapan Title III, Bioterrorism Act, yang menyebutkan harus adanya pendaftaran para importir barang yang akan memasukan barang ke Amerika Serikat dan juga penerapan atas karantina yang hanya berdasarkan atas pihak yang dianggap berwenang, dimana karantina akan di dilakukan dengan biaya dari eksportir. Permasalahan juga timbul ketika adanya kewajiban pemberitahuan dini yang harus dilakukan oleh eksportir. Proses atau penerapan dari hal ini akan menghambat masuknya barang dari negara importir ke Amerika Serikat, yang dimungkin akan merugikan bagi pihak eksportir. Selayaknya Amerika Serikat mendasarkan proses pendaftaran dan pemeriksaan dini sesuai dengan Pasal 5 ayat 3, dimana menilai dari keadaan atau wilayah dari importir dan dampak tindakan SPS tersebut terhadap industri dari eksportir.
Pemeriksaan dan pendaftaran hanya dilaksanakan oleh pihak FDA bagi pihak asing, dimana untuk industri Amerika Serikat tidak dilaksanakan pendaftaran tersebut, yang selayaknya berdasarkan SPS Agreement Amerika Serikat juga harus melaksanakan tindakan SPS kepada industri dalam negerinya.
                                               
E.      Kesimpulan
Berdasarkan atas penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Bioterrorism Act yang diterapkan oleh Amerika Serikat harus sesuai dengan aturan umum yang ada didalam SPS Agreement. Pelaksanaan dari Bioterrorism harus dilakukan dengan pelaksanaan dari penelaahan tentang dampak atas pelaksanaan tindakan SPS tersebut kepada negara yang dikenakan tindakan SPS. Bioterrorism Act harus dilakukan dengan Risk Assesment yang dilaksanakan secara konsisten. Penerapan harus dilakukan bagi semua produsen barang baik dari pihak asing maupun dalam negeri. Berdasarkan atas hal tersebut Amerika Serikat telah melanggar prinsip umum yang terdapat didalam SPS Agreement, yaitu:
SPS Agreement secara garis besar mengatur beberapa hal yang harus dipatuhi oleh negara anggota dalam hal membentuk peraturan untuk perlindungan terhadap kesehatan dan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan didalam wilayahnya, hal – hal utama yang di atur didalam SPS Agreement dalam hal ini adalah:
1.    Scientific Validation (Kepastian secara ilmiah)
Pasal 2 dari SPS Agreement mengatur bahwa anggota WTO memiliki hak untuk mengadopsi tindakan SPS untuk memenuhi tingkat kesehatan yang diatur didalam wilayahnya. Hal tersebut disebut juga ALOP (Appropriate Level of Protection) atau tingkat resiko yang dapat diterima. Dalam menerapkan hal tersebut maka negara anggota wajib mendasarkan penilaian kesehatan akan suatu produk dengan menggunakan prinsip ilmiah, sehingga hasilnya dapat dibuktikan secara ilmiah, pengecualian atas hal ini adalah dengan menggunakan penelitian ilmiah atas resiko.
2.    Harmonization (Harmonisasi) – Mendasarkan tindakan yang dilakukan sesuai dengan standar internasional
Pasal 3 SPS Agreement menyebutkan bahwa SPS Agreement mendorong negara anggota untuk mendasarkan tindakan yang dilakukan pada standar, panduan, dan rekomendasi internasional dalam hal tindakan tersebut diatur secara internasiona. Hal ini memfasilitasi penyeragaman atau pembentukan, pengakuan dan penerapan dari ketentuan SPS, dari negara anggota yang berbeda. Dengan penyeragaman dengan standar internasional, ketahanan pangdan dan perlindungan kesehatan atas hewan serta tanaman akan terwujud dengan tanpa melakukan pembatasan perdagangan yang berlebihan. 
3.    Pelaksanaan Tindakan SPS dengan Tidak Menggunakan Standar Internasional
Negara anggota tidak kecualikan untuk menggunakan standar internasional dalam melakukan tindakan SPS dalam hal tidak terdapat standar internasional atas tindakan yang akan dilaksanakannya atau penelitian dengan tanpa menggunakan standar internasionak tersebut ditujukan untuk dapat lebih melindungi kesehatan daripada penelitian yang dilakukan dengan standar internasional. Berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 5 SPS Agreement, negara anggota dapat menerapkan tindakan SPS yang lebih ketat daripada standar internasional terkait atau menerapkan tindakan SPS sendiri, karena tidak standar internasional atas tindakan tersebut, tindakan tersebut dibatas pada:
d.      Harus didasarkan pada penelitian ilmiah atas resiko;
e.      Dipergunakan secara terus menerus atas kasus yang sama;
f.       Tidak membatasi perdagangan lebih dari yang diperlukan.
4.    Consistency
Persyaratan konsistensi berdasarkan Pasal 5.5 SPS Agreement adalah negara anggota harus menghindari perbedaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan yang mengakibatkan adanya diskriminasi atau pembatasan perdagangan internasional yang terselubung.
5.    Pembatasan yang sesuai (Not More Trade Restrictive than Necessary)
Pasal 5.6 SPS Agreement, mensyarakatkan negara anggota untuk menerapkan  tindakan yang tidak melebihi pembatasan perdagangan yang diperlukan untuk mendapatkan tingkat perlindungan yang sesuai. Hal ini menunjukan ketika negara anggota menggunakan alternatif tindakan (tidak menggunakan standar internasional) untuk mencapai tingkat perlindungan yang tepat, pemerintah didalam negara anggota harus menerapkan tindakan pembatasan perdagangan yang tepat (tidak berlebihan).
6.    Tindakan Pendahuluan (Provisional Measures)
Tindakan pendahuluan di atur didalam Pasal 5.7 SPS Agreement yang memperbolehkan pelaksanaan tindakan pendahuluan ketika tidak ada bukti ilmiah yang mencukupi untuk menetapkan keputusan yang final atas keamanan dari suatu barang atau proses. Dalam hal ini di atur dalam melakukan hal ini maka negara anggota diwajibkan untuk mencari informasi tambahan yang diperlukan untuk penelitian resiko yang lebih obyektif dan mengevaluasi kembali dalam jangka waktu yang cukup tindakan SPS yang telah dilaksanakan.
7.    Keseimbangan – ketika tindakan yang berbeda satu sama lain menghasilkan tingkat perlindungan kesehatan yang sama
Pasal 4 SPS Agreement mengatur bahwa dimungkinkan melakukan beberapa tindakan SPS yang menghasilkan tingkat pengamanan yang sama. Berdasarkan atas hal tersebut negara yang mengimport produk berkewajiban untuk melaksanakan tindakan tersebut bilamana tindakan tersebut akan mencapai tingkat perlindungan yang sama.
8.    Regionalisasi – Menyesuaikan tindakan SPS dengan kondisi regional
Hal tersebut terkait dengan wilayah, dimana negara anggota yang akan melakukan tindakan SPS, diwajibkan  menelaah terlebih dahulu keadaan didalam wilayah tersebut dalam hal hanya beberapa daerah yang terbukti produknya membahayakan , bilamana hasil penelaahan tersebut hanya beberapa wilayah yang terbukti memproduksi barang yang mengandung ancaman bagi kesehatan.
9.    Kontrol, Inspeksi dan Prosedur Persetujuan
Lampiran C dari SPS Agreement menyaratkan dalam prosedur uji coba dan inspeksi untuk menerapkan tindakan SPS tidak menjadi hambatang atas perdaganagn internasional.



           



[1] H.S. Kartadjoemena, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1997), hal. 3.
[2] Agus Brotosusilo, Dampak Yuridis, Pertimbangan Ekonomis Dan Cakrawala Sosiologis Ratifikasi “Agreement Establishing The World Trade Organization” Oleh Indonesia (Makalah disampaikan dalam Kuliah Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 2007 – 2008), hal. 2.
[3] World Trade Organization, GATT 1994 - Agreement On The Application Of Sanitary And Phytosanitary Measures, Annex A Paragraph 1.
[4] Ibid., Article 2.1.
[5] European Communities, Comments sent by the European Commission on implementing rule of US Bioterrorism Act, 4 April 2003.
[6] Ibid.
[7] Peter Van den Bossche, The Law and Policy of the World Trade Organization – Text, Cases and Material, (United States of America: Cambridge University Press, New York, 2007), hlm. 457.
[8] Pusat Standardisasi Dan Akreditasi Setjen - Departemen Pertanian, Sidang Komite SPS XXVI (diterbitkan dalam Infomutu Edisi April 2003 - Berita Standardisasi Mutu dan Keamanan Pangan), (April 2003): 6.
[9] Van den Bossche, op. cit., hlm. 462.
[10] Amerika Serikat, Public Health Security And Bioterrorism Preparedness And Response Act Of 2002, (Public Law 107–188—Juni 12, 2002)
[11] World Trade Organization, op. cit., Art. XXb.
[12] Edward A. Evans, Understanding the WTO Sanitary and Phytosanitary Agreement, (Florida: the Department of Food and Resource Economics, Florida Cooperative Extension Service, UF/IFAS, University of Florida, Gainesville, FL, 2004)
[13] World Trade Organization, Comments sent by the European Commission on implementing rule of US Bioterrorism Act Registration of Food Facilities, (Jenewa: 4 April 2003)

Tidak ada komentar: