Minggu, 12 Agustus 2012

PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT MELALUI HUBUNGAN VERTIKAL PELAKU USAHA (PERJANJIAN DISTRIBUSI BARANG)


ANALISIS LARANGAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT MELALUI HUBUNGAN VERTIKAL PELAKU USAHA (PERJANJIAN DISTRIBUSI BARANG)
Oleh: Eko Prilianto Sudradjat[1]

A.       PENDAHULUAN
Pasar di mana terdapat pelaku usaha yang memiliki posisi dominan, maka sistem distribusi pelaku usaha tersebut menjadi penting dan harus menjadi perhatian hukum persaingan. Posisi dominan yang dimiliki oleh suatu pelaku usaha mengindikasikan lemahnya tekanan persaingan dari pelaku usaha lain (inter-brand competition) pada pasar tersebut. Pada kondisi tersebut persaingan terjadi di dalam merek yang sama (intra-brand competition), sehingga harus dijaga agar konsumen tidak dirugikan atau kehilangan kebebasannya dalam menentukan pilihannya[2]. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Larangan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Persaingan Usaha) menganut dua asas yaitu per se illegal dimana apabila dalam suatu aktivitas perdagangan terdapat

jelas maksud atau tujuannya yang mempunyai akibat merusak persaingan maka hakim tidak perlu harus  mempermasalahkan masuk akal atau tidaknya dari peristiwa yang sama (analogi) sebelum menentukan bahwa peristiwa yang tersebut  merupakan pelanggaran hukum  persaingan dan rule of reason (Menyatakan suatu perbuatan dituduh melanggar hukum persaingan, maka pencari fakta harus mempertimbangkan  dan menentukan apakah perbuatan tersebut menghambat persaingan dengan menunjukkan akibatnya terhadap proses  persaingan dan apakah perbuatan itu tidak adil atau mempunyai pertimbangan lainnya) dalam mengawasi persaingan usaha di Indonesia.
Distribusi adalah cara untuk menjual suatu produk perusahaan kepada konsumennya. Perusahaan memiliki dua pilihan untuk menangani proses distribusi, yaitu[3]:
1.        Ekspansi internal dengan membentuk unit distribusi sebagai bagian dari perusahaan;
2.        Bekerjasama dengan pihak lain untuk mendistribusikan barang yang diproduksinya.
Permasalahan persaingan usaha akan terjadi didalam cara distribusi kedua, dimana perusahaan produksi menyerahkan distribusi kepada pihak lain.
di European Commnunity (EC), perjanjian distribusi dapat menjadi perjanjian yang dilarang, dan merupakan persaingan usaha tidak sehat, keadaan persaingan usaha tidak sehat dianggap timbul, ketika produk yang didistribusikan (bukan pangsa pasar distributornya)[4] di atas 30 (tiga puluh) % pada pasar bersangkutan[5].
            Disebutkan di atas maka, dapat terjadi didalam dua kondisi, yaitu:
1.  Hambatan yang terjadi secara horizontal dimana hubungan antara pelaku dengan pelaku pesaingnya yang sejajar terjadi dalam suatu industri yang sama, umumnya paling sering bersifat anti persaingan;
2.  Hambatan secara vertical Hubungan antara pelaku dengan pelaku usaha yang merupakan suatu jaringan proses produksi, biasa terjadi antara produser dengan distributor.
            Pada dasarnya dalam dunia bisnis, upaya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya merupakan perilaku yang wajar, akan tetapi langkah-langkah yang diambil untuk mencapai tujuan tersebut harus tetap dalam koridor yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B.       PERJANJIAN DISTRIBUSI DAN KEAGENAN
Di dalam hukum persaingan dikenal beberapa jenis perjanjian mengenai pemasaran, yang dikecualikan dari penerapan UU Persaingan Usaha, sepanjang perjanjian pemasaran tersebut tidak menghambat persaingan, yaitu perjanjian pemasaran eklusif, sistem pemasaran yang selektif dan perjanjian waralaba (franchise). Belum lama ini PT Indofood mengembangkan bisnis distribusi eceran lewat Tokcer (Toko Eceran), dan Warokah (Warung Barokah).
Satu unit gerai Tokcer diperhitungkan membutuhkan investasi sekitar Rp 10-50 juta. Sedangkan Warokah membutuhkan investasi sekitar Rp 5-10 juta. Dengan demikian Indomaret dan Alfa akan mendapat pesaing baru. Kemungkinan pola pemasarannya menggunakan sistem waralaba.
Perjanjian pemasaran eklusif adalah perjanjian antara produsen dengan agen, di mana melalui perjanjian tersebut pemasok wajib memasok barang atau jasa ke wilayah tertentu untuk dijual kembali. Pemasaran selektif adalah suatu pengertian organisasi penjualan, di mana produsen membatasi diri hanya kepada pemasok tertentu di dalam wilayah tertentu. Sedangkan waralaba adalah suatu sistem pemasaran yang vertikal, di mana pemberi waralaba mengalihkan konsep waralabanya kepada penerima waralaba dengan sejumlah pembayaran royalty fee. Ketiga sistem pemasaran ini di dalam hukum persaingan eropa dikecualikan.
Sementara di dalam hukum persaingan Indonesia perjanjian eksklusif dan pemasaran selektif tidak dikecualikan secara jelas, bahkan ketentuan pasal 15 ayat 1 dan 2 melarangnya. Pasal 15 ayat 1 menetapkan, bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan, bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
Pelaku usaha dalam hal ini dilarang membuat perjanjian dengan distributor yang memuat persyaratan bahwa hanya pihak tertentu yang menerima atau tidak menerima barang dan hanya pada tempat tertentu saja. Hal ini menetapkan dua pembatasan, yaitu bahwa pelaku usaha tidak hanya terbatas kebebasannya memilih distributor, tetapi juga dilarang menugaskan distributor tersebut memasok barang pada tempat tertentu saja.
Sementara di dalam pasal 50 huruf d dikecualikan perjanjian keagenan, yaitu perjanjian dalam rangka keagenan dikecualikan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang telah diperjanjikan. Artinya keagenan diizinkan asalkan tidak menjual barang di bawah harga yang ditetapkan. Tetapi di sini terdapat penetapan harga.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka sebelum melihat perjanjian distribusi yang dapat merupakan kegiatan persaingan usaha tidak sehat sesuai dengan UU Persaingan Usaha, maka harus dibedakan terlebih dahulu perjanjian – perjanjian pemasaran lainnya yang mungkin dikecualikan didalam UU Persaingan Usaha.
Salah satu perjanjian pemasaran yang tidak dilarang didalam UU Persaingan Usaha adalah keagenan. Berdasarkan penelaahan di atas, maka terdapat beberapa jenis perjanjian pemasaran, dimana untuk keagenan di kecualikan, sebagai perjanjian yang dapat menimbulkan monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Perbedaan distributor dan keagenan sangatlah penting, terutama dari sisi UU Persaingan Usaha yang mana mengecualikan perjanjian keagenan yang didalamnya tidak memiliki klausul Resale Price Maintenance sebagaimana disebutkan di dalam pasal 50 huruf d UU Persaingan Usaha, dimana perjanjian keagenan, dapat dikecualikan dalam hal perjanjian keagenan tersebut, tidak mengatur ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang telah diperjanjikan (Resale Price Maintenance).
Di dalam UU Persaingan Usaha tidak mengatur secara tegas apa yang disebut dengan distributor atau agen, sehingga dimungkinkan dalam prakteknya terdapat perjanjian – perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha yang ternyata memiliki akibat – akibat hukum seperti didalam suatu perjanjian keagenan.
Di Indonesia, peraturan yang menjelaskan kedua jenis kegiatan pemasaran di atas adalah di dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan Dan Tata Cara  Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran  Agen Atau Distributor Barang Dan/Atau Jasa (Permendag)[6]. Di dalam Permendag disebutkan distributor merupakan suatu pihak yang bertindak untuk dan atas namanya sendiri, melakukan pembelian, penyimpanan, penjualan serta pemasaran barang atau jasa yang dimiliki atau dikuasai. Sedangkan pihak yang disebut sebagai agen adalah pihak – pihak yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama prinsipal, melakukan pemasaran tanpa melakukan pemindahan hak fisik atas barang atau jasa yang dimiliki atau dikuasai oleh prinsipal yang menunjuknya[7].
Definisi dari distributor dan agen disebutkan juga didalam Guideline on Vertical Restraint yang diterbitkan oleh EC yang mana didalam panduan tersebut diutamakan dalam pembedaannya kedua kegiatan pemasaran dinilai secara faktual terhadap resiko finansial dan komersial yang terkait langsung dengan kontrak atau terkait dengan investasi pasar yang spesifik. Dalam perjanjian keagenan murni (genuine agency agreement), pihak yang menjadi agen tidak menanggung atau hanya menanggung secara tidak signifikan resiko keuangan dan komersial, keseluruhan resiko berada pihak yang menyerahkan hak pemasaran (prinsipal)[8]. Di dalam panduan yang diterbitkan oleh EC juga menilai jenis keagenan didalam prakteknya yang tidak secara murni, memiliki karakter perjanjian keagenan, dimana didalamnya di atur adanya tanggung jawab dari agen untuk menanggung resiko finansial dan komersial, yang mana perjanjian tersebut tidak dapat dianggap sebagai perjanjian keagenan dan hal ini tidak dikecualikan didalam UU Persaingan Usaha yang dibentuk oleh EC[9].
Panduan tersebut juga mengatur tentang resiko umum, yang merupakan suatu resiko untuk menyediakan jasa keagenan seperti pendapatan agen yang bergantung pada keberhasilan penjualannya atau penanaman modal umum berupa kantor dan staff, dianggap merupakan hal – hal yang tidak material dalam perhitungan resiko.

C.       JENIS PERJANJIAN DISTRIBUSI YANG MENGAKIBATKAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT
Tidak semua perjanjian distribusi dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat atau merugikan konsumen atau pihak distributor lainnya. Berikut akan dibahas jenis – jenis perjanjian distribusi yang mungkin mengandung kegiatan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana disebutkan didalam UU Persaingan Usaha. Pada umumnya perjanjian distribusi yang berpotensi untuk melanggar hukum persaingan dapat digolongkan kepada jenis – jenis sebagai berikut[10]:
1.  Single branding
Single branding adalah suatu perjanjian distribusi, yang didalam perjanjian tersebut diatur pembatasan hak kepada penerima hak pendistribusian untuk hanya menjual satu merek produser saja, distributor dilarang melakukan perjanjian dengan pelaku usaha lain.
Di dalam hal ini perusahaan dengan pangsa pasar (market power)yang kecil atau bahkan tidak memiliki pangsa pasar akan sukar melakukan perjanjian dengan distributor, dimana tentunya hal tersebut akan merugikan distributor, dengan larangan tidak dapat menjual merek lain, maka, distributor hanya dapat puas dengan keadaan pasar dari merek tersebut. Sebaliknya dalam hal perusahaan produksi barang memiliki pangsa besar yang besar dengan perjanjian single branding dapat mencegah adanya produk sejenis masuk kepasar. Akibatnya konsumen didalam pasar tersebut tidak ada pilihan lain, untuk hanya membeli merek tersebut, bahkan dimungkinkan konsumen menjadi korban atas kontrol harga dari perusahaan tersebut. Konsumen tidak memiliki alternatif pembanding untuk barang yang sejenis.
2.  Quantity Forcing
Quantity Forcing merupakan salah satu jenis single branding, dalam quantity forcing, distributor yang terikat didalam perjanjian dengan perusahaan produksi diperbolehkan untuk melakukan kegiatan produksi atas merek lain untuk barang sejenis. Perusahaan produksi dalam hal ini didalam perjanjiannya akan mengatur secara tegas kegiatan penjualan atas merek lain tersebut dilakukan setelah target penjualan yang dipesyaratkan telah dilampaui.
Dalam penetapan target penjualan atas barang, perusahaan produksi yang secara sepihak merubah target yang dipersyarakan. Hal ini memberikan kemungkinan yang sangat kecil suatu perusahaan distribusi dapat menjual barang sejenis dengan merek lain, karena target pasar akan selalu naik, sehingga semakin tingginya target pasar semakin kecil kemungkinan untuk menjual merek lain. Akibat yang dapat terjadi adalah sama dengan akibat yang terjadi di dalam single branding, perusahaan lain dann konsumen tidak memiliki pilihan lain, kecuali target pasar terpenuhi.
3.  Territorial Protection
Territorial protection adalah suatu perjanjian distribusi yang memberikan kewajiban distributor hanya diperbolehkan menjual kembali barang perusahaan produksi yang melakukan perjanjian dengannya didaerah yang ditentukan didalam perjanjiannya atau sebaliknya, perusahaan produksi yang melakukan perjanjian distribusi dilarang menunjuk distributor lainnya dalam suatu daerah pemasaran tertentu.
Pelaksanaan perjanjian distribusi dengan sistem territory protection dapat dilakukan dengan berbagai cara, beberapa diantaranya, dibahas berikut ini:
a.      Larangan untuk melakukan penjualan di luar wilayah yang telah ditentukan (active selling);
b.      Larangan menjual kepada pembeli yang berasal dari luar wilayah yang telah ditentukan (passive selling);
c.      Kewajiban memberitahukan atau meminta persetujuan kepada perusahaan yang memproduksi barang setiap saat distributor melakukan penjualan atas barang diluar wilayah yang ditentukan;
d.      Kewajiban  untuk meneruskan pesanan barang yang datang dari luar wilayah kepada perusahaan yang memproduksi barang;
e.      Pemberian tanda – tanda khusus dari masing – masing distributor pada barang yang akan diperdagangkan sehingga dapat dilacak peredaran barang dari atau masuk ke daerah pemasaran yang ditentukan dalam perjanjian;
f.       Larangan untuk saling menjual dengan sesame distributor (cross selling);
g.      Larangan untuk memberikan layanan purna jual terhadap barang yang dibeli dari distributor dari daerah pemasaran lain;
h.      Bentuk lain dari pembatasan distribusi barang yang fungsinya untuk melindungi penjualan barang didalam wilayah pemasaran yang diperjanjikan.
Territorial protection akan mengakibatkan tidak ada persaingan diantara merek yang sama (intra – brand competition), dimana pemasaran atas barang dibagi dalam wilayah – wilayah pemasaran. Dalam kondisi inter – brand competition yang lemah, intra – brand competition dapat memberikan perlindungan bagi konsumen. Tanpa adanya intra – brand competition, distributor dapat mengeksploitasi posisi dominannya dan mengakibatkan kerugian di pihak konsumen.


4.  Customer allocation
Customer allocation adalah perjanjian distribusi dimana distributor hanya diperbolehkan menjual barang kepada golongan pembeli tertentu, atau sebaliknya pengusaha yang memproduksi barang dilarang menjual kepada golongan pembeli tertentu. Berbeda dengan territorial protection yang mengalokasikan wilayah kepada masing – masing distributor, customer allocation menerapkan pembagian konsumen berdasarkan kelas atau jenisnya kepada masing – masing distributor. Dampak yang ditimbulkan oleh jenis distribusi ini sama dengan dampak yang timbul oleh territorial protection, yaitu hilangnya intra – brand competition.
5.  Selected distribution agreement
Selected distribution agreement didalam jenis pendistribusian barang dimana distributor hanya dapat melakukan distribusi atas barang kepada konsumen terakhir. Didalam perjanjian distribusi ini, perusahaan yang memproduksi barang akan melakukan perjanjian dengan distributor tertentu, dan antara distributor tersebut dilarang melakukan penjualan atas barang kepada distributor yang ditunjuk melalui perjanjian ini.
Selected distribution agreement membatasi persaingan barang sejenis akan tetapi EC tidak melarang hal ini, dengan syarat perusahaan yang memproduksi barang menerapkan kriteria pemilihan distributor yang objektif, kualitatif dan tidak berlebihan dalam mendistribusikan produk – produknya. Menurut EC dalam hal ketiga persyaratan di atas tidak terpenuhinya Selected distribution agreement dapat mengurangi intra – brand competition, dan menghalangi distributor tertentu memasuki wilayah pemasaran.
6.  Exclusive supply
Exclusive supply adalah perjanjian distribusi dimana perusahaan yang memproduksi barang hanya diperbolehkan untuk menjual barangnya kepada satu distributor saja. Biasanya perjanjian ini bisa dipersyaratkan apabila distributor tersebut memiliki pangsa pasar yang signifikan pada upstream market. Kondisi tersebut menghalangi distributor lain untuk mendapatkan barang yang sama dengan demikian menghilangkan  intra – brand competition pada downstream market. Namun demikian persediaan eksekutif (exclusive supply) baru menjadi perhatian serius hukum persaingan apabila distributor tersebut memiliki kombinasi pangsa pasar yang besar pada upstream market dan downstream market.

7.  Tying
Tying adalah bentuk perjanjian distribusi dimana distributor diperbolehkan membeli suatu barang (tying product) dengan syarat harus membeli barang lain (tied product) dari perusahaan yang memproduksi barang. Dampak dari perjanjian ini dapat berupa terhalangnya pesaing lain dalam memasarkan tied product, distributor membeli tied product dengan harga di atas competitive level, timbulnya barrier to entry baik bagi tying product maupun tied product.
8.  Third line forcing
Third line forcing berbeda dengan tying yang mengharuskan distributor membeli produk lain dari perusahan yang membuat barang third line forcing membolehkan distributor membeli suatu barang dengan syarat harus membeli barang lain dari pihak ketiga. Dampaknya adalah hambatan untuk distributor lain untuk memasuki wilayah pemasaran barang.
9.   Resale price maintenance
Resale price maintenance (RPM), merupakan perjanjian distributor yang menetapkan harga jual ditingkat distributor. RPM di EC, dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yang disebut dengan istilah maximum RPM, minimum RPM dan recommended RPM. EC memperbolehkan mempebolehkan RPM dilaksanakan kecuali untuk minimum RPM, dimana dianggap minimum RPM menyebabkan harga jual kembali dari distributor tidak bisa lebih rendah dari harga yang ditentukan. Keadaan dengan minimum RPM mengakibatkan hilangnya intra – bran competition. Minimum RPM dianggap sebagai salah satu bentuk kartel harga secara verticak, hal ini dikarenakan harga jual dari distributor ditetapkan secara bersama melalui perusahaan pembuat barang sebagai perantara.

D.       MERGER PERUSAHAAN PEMBUAT BARANG DAN PERUSAHAAN DISTRIBUSI
Persaingan juga dapat timbul bilamana terjadi pengambilalihan perusahaan distributor dengan perusahaan pembuat barang. Berikut untuk dapat memahami apa yang disebut penggabungan perusahaan, akan dibahas aturan hukum yang berlaku di Amerika Serikat.
Dibandingkan dengan perjanjian - perjanjian yang membatasi perdagangan yang dilarang berdasarkan Bag. 1 dari Undang-Undang Sherman AS tahun 1890, dan berdasarkan pasal 4-16 dari UU Persaingan Usaha, merger melibatkan integrasi yang bersifat lebih lengkap dan permanen dari kegiatan-kegiatan ekonomi para pihak. Tekanan-tekanan internal (misalnya penipuan dengan cara kartel) seringkali memaksa adanya disintegrasi dari sebuah perjanjian antara perusahaan - perusahaan independen, akan tetapi sebuah merger kemungkinannya adalah untuk selama-lamanya[11]. Sementara merger dengan cara demikian menciptakan kerugian yang lebih besar terhadap persaingan usaha (dengan cara mengurangi hasil produksi untuk menaikkan harga) dibandingkan dengan perjanjian yang demikian, sebuah merger menciptakan keadaan tidak seimbang dalam pengambilan kebijakan dengan menjanjikan keefisienan ekonomis yang lebih besar dalam sejumlah besar kasus.
Tentang bagaimana biaya dan manfaat yang lebih besar tersebut diseimbangkan pada marjin adalah merupakan topik kebijakan yang sangat diminati di seluruh dunia.
Berdasarkan Bag. 7 dari Undang-Undang Clayton AS tahun 1914 (sebuah reaksi terhadap kegagalan-kegagalan dalam kebijakan persaingan usaha Undang-undang Sherman tahun 1890, sebuah reaksi yang diubah secara mendasar di tahun 1950), “merger” yang merupakan pembelian atas sebagian atau seluruh aset atau saham sebuah perusahaan oleh perusahaan yang lainnya, juga mencakup “konsolidasi”, dari sebuah perusahaan yang baru memiliki aset dari perusahaan -perusahaan yang sebelumnya mandiri - dan pembelian-pembelian saham pada umumnya (Pembelian-pembelian tersebut mungkin saja tidak akan menghasilkan pengendalian atas perusahaan yang lainnya, akan tetapi dalam yang demikian tidak terdapat peluang-peluang untuk menciptakan keefisienan ekonomis yang lebih besar). Dengan demikian, Bag. 7 sesuai dengan Pasal 27-28 dari UU Persaingan Usaha, sementara subyek dari pasal 26 diatur (dengan pengecualian terhadap perusahaan-perusahaan yang lebih kecil) dengan larangan tentang “interlocking” direksi perusahaan berdasarkan Bag.8 dari Undang-Undang Clayton.
Bahasa yang relevan dari Bag. 7 adalah mudah untuk dinyatakan akan tetapi ternyata sulit untuk ditafsirkan: sebuah merger dilarang dilakukan di Amerika Serikat apabila “hal tersebut dapat…. Secara substantial mengurangi persaingan usaha.” Menurut penafsiran kata “dapat”, instansi - instansi pelaksana harus membuktikan kemungkinan, dan bukan kepastian tentang berkurangnya persaingan usaha, sementara “secara substansial” dianggap berarti sebuah penguarangan secara serius dalam persaingan usaha.
Sebagaimana halnya dengan kebijakan persaingan usaha di sejumlah besar negara, Amerika Serikat telah menentukan dan mengatur sebanyak tiga jenis merger berdasarkan Undang-Undang Clayton, Bag. 7: horisontal, vertikal dan konglomerat. Merger horisontal melibatkan dua atau lebih perusahaan yang menghasilkan produk-produk yang sama atau serupa dalam wilayah pasar yang sama. Orang Amerika akan menganggap merger di antara sejumlah pabrik roti yang berlokasi di Jakarta dan Denpasar sebagai merger konglomerat, berdasarkan anggapan bahwa mereka beroperasi di pasar - pasar dalam wilayah yang berbeda. Meskipun demikian, masalah definisi seringkali merupakan hal yang sulit: apabila sebuah produsen deterjen di Jakarta membeli sebuah produsen alat pemutih, apakah ini merupakan merjer horisontal dalam pasar “produk-produk deterjen” atau sebuah merger konglomerat di pasar produk-produk yang berbeda (deterjen dan alat pemutih).
 Undang-undang Amerika menilai merger horisontal secara lebih ketat dibanding jenis-jenis merger yang lainnya: merger horisontal mengurangi persaingan usaha secara langsung, dapat menciptakan kekuatan pasar yang besar, dapat memudahkan koordinasi dalam penentuan harga dan keputusna tentang volume produksi dengan para pesaing. Bahkan tanpa adanya perjanjian formal, dan dapat menaikkan keefisienan ekonomis.
Merger vertikal melibatkan integrasi ke depan atau ke belakang dalam rantai produksi dan distribusi, melalui akuisisi terhadap seorang pelanggan (misalnya : seorang produsen membeli salah satu dari para pengecernya) atau seorang pemasok (misalnya : pembangkit tenaga listrik membeli salah satu dari para pemasok batu-bara). Merger yang demikian tidak mengurangi jumlah pelaku ekonomi di pasar tertentu, akan tetapi dapat mengubah pola perilaku industri. Meskipun terdapat kemungkinan besar untuk bertambahnya keefisienan ekonomi dan kemungkinan terjadinya kerugian ekonomi yang terbatas, merger - merger tersebut ditangani secara cukup ketat di Amerika Serikat dari tahun 1960 sampai dengan tahun 1980. Alasannya adalah bahwa merger – merger vertikal menghalangi para pesaing dalam memperoleh akses terhadap pelanggan atau pemasok yang “menghilang” sebagai akibat dari merger.
Hal ini dipandang sebagai hambatan untuk masu didalam sebuah pasar untuk barang sejenis. Produsen juga harus dapat memasuki pasar sebagaimana halnya dengan pelanggan atau pemasoknya.
Doktrin-doktrin hukum tersebut yang bersifat cukup ketat sekarang secara luas dipandang sebagai kesalahan dalam kebijakan yang terjadi dalam upaya melindungi usaha-usaha kecil: dengan melindungi para pesaing dan bukan persaingan usaha, sehingga para pelanggan atau pemasok yang independen muncul segera setelah ada peluang usaha yang baru. Merger konglomerat biasanya melibatkan perluasan produk - misalnya, sebuah perusahaan rokok membeli perusahaan pengelola makanan - atau perluasan pasar geografis: pabrik roti Jakarta membeli pabrik rokok di Denpasar. Merger-merger tersebut diperlakukan secara berbeda dengan usaha - usaha patungan: dua atau lebih perusahaan bergabung untuk menciptakan sebuah produk atau memanfaatkan sebuah pasar geografis yang baru bagi mereka. Merger-merger konglomerat dilihat sebagai ancaman persaingan (yang relative kecil) di Amerika di tahun - tahun 1960-an dan 1970-an, akan tetapi tidak terdapat banyak kegiatan pelaksanaan baru-baru ini.
Merger-merger tersebut tidak mempengaruhi persaingan usaha secara langsung dan pengaruhnya terhadap persaingan usaha yang mungkin terjadi biasanya hanya dapat diduga, kecuali dapat dibuktikan bahwa perusahaan rokok memang akan memulai usaha pengelolaan makanan atau pabrik roti dari Jakarta memang akan mulai berproduksi di Denpasar meskipun tidak dilakukan.
Di lain pihak, dan bila dibandingkan dengan jenis merger dan usaha patungan lainnya, merger – merger konglomerat membawa peluang yang paling kecil untuk meningkatkan keefisienan ekonomi. Tampaknya para “konglomerat” merupakan topik yang bernuansa baik politik dan kebijakan di Indonesia, sehingga kemungkinannya sulit untuk mengembangkan aturan-aturan untuk merjer/merjer ini yang memiliki biaya/manfaat yang relative rendah, dimana dampak politisnya telah diatur melalui cara yang lain.
E.       ANALISIS PERJANJIAN DISTRIBUSI KAITANNYA DENGAN HUKUM PERSAINGAN USAHA
Berdasarkan penelaahan di atas maka, jenis – jenis perjanjian distribusi sebagaimana disebutkan di atas akan dapat merugikan baik konsumen atau pelaku usaha lain, dan menimbulkan sistem perdagangan monopoli atau persaingan usaha tidak sehat, dimana jenis perjanjian Single branding, Quantity Forcing, Territorial Protection, Customer allocation, dan Selected distribution agreement Exclusive supply, dapat merupakan perjanjian distribusi dimana kesemuanya memberikan pembatasan masuk barang sejenis dari pelaku usaha lain, sebagaimana disebutkan didalam Pasal 19 dan Pasal 25 UU Persaingan Usaha.
Pasal 19 UU Persaingan Usaha
Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
a.       menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
b.       menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
c.        membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau
d.       melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Dan
Pasal 25, UU Persaingan Usaha:
(1) Pelaku Usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk :
a.        menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau
b.        membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c.        menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan
(2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila:
a.        satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau
b.        dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Didalam hal ini dapat disimpulkan salah satu contohnya adalah single branding, dimana distributor hanya diberikan hak menjual barang dengan merek pelaku usaha tertentu, sehingga dalam hal distributor menguasi 50 % pasar didalam wilayah tersebut akan memberikan kemampuan pelaku usaha untuk memiliki posisi dominan, yang pada akhirnya dapat menentukan harga sebagaimana disebutkan didalam Pasal 19 dan Pasal 25 UU Persaingan Usaha.
Merger secara vertikal juga dapat mengakibatkan suatu persaingan usaha yang tidak sehat, dimana ketika suatu perusahaan menguasai pasar yang sangat besar, kemudian membeli saham mayoritas dari suatu perusahaan lain, dan kemudian didalam distribusi yang dilakukan perusahaan besar tersebut membatasi produk dari perusahaan lainnya untuk masuk didalam pasar, tentunya akan mengakibatkan kerugian bagi pelaku usaha tersebut, hal mana dapat mengakibatkan pembatasan quota atau wilayah, hal tersebut terjadi didalam kasus Semen Gresik, yang produk semennya tidak dilarang masuk dalam wilayah – wilayah tertentu yang ternyata telah dimiliki oleh Cemex yang merupakan perusahaan yang membeli perusahaan tersebut.
F.       KEBIJAKAN WILAYAH PASAR
Kebijakan persaingan bertujuan untuk meminimumkan inefisiensi perekonomian yang diciptakan oleh tingkah laku perusahaan perusahaan yang bersifat anti-persaingan. Ada dua penyebab distorsi perekonomian yang dapat menyebabkan pasar menjadi tidak sempurna. Pertama, eksternalitas pasar yang memungkinkan perusahaan-perusahaan yang mempunyai kekuatan pasar menggunakan kekuatan tersebut untuk menghancurkan pesaingnya (competitor elimination) dengan cara tidak adil (unfair conduct). Kedua, kebijakan/intervensi pemerintah sendiri yang menimbulkan distorsi pasar dan inefisiensi perekonomian[12]. Penyebab pertama bersumber dari perilaku perusahaan sedangkan penyebab kedua bersumber dari intervensi pemerintah terhadap mekanisme pasar[13]. Kebijakan persaingan tidak hanya terdiri dari UU Persaingan Usaha tetapi juga termasuk deregulasi dan liberalisasi ekonomi. UU Persaingan Usaha, mengatur praktek monopoli yang bertujuan untuk mengatur perilaku-perilaku perusahaan yang besifat persaingan tidak sehat.
Salah satu hal yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat yang dapat merugikan konsumen dan pelaku usaha barang sejenis adalah dalam perjanjian distribusi, dimana sebagaimana disebutkan didalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPER) perjanjian merupakan kebebasan para pihak dimana dalam hal para pihak telah sepakat dengan isi dari perjanjiannya, perjanjian tersebut menjadi hukum para pihak yang harus dilaksanakan[14].
 Di sinilah pada dasarnya ruang lingkup peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dalam suatu keadaan dimana sedang terjadi deregulasi dan liberalisasi yang bertujuan agar mekanisme pasar dapat berjalan dengan meminimumkan intervensi pemerintah yang distortif, hukum persaingan usaha dan aparat penegaknya sangat diperlukan dalam hal ini KPPU sebagaimana disebutkan didalam UU Persaingan Usaha, merupakan lembaga yang bertanggung jawab mengawasi dan menangani kasus – kasus persaingan usaha tidak sehat. Beberapa tindakan atau cara tidak adil (unfair) dapat dilakukan perusahaan untuk memenangkan persaingan secara tidak sehat, misalnya perjanjian distribusi sebagaimana disebutkan di atas akan dapat merugikan baik konsumen atau pelaku usaha lain, dan menimbulkan sistem perdagangan monopoli atau persaingan usaha tidak sehat, dimana jenis perjanjian Single branding, Quantity Forcing, Territorial Protection, Customer allocation, dan Selected distribution agreement, Exclusive supply, yang kesemuanya memberikan pembatasan masuk barang sejenis dari pelaku usaha lain, yang merupakan tindakan kolusi dan tindakan yang menghancurkan pesaing (competitor elimination). Tindakan kolusi ialah perilaku beberapa perusahaan untuk mengatur harga secara bersama-sama atau membagi-bagi pasar sedemikian rupa sehingga memaksimumkan keuntungan masing-masing perusahaan. Perilaku kolusi dapat dilakukan dengan tersembunyi ataupun terbuka (explicit collusion). Contoh perilaku kolusi terbuka adalah pembentukan kartel oleh perusahaan-perusahaan. Sedangkan perilaku penghancuran pesaing (competitor elimination) adalah vertical restraints (perjanjian distribusi atau merger perusahaan yang memproduksi barang dengan perusahaan distribusi) dan predatory pricing. Vertical restraint adalah pengaturan hubungan antara produsen dengan distributor. Predatory pricing terjadi apabila suatu perusahaan secara temporer mengenakan harga rendah sebagai upaya untuk membendung masuknya pesaing ke suatu pasar, mengenyahkan pesaing yang telah ada di dalam suatu pasar, atau mendikte pesaing di suatu pasar tertentu (price control). Di Indonesia ada beberapa bentuk tindakan persaingan tidak sehat. Pertama, tindakan persaingan tidak sehat yang dilakukan perusahaan untuk menghancurkan pesaingnya. Tindakan yang dilakukan antara lain adalah melakukan integrasi vertikal yang bersifat strategis (strategic vertical integration) seperti melakukan merger dengan perusahaan distribusi, RPM, dan pembagian pasar (Territorial Protection).
Kedua, tindakan persaingan tidak sehat yang dilakukan oleh perusahaan dengan dukungan atau persetujuan pemerintah. Contohnya adalah asosiasi-asosiasi pengusaha yang bertindak sebagai kartel atau tata niaga perdagangan.     Ketiga, tindakan persaingan tidak sehat yang dilakukan oleh badan-badan usaha milik negara dengan “restu” pemerintah. Bentuk-bentuk tindakan persaingan tidak sehat di Indonesia yang terbanyak adalah yang tergolong ke dalam kategori kedua dan ketiga, dimana persaingan usaha tidak sehat dilakukan dalam suatu konsep pemasaran atau distribusi barang.
Dapat disimpulkan bahwa, penyebab utama tindakan persaingan tidak sehat salah satunya adalah kontrol pemasaran dari pemerintah baik karena kebijakan distortif yang malah menciptakan perilaku persaingan tidak sehat maupun karena kepemilikan pada Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D) dan kecenderungan memproteksi pasar di mana BUMN/D itu bergerak[15].
Kebijakan yang diciptakan dan membentuk persaingan tidak sehat oleh pemerintah dapat berupa tariff barriers seperti pungutan pajak ataupun retribusi dan non-tariff barriers dalam bentuk tata niaga perdagangan, misalnya, pemberian hak monopoli atau monopsoni, penetapan harga dasar atau maksimal, kuota ekspor barang dari suatu daerah, regional allocation market (rayonisasi) atau monopoli oleh BUMN/D.
Beberapa contoh peraturan yang pernah terjadi bersifat persaingan usaha tidak sehat adalah, pemberian hak monopsoni sekaligus monopoli kepada BPPC, Tata Niaga Hasil Produksi Rakyat melalui Koperasi Unit Desa di Nusa Tenggara Timur yang memberikan hak monopsoni kepada KUD untuk membeli hasil produksi rakyat, tata niaga jeruk di Kalimantan Barat yang memberikan hak monopsoni kepada Puskud dan Kelompok Humpus yang selanjutnya diteruskan PT Bima Citra Mandiri, kemitraan yang mewajibkan petani kapas di Bulukumba, Kabupaten Bone, menjual hasil produksinya ke PT Kapas Garuda Putih; kewajiban menanam tebu di Kabupaten Klaten dan Malang dan menjualnya ke pabrik gula.
G.      PERANAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
UU Persaingan Usaha bertujuan untuk menjamin terciptanya persaingan yang sehat, sehingga alokasi sumber daya bisa efisien, konsumen memiliki pilihan dalam membeli barang dan jasa dan terbentuknya harga yang wajar dilihat dari biaya produksi dan kualitas serta dapat member kesempatan akan kemungkinan timbulnya inovasi produk. Substansi UU Persaingan Usaha terbagi ke dalam enam bagian, yaitu, tentang perjanjian yang dilarang (pasal 4 - 16), kegiatan yang dilarang (pasal 17 - 24), posisi dominan (pasal 25-29), sedangkan tentang pembentukan KKPU (pasal 30-37) dan tata cara penanganan perkara/sanksi dalam persaingan usaha (pasal 38-49) serta tentang pengecualian (pasal 50-51). Pada bagian pertama yang termasuk ke dalam perjanjian yang dilarang meliputi hal-hal berikut:
1.    oligopoli (pasal 4)
2.    penetapan harga atau price fixing (pasal 5),
3.    diskriminasi harga (pasal 6)
4.    penetapan harga di bawah harga pasar (pasal 7)
5.    penjualan kembali dengan harga lebih rendah (pasal 8)
6.    pembagian wilayah (pasal 9)
7.    boikot (pasal 10)
8.    kartel (pasal 11)
9.    trust (pasal 12)
10. oligopsoni (pasal 13)
11. integrasi vertikal (pasal 14)
12. exlusive dealing (pasal 15)
13. perjanjian dengan pihak luar negeri (pasal 16).
Sementara itu pada bagian kedua yang termasuk ke dalam kategori kegiatan yang dilarang adalah:
1.           monopoli (pasal 17)
2.           monopsoni (pasal 18)
3.           penguasaan pasar (pasal 19)
4.           predatory pricing (pasal 20)
5.           transfer pricing (pasal 21)
6.           collusion:
a.        tender (pasal 22)
b.        bersekongkol untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaing yang bersifat rahasia perusahaan (pasal 23)
c.        menghambat produksi atau pemasaran pesaing (pasal 24)
Pada bagian ketiga yang termasuk posisi dominan adalah:
1.            dilarang menggunakan posisi dominan untuk menghalangi konsumen memperoleh barang dan jasa lain baik dari segi harga atau kualitas, membatasi pengembangan teknologi; dan menghambat pelaku usaha lain masuk ke pasar (pasal 25)
2.            jabatan rangkap (pasal 26)
3.            kepemilikan saham beberapa perusahaan yang menguasai posisi dominan (pasal 27)
4.            penggabungan, peleburan dan pengambilalihan (pasal 28)
KPPU adalah lembaga independen yang bertugas mengawasi pelaksanaan UU No.5/1999 dan bertanggung jawab kepada Presdiden. Anggota KPPU diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan DPR. Masa jabatan anggota KPPU adalah selama lima tahun. UU Persaingan Usaha, merinci kewenangan KPPU, yang meliputi hal – hal berikut:
1.           menerima laporan
2.           melakukan penelitian
3.           melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan
4.           menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan
5.           memanggil pelaku usaha
6.           memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui suatu persoalan
7.           meminta bantuan penyidik
8.           meminta keterangan dari instansi pemerintah
9.           mendapatkan, meneliti dan atau menilai surat, dokumen dan atau alat bukti lain
10.        memutuskan dan menetapkan suatu perkara
11.        memberikan putusan komisi kepada pelaku usaha menjatuhkan sanksi.
KPPU sebagai lembaga yang bertugas mengawasi jalannya persaingan usaha juga bertugas mengawasi perilaku persaingan usaha tidak sehat di daerah-daerah, seperti, monopoli/monopsoni, kartel, kesepakatan harga dan lain lain sebagaimana yang tercantum di dalam undang-undang, yang mana kemungkinan dapat terjadi dalam proses distribusi, dimana principal dalam perjanjian distribusi dapat me. Selain itu, juga tentunya KPPU bertugas mengawasi peraturan pemerintah pusat maupun daerah yang membuka peluang bagi perusahaan untuk melakukan tindakan persaingan usaha tidak sehat seperti tata niaga yang memberikan hak monopoli/monopsoni.
Hal yang tak kalah pentingnya untuk meminimalisasikan praktek-praktek yang mengarah pada persaingan tak sehat dan sekaligus merugikan konsumen adalah segala upaya untuk menekan biaya transaksi. Mengingat bahwa Indonesia memiliki wilayah yang luas dengan ribuan pulau yang tersebar, maka perbaikan sarana dan prasarana transportasi dan telekomunikasi niscaya akan sangat menopang bagi berkurangnya disparitas harga.




[1] Penulis merupakan Pegawai Negeri Sipil pada Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Perdagangan.
[2] Farid F. Nasution, Perjanjian Distribusi Menurut Hukum Persaingan Usaha, Jurnal Hukum Bisnis Volume 26 – Nomor 2 (Tahun 2007): 63.
[3] Ibid.
[4] Valentine Korah and Dennis O’ Sulivan, Distribution Agreements under the EC Competition Rules, Hart Publishing, Portland, 2002.
[5] Lihat. Commission Regulation (EC) No. 2790/1999 of 22 December 1999 on the application of Article 81 (3) of the treaty to categories of vertical agreement and concerted practices (“the Block Exemption Regulation)
[6] Menteri Perdagangan, Peraturan Menteri Perdagangan tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau Distributor Barang dan/atau Jasa. Permendag No. 11/M-DAG/PER/3/2006.
[7] Farid F. Nasution, Exclusivity In Distribution Agreement: A Comparison Between European And Indonesian Competition Law, Thesis for Master of Law, Vrije Universiteit, Amsterdam, 2006.
[8] Joanna Goyder, EU Distribution Law, Palladian Law Publishing, Bembridge, 2000.
[9] Lihat, European Commission, Commission notice – Guidelines on Vertical Restraint (2000/C291/01)
[10] Farid F. Nasution, op. cit., hal. 64.
[11] Paul H. Brietzke, Pengalaman Amerika Di Bidang Merjer: Apakah Ada Relevansinya Dengan Undang-Undang Persaingan Usaha Indonesia Yang Baru?. Dibawakan dalam Konperensi Tentang Merjer, Konsolidasi dan Akuisisi Berdasarkan Undang - Undang No.5 tahun 1999, yang diselenggarakan oleh Institut Studi Kebijakan Investasi dan Persaingan Usaha, di Jakarta, pada tanggal 25-26 Agustus 1999.
[12] Faisal H. Basri & Dendi Ramdani, Kebijakan Persaingan Di Era Otonomi: Peranan KPPU, Makalah dipresentasikan pada Konferensi Mengenai Perdagangan Dalam Negeri, Desentralisasi dan Globalisasi di Hotel Borobudur, Jakarta, Indonesia, pada tanggal 3 April, 2001, yang diselenggarakan dengan kerjasama antara Partnership for Economic Growth (PEG), the United States Agency for International Development (USAID), dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Depperindag) Republik Indonesia. PEG adalah sebuah proyek kerjasama antara USAID dengan Pemerintah Indonesia. Pandangan yang diungkapkan dalam makalah ini merupakan pandangan penulis sendiri dan tidak semestinya merupakan pandangan USAID, Depperindag, ataupun Pemerintah Amerika Serikat
[13] Ibid.
[14] Subekti, Aneka Perjanjian (Cetakan Kesepuluh), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995). hal. 3.
[15] Achmad Shauki, “The Role of the Commission for Fair Competition”, Indonesia’s Anti-Monopoli Law and Its Impact on Small and medium Enterprises (Jakarta: The Asian Foundation), 1999.

Tidak ada komentar: