Minggu, 12 Agustus 2012

PEMBAHASAN TENTANG INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE ATAU MAHKAMAH INTERNASIONAL (PART II)


BAB II
SEJARAH PEMBENTUKAN INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE (MAHKAMAH INTERNATIONAL)
A.  Convention on the Pacific Settlement of International Disputes
     Dalam hubungan internasional yang dilaksanakan oleh negara – negara didunia yang hidup berdampingan kadang kala menimbulkan sengketa. Sejarah mencatat bahwa sengketa – sengketa yang timbul antara negara – negara kadang kala berlanjut kepada sengketa bersenjata dalam bentuk perang yang mengakibatkan banyak korban, bukti yang nyata dari hal ini adalah timbulnya Perang Dunia I dan II. Menghindari keadaan ini maka negara – negara didunia berusaha untuk mencari penyelesaian sengketa yang lebih sesuai dan tidak menumbulkan perang. Pada tahun 1899 – 1907 masyarakat internasional mengadakan Konvensi Damai yang bertempat di Den Haag, yang menghasilkan menghasilkan Convention on the Pacific Settlement of International Disputes[1], didalam Pasal 1 Konvensi ini di atur:
All members shall settle their international dispute by peaceful means in such manner that international peace and security, and justice, are not endangered.[2]
Didalam konvensi ini juga disepakati dibentuknya Permanent Court of Arbitration (PCA). PCA pada awalnya diharapkan menjadi suatu mahkamah internasional yang permanen yang berfungsi sebagai lembaga internasioal yang berfungsi sebagai lembaga peradilan tempat penyelesaian sengketa antara negara – negara, akan tetapi berdasarkan Convention on the Pacific Settlement of International Disputes, PCA bukan merupakan suatu mahkamah permanen karena aturan – aturan tentang PCA dalam Convention on the Pacific Settlement of International Disputes, hanya merupakan daftar nama yang dapat ditunjuk sebagai arbiter, dan para pihak bebas memilih arbiter yang akan menyelesaikan sengketa yang terjadi. Hal ini mengakibatkan tidak terbentuk suatu administrasi tetap yang berkelanjutan atas kasus – kasus yang diselesaikan melalui arbiter dari PCA.
     Permasalahan mendasar dari PCA yang disebutkan di atas mendorong masyarakat internasional untuk membentuk suatu lembaga peradilan internasional yang lebih permanen yang memiliki sistem administrasi yang tetap sehingga terbentuk proses dokumentasi yang jelas dan berkelanjutan. Setelah terbentuknya Convention on the Pacific Settlement of International Disputes, dengan dorongan untuk membentuk suatu lembaga peradilan permanen maka dibentuklah Internatinal Prize Court yang memiliki yurisdiksi yang terbatas hanya untuk memutuskan sengketa yang timbul antara negara netral dan pihak yang berperang dalam pelaksanaan hak pihak yang berperang di laut. Dalam tahun 1907 juga dibentuk apa yang disebut The Central American Court of Justice yang ditetapkan dalam perjanjian Washington pada 20 Desember 1907, yang pada mulai berlaku pada tahun 1908 sampai dengan 1917[3].
B.  Permanent Court of International Justice (PCIJ)
     Perang Dunia I yang terjadi ditahun 1914, yang menelan banyak korban mendorong terbentuknya suatu organisasi internasional yang dapat menyatukan negara – negara didunia dan menyelesaikan sengketa – sengketa yang timbul dalam masa perang melalui diplomasi. Berdasarkan hal tersebut maka pada tahun 1920 terbentuklah Liga Bangsa – Bangsa (LBB), berdasarkan Kovenen (anggaran dasar)LBB. Pasal 12 dari Kovenen LBB menyebutkan kewajiban bagi anggota LBB untuk menyerahkan penyelesaian sengketa yang timbul kepada arbitrase atau penyelesaian melalui Council LBB (Judicial Settlement). Tindak lanjut atas usaha penyelesaian sengketa yang diatur didalam Kovenen LBB adalah dengan membentuk Permanent Court of International Justice (PCIJ), sebagaimana di atur didalam Pasal 14 Kovenen LBB:
The Council shall formulate and submit to the Members of the League for adoption plans for the establishment of a permanent Court of International Justice.[4]
     Pembentukan PCIJ ini diawali dengan Dewan LBB menunjuk suatu Advisory Committee of Jurist yang berfungsi membuat laporan mengenai rancangan pembentukan PCIJ kepada Dewan LBB. Dari laporan yang diserahkan oleh Advisory Committee, Dewan LBB mulai membahas rumusan pembentukan PCIJ yang pada akhirnya pada tahun 1922 terbentuklah Statuta yang menjadi dasar pendirian PCIJ, yang berkedudukan di Den Haag[5]. Terbentuknya PCIJ merupakan permulaan dari suatu sistem kelembagaan penyelesaian sengketa internasional yang permanen. PCIJ sebagai lembaga peradilan internasional yang terbentuk berdasarkan Kovenen LBB merupakan lembaga yang terlepas dari LBB itu sendiri akan tetapi Dewan LBB tetap memiliki hak untuk memilih anggota PCIJ dan meminta nasehat hukum dari PCIJ. Selama terbentuknya PCIJ, PCIJ telah menyelesaikan 29 sengketa antara negara – negara[6].
     Pada tahun 1939 timbul Perang Dunia II, yang juga menjadi sebab utama bubarnya PCIJ. Perang Dunia II yang melibatkan negara – negara LBB, memperlihatkan tidak berhasilnya LBB untuk menjadi organisasi internasional yang dapat menyatukan dan menyelesaikan persoalan antara negara – negara secara diplomasi, karena negara – negara yang mengawali penyerangan adalah negara – negara yang berdasarkan Kovenen LBB memiliki kewajiban untuk menyelesaikan sengketa melalui LBB dan PCIJ[7]. Keadaan ini secara politis telah berperan bubarnya PCIJ.  
C.  International Court of Justice (ICJ)   
     Perang Dunia II menimbulkan keadaan yang mengenaskan bagi umat manusia, dimana timbul korban – korban perang dan menghancurkan ekonomi dunia. Masyarakat internasional yang telah bertahun – tahun menjadi korban perang mulai berusaha untuk membentuk suatu organisasi internasional yang lebih kuat dan universal. Awal dari usaha – usaha ini adalah didirikannya Commission to Study the Organization of Peace pada tahun 1939 dan pada tahun 1942 didirikan Komite Post War of International Problems. Dari dua komite ini banyak sekali pendapat dan pernyataan yang memberikan ide – ide yang pada akhirnya pada tanggal 1 Januari 1942 terbentuklah Declaration of the United Nations yang merupakan dasar terbentukanya Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB). Terbentuknya PBB pada tahun 1942 juga memberikan dorongan untuk membentuk kembali lembaga peradilan yang berfungsi sebagai lembaga penyelesaian sengketa. Pembentukan lembaga peradilan internasional ini diawali dengan terbentuknya Inter-Allied Committee yang menghasilkan laporan yang memberikan rekomendasi untuk membentuk suatu lembaga penyelesaian sengketa yang berlandaskan pada Statuta PCIJ, yang memiliki yurisdiksi untuk memberikan nasehat, akan tetapi yurisdiksi lembaga ini bukan merupakan yurisdiksi yang mengikat[8]. Berdasarkan rekomendasi dari Inter-Allied Committee tersebut maka disepakatilah pembentukan suatu lembaga peradilan yang berada didalam PBB, yang memiliki kedudukan sejajar dengan Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, Dewan Perwakilan dan Sekretariat. Kesepakatan ini di atur didalam hasil Konferensi San Fransisco yang diadakan pada tahun 1945. Salah satu keputusan dari Konferensi San Fransisco adalah pembentukan suatu Mahkamah Internasional yang berdasarkan hukum merupakan suatu badan dan bukan suatu lanjutan dari PCIJ, Mahkamah Internasional merupakan suatu badan peradilan internasional baru dengan yurisdiksi yang terpisah dan mandiri yang berlaku bagi pihak – pihak penandatangan Statuta pendirian Mahkamah tersebut.
     Mahkamah internasional berdasarkan Pasal 92 Piagam PBB didirikan berdasarkan Statuta yang merupakan pengalihan dari Statuta pembentukan PCIJ:
The international Court of Justice shall be the principal organ of the United Nations, it shall function in accordance with the annexed Statuta, which is based upon the Statute of the Permanent Court of International Justice and forms an integral part of the present Charter.[9]

     Dalam Pasal 92 Piagam PBB di atas maka ICJ menjadi Mahkamah Internasional yang merupakan badan peradilan utama PBB, yang membedakan dengan The United Nations Administrative Tribunal yang merupakan badan peradilan yang menangani sengketa – sengketa administrasi atau ketatausahaan antara pegawai PBB. Status badan ini disebut sebagai a subsidiary judicial organ atau badan peradilan subside (tambahan).


[1] Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 8.
[2] Hague Conference,  Convention on the Pacific Settlement of International Disputes, (Hague: 1907), psl. 1.
[3] Sri Setianingsih (b), op. cit., hlm. 60.
[4] Liga Bangsa – Bangsa, Kovenen Liga Bangsa – Bangsa, 1920, psl. 14.
[5] E. K. Nanwi, The Enforcement of International Judicial Decision and Arbitral Awards in Public International Law (Leyden: A. W. Sijthoff, 1966), hlm. 11.
[6] Peter Malanczuk, Akehurst’s Modern Introduction to International Law, 7th rev.ed, (London: Routledge, 1997), hlm 25.
[7] Huala Adolf, op. cit., hlm.  60.
[8] Ibid.
[9] United Nations, op. cit., psl. 92.

Tidak ada komentar: