Minggu, 12 Agustus 2012

PEMBAHASAN TENTANG INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE ATAU MAHKAMAH INTERNASIONAL (PART III)


BAB III
ATURAN MAHKAMAH INTERNASIONAL
A.  Statuta Pembentukan ICJ
     Statuta pembentukan ICJ merupakan bagian yang melekat dengan Piagam PBB, sebagaimana disebutkan didalam Pasal 92 Piagam PBB:
The international Court of Justice shall be the principal organ of the United Nations, it shall function in accordance with the annexed Statuta, which is based upon the Statute of the Permanent Court of International Justice and forms an integral part of the present Charter.[1]

     Materi yang di atur didalam Statuta dibagi dalam 4 bab dari Statuta, yang terdiri dari:
1.  Bab I : Organization of the Court (Articles 2 – 33)
2.  Bab II : Competence of the Court (Articles 34 – 38)
3.  Bab III : Procedure (Articles 65 – 68)
4.  Bab IV : Advisory Opinion (Articles 69 – 70)
     Statuta ICJ dapat dirubah dalam hal atas usulan perubahan tersebut disetujui oleh 2/3 dari suara mayoritas Majelis Umum PBB dan diratifikasi 2/3 negara – negara termasuk negara anggota tetap dari Dewan Keamanan[2]. ICJ dalam hal menganggap isi dari Statuta perlu dirubah maka ICJ harus menyerahkan usulan perubahann kepada Majelis Umum PBB secara tertulis, usulan tersebut melalui Sekretariat PBB akan disirkulasikan (diumumkan). Perubahan Statuta ICJ sebagaimana disebutkan di atas memiliki kemiripan dengan perubahan Piagam PBB, yang membedakan adalah dalam perubahan Statuta tiap negara anggota ICJ memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi  seperti negara anggota PBB yang Ipto Facto merupakan anggota ICJ.
     Dalam tiap badan peradilan baik nasional maupun internasional, memerlukan suatu aturan yang mengatur tentang tata cara beracara didalam persidangan. ICJ yang merupakan badan peradilan didalam Statuta-nya menyebutkan ICJ memiliki kewenangan untuk menentukan dan membentuk aturan – aturan tentang tata beracara didalam ICJ, yang terbentuk dalam Rules of Court. Rules of Court yang menjadi acuan tata cara sidang ICJ, merupakan pengambilalihan dari aturan PCIJ yang dibuat pada tahun 1936[3]. Prinsip dasar yang melatarbelakangi terbentuknya Statuta ICJ adalah untuk mengupayakan bertambahnya negara – negara yang ikut serta dan meratifikasi Statuta ICJ, berdasarkan atas hal tersebut maka secara eksplisit menyatakan kedudukan tiap negara didalam ICJ adalah sejajar dimana tidak ada yang diistimewakan.
B.  Hakim ICJ
     Disebutkan di atas tiap negara penandatangan Statuta ICJ, memiliki kedudukan yang sama dengan anggota lainnya dan juga anggota PBB. Hal tersebut berlaku juga dalam proses pemilihan hakim yang akan duduk didalam ICJ. Hakim ICJ berjumlah 15 orang yang diharuskan memiliki kewarganegaraan yang berbeda[4]. Hakim dipilih secara mandiri oleh Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum PBB. Dalam memilih hakim yang akan duduk didalam ICJ, anggota Dewan Keamanan memiliki hak suara yang sama tanpa dibedakan antara anggota tetap dan tidak tetap.
The election is held simultaneously both in the General Assembly and in the Security Council, each voting independently of the other. In order to get elected, a candidate must obtain an absolute majority in both forums.[5]

Hakim ICJ memangku jabatan selama 9 tahun, dan dapat dipilih kembali. Setelah dibentuknya ICJ pemilihan pertama hakim ICJ dilaksanakan pada tahun 1946, masa jabatan hakim ICJ pada saat itu dibagi dalam beberapa jangka waktu, yaitu 5 hakim dipilih untuk masa jabatan 5 tahun, 5 hakim untuk masa jabatan 6 tahun dan 5 hakim lainnya untuk masa jabatan 9 tahun. Pemilihan akan dilaksanakan ditengah jangka waktu masa jabatan hakim dalam hal hakim ICJ pension atau meninggal, pemilihan dilaksanakan dengan cara seperti pemilihan pertama kali.
     Disebutkan di atas bahwa susunan hakim ICJ harus tidak memiliki kesamaan kenegaraan, dari kebiasaan tak tertulis, yang berlaku saat ini susunan hakim terbagi dalam 5 orang hakim mewakili negara barat, 3 orang hakim dari Afrika ( 1 orang dari negara yang berbahasa Inggris yang menganut aliran Civil Law, 1 orang berbahasa Inggris yang menganut Common Law, dan sisanya dari Arab), 3 orang hakim dari Asia, dan 2 orang dari Eropa Timur serta 2 orang dari Amerika Latin. Dari pembagian disebutkan di atas lima orang dari hakim ICJ merupakan kewarganegaraan dari negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Although no specific quota to different regions of the world is assigned, so far the practice has been to elect one judge from each of the States which are Permanent Members of the Security Council, three judges from Asia, three judges from Africa, two judges from Latin America and one judge each from Western Europe and other States and from the Eastern European States.[6]
    
     Pasal 2 Statuta ICJ menyebutkan untuk menjadi hakim ICJ harus memenuhi persyaratan persyaratan yang bersifat subjektif dan umum.
The Court shall be composed of a body of independent judges, elected regardless of their nationality from among persons of high moral character, who possess the qualifications required in their respective countries for appointment to the highest judicial offices, or are jurisconsults of recognized competence in international law.[7]
     Berdasarkan Pasal 2 Statuta ICJ maka persyaratan yang bersifat subjektif adalah, 1) tidak memihak (mandiri), 2) tanpa memandang kebangsaan dari calon hakim ICJ, 3) orang yang berbudi luhur, 4) yang memenuhi syarat – syarat yang diperlukan di dalam negara masing – masing untuk di angkat sebagai pejabat hukum tertinggi atau sebagai penasehat hukum yang diakui keahliannya dalam hukum internasional. Mekanisme untuk menentukan persyaratan di atas tidak ditentukan secara tertulis, proses yang terjadi dalam praktek adalah kualifikasi personal dari hakim ICJ digantungkan pada keinginan masyarakat internasional yang menghendaki bahwa ICJ akan terdiri dari orang – orang yang mempunyai kualitas dan reputasi tinggi.
     Selain persyaratan subjektif di atas, di atur di dalam Pasal 9 Statuta ICJ persyaratan umum yang harus dipenuhi oleh seorang hakim ICJ:
At every election, the electors shall bear in mind not only that the persons to be elected should individually possess the qualifications required, but also that in the body as a whole the representation of the main forms of civilization and of the principal legal systems of the world should be assured.[8]

     Berdasarkan Pasal 9 maka pesyaratan umum yang harus dipenuhi oleh calon hakim ICJ adalah, 1) bahwa calon hakim harus memenuhi syarat – syarat yang diperlukan, 2) di dalam ICJ harus terjamin terwakilinya bentuk – bentuk peradaban utama dan sistem hukum yang terpenting di dunia.
     Dalam pemeriksaan sengketa antara negara, tidak dilarang hakim ICJ yang memiliki kewarganegaraan salah dari pihak yang bersengketa, dalah hal hakim yang memeriksa merupakan Presiden dari ICJ maka hakim tersebut harus di non aktifkan dan kewenangannya diberikan kepada wakil Presiden ICJ. Negara yang bersengketa dalam hal ini memiliki hak untuk memilih hakim yang memiliki kewarganegaraan yang sama (hakim adhoc), dalam hal di dalam penyelesaian tersebut tidak ada hakim dengan kewarganegaraan dari pihak yang besengketa. Hakim ad hoc yang dipilih merupakan calon hakim yang didaftar oleh Dewan Keamanan dan Mahkamah Umum PBB.
In order to maintain equality in the status of the parties, the Statute provides that where a judge of the nationality of one of the parties is sitting on the bench, the opposing party may choose an additional judge. Such a judge need not be a national judge, but should be a national of the party which is not represented on the bench. Further, each of the parties may choose such a judge if neither of them has its national sitting on the bench. Judges so chosen by the parties have the same rights and duties as the members of the Court for the duration of the proceedings (Article 31 of the Statute).[9]
    
     Didalam pemeriksaan suatu sengketa antara negara 15 hakim ICJ dapat secara keseluruhan ikut serta, akan tetapi menurut Statuta ICJ, ICJ dapat membentuk suatu kamar (chamber), dengan jumlah hakim lebih kecil, untuk golongan – golongan kasus tertentu. Dalam praktek yang terjadi proses penyelesaian sengketa, dapat dilakukan oleh 3 tipe chamber, 1) chamber yang terdiri dari 3 hakim atau lebih yang ditetapkan oleh ICJ yang memiliki kompetensi untuk penyelesaian kasus – kasus tertentu missal perburuhan, transit, dan komunikasi, 2) chamber yang tiap saat dibentuk (ad hoc) untuk mengurus kasus tertentu, jumlah hakim akan ditentukan sidang ICJ dengan persetujuan pihak – pihak yang bersengketa, 3) chamber yang terbentuk dari 5 hakim ICJ dimana presiden dan wakil presiden secara ex officio dengan tiga hakim lainnya atas permintaan pihak – pihak yang dapat didengar dan memutuskan perkara secara cepat, chamber dibentuk 1 tahun sekali. Disamping itu dua hakim dipilih untuk menggantikan hakim yang tidak mungkin mengikuti sidang.
C.  Panitera ICJ (Registrar)
     Pasal 21 ayat (2) ICJ menyebutkan terdapat unit yang dibentuk oleh ICJ yang dinamakan Registrar, yang merupakan organ ICJ yang berperan dalam pengurusan administrasi dari ICJ. Ketua Registrar dipilih dengan Secret Ballot, dan suara mayoritas di antara calon yang diusulkan oleh anggota ICJ. Registrar dipilih untuk masa 7 tahun dan dapat dipilih kembali. Wakil ketua dipilih dengan cara yang sama dengan pemilihan ketua Registrar, dan anggota lainnya dipilih berdasarkan rekomendasi ketua dari Registrar. Staf Registrar terdiri dari 40 orang yang terdiri dari staf terlatih, dan dimungkinkan ditambah dengan dengan tenaga asisten sementara. Utamanya Registrar memiliki fungsi memberi bantuan jasa di bidang administrative kepada negara – negara yang bersengketa dan juga berfungsi sebagai suatu sekretariat. Kegiatan kesehariannya Registrar adalah mengurus masalah administrative, keuangan, penyelenggaraan konferensi dan jasa penerangan dari suatu organiisasi internasional.
D.  Kewenangan (Yurisdiksi) ICJ
     Prinsip kesukarelaan dari negara dalam menyerahkan suatu urusan, yang di anut dalam hukum internasional merupakan prinsip dasar yang diterapkan dalam menentukan kewenangan dari ICJ. Keputusan untuk menyerahkan suatu sengketa internasional kepada ICJ diserahkan kepada negara – negara yang bersengketa, dan didasarkan pada kesepakatan para pihak (non compulsory jurisdiction). Pasal 36 Statuta ICJ, menyatakan kata sepakat antara para pihak untuk menyerahkan sengketanya dapat dilakukan secara umum, atau dinyatakan sebelum adanya sengketa dan dapat juga dilakukan dengan suatu perjanjian khusus atau setelah terjadinya sengketa.
     Yurisdiksi atau kewenangan dari ICJ meliputi dua hal yaitu: 1) Yurisdiksi atas pokok sengketa yang diserahkan (contentious jurisdiction), dan 2) kewenangan atas pemberian advokasi hukum (advisory jurisdiction). Dalam contentious jurisdiction, ICJ memiliki kewenangan mengadili suatu sengketa antara dua negara atau lebih, sengketa dikhususkan pada sengketa hukum. Sengketa hukum adalah sengketa yang memungkinkan diterapkannya aturan – aturan atau prinsip – prinsip hukum internasional terhadapnya.[10]
     Subyek yang dapat menyerahkan sengketa internasional pada ICJ adalah dan hanya adalah negara sebagaimana di atur didalam Pasal 34 Statuta ICJ. Disebutkan di atas maka negara – negara yang bersengketa terlebih dahulu memiliki kesepakatan untuk menyerahkan sengketanya kepada ICJ. Kata sepakat merupakan hal yang sangat penting. PBB tidak menggunakan istilah kesepakatan tetapi pengakuan dari suatu negara tentang kewenangan ICJ. Kewenangan dari ICJ dapat dilaksanakan denan melalui cara – cara berikut ini:
1.  Berdasarkan Pasal 36 (1) Statuta ICJ, kewenangan ICJ mencakup semua sengketa yang diserahkan oleh para pihak dan semua persoalan yang ditetapka oleh Piagam PBB yang dituangkan dalam perjanjian dan konvensi internasional yang berlaku. Selain dalam konvensi ataupun Piagam PBB, dapat juga dilakukan kesepakatan penyelesaian sengketa melalui Acta Compromis;
2.  Menurut doktrim forum prorogatum, kewenangan ICJ timbul manakala hanya satu negara yang menyatakan dengan tegas persetujuannya atas yurisdiksi dari ICJ. Kesepakatan pihak lainnya dianggap di berikan secara diam – diam, tidak tergas atau tersirat. Dapat juga dilakukan penyerahan kewenangan dengan menyimpulkan dari tindakan negara yang bersengketa seperti menyerahkan argumentasi atas pokok sengketa tanpa membuat pernyataan mengenai keberatan atas kewenangan dari ICJ;
3.  Berdasarkan Pasal 36 (2) dari Statuta ICJ penyeran kewenangan dapat terjadi dengan klasula pilihan (optional clause), disebutkan bahwa negara – negara peserta pada Statuta ICJ dapat setiap waktu menyatakan penerimaan wajib ipso facto yurisdiksi ICJ dan tanpa adanya perjanjian khusus terhadap negara yang menerima kewajiban serupa atas semua sengketa hukum mengenai:
a. Penafsiran suatu perjanjian;
b. Setiap masalah hukum internasional;
c. Eksistensi suatu fakta yang jika terjadi, akan merupakan suatu pelanggaran kewajiban internasional;
d. Sifat dan ruang lingkup ganti rugi yang dibuat atas pelanggaran suatu kewajiban internasional.
     Dalam kewenangan noncontentious (advisory) jurisdiction, ICJ memiliki kewenangan untuk memberikan nasehat atau pertimbangan hukum kepada organ utama PBB atau organ lain dalam PBB. Nasehat hukum yang diberikan terbatas sifatnya, yaitu hanya yang terkait dengan ruang lingkup kegiatan atau aktivitas dari 5 badan atau organ utama dan 16 badan khusus PBB. Nasehat atau pendapat hukum yang diberikan oleh ICJ tidak dapat dilakukan untuk negara tapi negara dapat ikut serta dan terlibat dalam persidangan ICJ untuk memberikan nasehat.
E.  Pihak Dalam Sengketa ICJ
     Untuk kasus yang bersifat contentious, Statuta ICJ membatasi hanya Negara[11] yang dapat beracara di ICJ.[12] Ada tiga kategori Negara atau state yang dapat beracara di ICJ yaitu, kategori pertama adalah Negara Anggota PBB. Mengacu kepada pasal 35(1) dari Statuta ICJ dan pasal 93 (1) dari Piagam PBB, Negara anggota PBB adalah ipso facto terhadap statuta ICJ dan otomatis mempunyai akses ke ICJ. Kurang lebih ada 189 negara telah yang menjadi anggota PBB.
     Kategori Negara yang kedua adalah Negara Bukan Anggota PBB akan tetapi party kepada Statuta ICJ. Selain itu Negara yang bukan anggota PBB dan bukan anggota Statuta ICJ dapat juga beracara di ICJ dengan persyaratan tertentu yang diberikan oleh Dewan Keamanan PBB.[13] Adapun persyaratan yang dimaksud adalah menerima ketentuan dari Statuta ICJ, Piagam PBB (pasal 94) dan segala ketentuan berkenaan dengan pengeluaran dari ICJ atas dasar pertimbangan Majelis Umum PBB.[14]
     Kategori yang terakhir adalah Negara yang bukan anggota kepada Statuta ICJ.[15] Untuk Negara-negara yang masuk dalam kategori ini harus membuat deklarasi[16] untuk tunduk kepada segala ketentuan ICJ dan Piagam PBB (pasal 94),
“The International Court of Justice shall be open to a State which is not a party to the Statute of the International Court of Justice, upon the following condition, namely, that such State shall previously have deposited with the Registrar of the Court a declaration by which it accepts the jurisdiction of the Court, in accordance with the Charter of the United Nations and with the terms and subject to the conditions of the Statute and Rules of the Court, and undertakes to comply in good faith with the decision or decisions of the Court and to accept all the obligations of a Member of the United Nations under Article 94 of the Charter”[17]
     ICJ memberikan hak kepada Negara lain (non-disputant party) yang bukan pihak dari sengketa di ICJ untuk melakukan intervensi atas sengketa yang diajukan[18]. Hak ini dapat diajukan jika Negara tersebut beranggapan bahwa ada kepentingan dari sisi hukum atau legal nature interest yang akan terkena dengan adanya keputusan dari ICJ.[19]
     ICJ membagi hak intervensi dalam dua ketegori yaitu, hak intervensi sebuah Negara atas keputusan sebuah kasus ICJ dan atas konstruksi sebuah perjanjian internasional.


[1] Ibid.

[2] Huala Adolf., op. cit., hlm. 62.
[3] Ibid.
[4] Ian Brownlie, The Use Force by State, 5th ed, (Oxford: Clarendon Press, 1998), hlm. 711.
[5] UNCTAD, Dispute Settlement General Topic 1.2 International Court of Justice, (Genvea: United Nation, 2003), Hal. 11
[6] Ibid.
[7] United Nation, Statute of the International Court of Justice, Pasal 2.
[8] Ibid., Pasal 9.
[9] Op. cit., hal 12.
[10] Martin Dixon, Textbook on International Law, (London: Blackstone, 4th Edition, 2000). Hal 272.
[11] Konvensi Montevideo tentang Hak dan Kewajiban Negara (Convention on Rights & Duties of States), 26 Desember 1933, Entry into Force 26 Desember 1934 Pasal 1, “The State as a person of International Law should possess the following qualifications (a) a permanent population, (b) a defined territory, (c) government and (d) capacity to enter into relations with the other states”

[12] Statuta MI, 1945, Pasal 34, “Only States may be parties in cases before the Court”

[13] Statuta MI, 1945, Pasal 35(2), Contohnya adalah Negara Swiss , General Assembly  Resolution 91 (1) 11 December 1946; Lihat juga  Resolusi Majelis Umum PBB No. 264 (III) tanggal 8 Oktober 1948 tentang Hak Partisipasi Negara Bukan Anggota PBB Untuk Memilih anggota MI (pasal 4(3) Statuta MI); Lihat juga Resolusi Majelis Umum PBB No.2520 (XXIV) tanggal 4 Desember 1969 tentang Hak Partisipasi bukan Negara anggota PBB untuk ikut meng-amandemen prosedur di MI

[14] GA Resolution No.91 tanggal 11 Desember 1946, “Acceptance of the provisions of the Statute of the International Court of Justice; Acceptance of all the obligations of a Member of the United Nations under Article 94 of the Charter; and An undertaking to contribute to the expenses of the Court such equitable amount as the General Assembly shall assess from time to time after consultation with the Swiss Government.”

[15] Loc cit, Statuta MI, 1945, pasal 35 (2)
[16] Deklarasi yang dimaksud pernah diajukan oleh Albania (1947) dan Itali (1953). Selain itu deklarasi umum juga untuk hal yang sama juga diajukan oleh  Kamboja (1952), Seylon (1952), Negara Federal Jerman (1955, 1956, 1961, 1965 dan 1971), Finlandia (1953 dan 1954), Itali (1955), Jepang (1951), Laos (1952) dan Republik Vietnam (1952).
[17] Security Council Resolution (Resolusi Dewan Keamanan) No. 9 tanggal 11 Oktober 1946, bagian 1

[18] Statuta MI, 1945, Pasal 62 dan 63, Aturan Mahkamah, 1978 Pasal 81-86

[19] Lihat kasus Land, Island & Maritime Frontier Dispute, (Merits)  ICJ Rep 1980, Continental Shelf (Tunisia) (Merits)ICJ Rep 1984  dan Continental Shelf (Malta) (Merits)ICJ Rep 1981, lihat juga kasus Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan (Filipina) (Merits) ICJ Rep 2001

Tidak ada komentar: